(Business Lounge – Global News) Ketika Oracle Corporation mengumumkan kembalinya ke sistem dual-CEO pada September 2025, banyak analis mengangkat alis. Di tengah dunia korporasi yang lebih sering menuntut kejelasan satu komando, raksasa teknologi asal Austin, Texas itu justru menempuh jalan yang berbeda. Namun, keputusan itu tidak sepenuhnya mengejutkan bagi mereka yang mengikuti sejarah panjang Oracle—perusahaan yang sejak awal kerap menentang kebiasaan industri dan menulis ulang rumus suksesnya sendiri.
Dalam pengumuman resminya, Oracle menunjuk Clay Magouyrk dan Mike Sicilia sebagai co-chief executive officer, menggantikan Safra Catz yang kini berperan sebagai Executive Vice Chair dewan direksi. Langkah itu disebut sebagai upaya mempercepat transformasi Oracle menuju masa depan di mana kecerdasan buatan (AI), komputasi awan, dan data menjadi fondasi utama pertumbuhan. Seperti dilaporkan Reuters, perubahan ini menandai babak baru setelah Oracle menempatkan dirinya di garis depan infrastruktur AI global melalui investasi besar-besaran pada data center dan chip grafis untuk pelatihan model AI.
Keputusan mengadopsi model dual-CEO tentu bukan hal baru di dunia bisnis, tetapi jarang dilakukan dengan sukses. Dalam sejarah Silicon Valley, hanya segelintir perusahaan besar—termasuk Salesforce dan SAP—yang sempat mencoba membagi pucuk pimpinan menjadi dua. Namun, Oracle tampak yakin bahwa kompleksitas bisnisnya kini membutuhkan pembagian fokus yang lebih tajam. Magouyrk, yang telah memimpin Oracle Cloud Infrastructure (OCI) sejak lama, akan bertanggung jawab atas pengembangan infrastruktur cloud dan superkomputer AI, sementara Sicilia, veteran Oracle di bidang perangkat lunak industri, akan memimpin pengembangan aplikasi, layanan pelanggan, dan strategi pasar vertikal.
Seperti dikutip The Wall Street Journal, perubahan ini dilakukan di tengah ambisi Oracle untuk mempercepat “AI makeover” perusahaan—sebuah upaya membangun kembali seluruh portofolio produk dan infrastrukturnya agar terintegrasi dengan AI. Dalam wawancara dengan media itu, Magouyrk mengatakan bahwa Oracle ingin memastikan bahwa setiap lapisan produk, dari basis data hingga perangkat lunak industri, “memiliki kemampuan AI yang nyata, bukan sekadar label pemasaran.”
Beberapa tahun terakhir, Oracle bertransformasi dari perusahaan penyedia basis data dan aplikasi bisnis menjadi penyedia infrastruktur cloud kelas dunia. Di bawah kepemimpinan Magouyrk, Oracle Cloud Infrastructure berkembang pesat, menyaingi pemain lama seperti Amazon Web Services (AWS), Microsoft Azure, dan Google Cloud. Kini, Oracle tidak hanya menyediakan layanan cloud, tetapi juga menjadi penyedia utama infrastruktur AI untuk perusahaan dan laboratorium riset besar.
Menurut laporan WSJ, Oracle tengah memperluas kapasitas pusat datanya secara agresif di Amerika Serikat, Eropa, dan Asia untuk mendukung pelatihan model-model AI berskala raksasa. Perusahaan bahkan disebut menandatangani kontrak jangka panjang dengan OpenAI untuk menyediakan kapasitas komputasi senilai lebih dari 300 miliar dolar AS dalam lima tahun ke depan—salah satu kontrak infrastruktur AI terbesar di dunia. Kolaborasi ini akan menempatkan Oracle sebagai penyokong utama ekosistem AI global yang selama ini didominasi Microsoft dan Nvidia.
Selain itu, Oracle juga memperkuat kemitraannya dengan Advanced Micro Devices (AMD) untuk menggunakan chip generasi baru seri MI450 dalam klaster AI-nya yang akan mulai beroperasi pada 2026. Seperti dilaporkan Reuters, langkah ini adalah bagian dari strategi Oracle untuk menghindari ketergantungan tunggal pada Nvidia dan memperluas sumber pasokan chip AI yang sangat terbatas di pasar global. Dengan memanfaatkan chip AMD, Oracle berharap bisa mengurangi biaya energi dan meningkatkan efisiensi pelatihan model AI berskala besar.
Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa Oracle sedang menyiapkan diri bukan hanya sebagai penyedia cloud, tetapi sebagai hyperscaler AI sejati. Dalam pandangan Magouyrk, AI bukan sekadar teknologi tambahan, melainkan “lapisan baru dalam arsitektur komputer dunia”—dan Oracle berniat menjadi salah satu pondasi utamanya.
Pembagian peran antara Magouyrk dan Sicilia mencerminkan filosofi ganda Oracle: membangun kekuatan dari bawah (infrastruktur) sekaligus mempercepat adopsi dari atas (aplikasi). Magouyrk dikenal sebagai teknolog sejati yang gemar menyelami aspek teknis, sementara Sicilia memiliki reputasi sebagai pemimpin komersial dan operator bisnis yang mampu menghubungkan teknologi dengan kebutuhan industri.
Menurut TechRadar, Sicilia akan memimpin ekspansi Oracle dalam aplikasi berbasis AI untuk sektor-sektor vertikal seperti kesehatan, keuangan, pemerintahan, dan ritel. Ia berambisi menjadikan Oracle sebagai “AI partner” untuk bisnis, bukan sekadar vendor software. Strateginya melibatkan integrasi AI langsung ke produk-produk inti seperti Oracle Fusion Cloud dan NetSuite, di mana model AI dilatih menggunakan data pelanggan perusahaan secara aman di lingkungan cloud Oracle sendiri.
Kedua CEO baru itu juga menekankan pentingnya multicloud strategy. Oracle sadar bahwa sebagian besar perusahaan besar tidak hanya menggunakan satu penyedia cloud. Karena itu, Oracle membuka akses agar produk dan infrastrukturnya dapat berjalan di atas AWS, Azure, dan Google Cloud. Pendekatan pragmatis ini, kata Sicilia, adalah kunci memenangkan kepercayaan pelanggan besar yang mengutamakan fleksibilitas dan kepatuhan data.
Namun, tantangan koordinasi di tingkat kepemimpinan tetap ada. Sejarah mencatat bahwa model co-CEO sering kali gagal karena tumpang tindih tanggung jawab atau perbedaan visi. Dalam wawancara dengan WSJ, sumber internal Oracle mengakui bahwa Safra Catz akan tetap memainkan peran penting sebagai “penjaga keseimbangan,” memastikan kedua CEO baru bekerja selaras. Catz, yang dikenal sebagai tangan kanan Larry Ellison selama dua dekade terakhir, diyakini akan terus menjadi penghubung strategis antara dewan direksi dan tim eksekutif.
Perjalanan Oracle menuju era AI bukanlah kebetulan. Sejak beberapa tahun terakhir, perusahaan ini telah menanamkan AI ke dalam basis datanya melalui Oracle Autonomous Database, yang mampu mengelola, menambang, dan mengamankan data secara otomatis. Kini, visi itu diperluas melalui produk bernama Oracle Autonomous AI Lakehouse, yang menggabungkan data lake, data warehouse, dan AI bawaan dalam satu platform terpadu. TechRadar menyebut langkah ini sebagai “fondasi penting bagi keberhasilan AI di tingkat perusahaan,” karena memungkinkan perusahaan mengakses dan menganalisis data tanpa perlu memindahkan lokasi penyimpanan.
Fokus Oracle pada “AI yang dekat dengan data” menjadi pembeda dari para pesaingnya. Alih-alih mendorong pelanggan untuk mengirim data mereka ke server AI eksternal, Oracle ingin membawa AI ke tempat di mana data itu berada—baik di cloud Oracle, cloud lain, maupun di lokasi perusahaan sendiri. Pendekatan ini tidak hanya efisien secara biaya, tetapi juga memperkuat privasi dan kepatuhan regulasi data, dua isu besar dalam dunia AI enterprise.
Namun, ambisi besar ini datang dengan risiko besar pula. Investasi miliaran dolar untuk memperluas kapasitas data center bisa menekan margin keuntungan, terutama karena harga energi dan perangkat keras melonjak. Dalam laporan WSJ, analis pasar memperingatkan bahwa pertumbuhan pendapatan Oracle mungkin tidak sebanding dengan besarnya biaya modal yang dikeluarkan untuk ekspansi AI. Meski demikian, para investor tampak memberi Oracle waktu, karena mereka melihat potensi jangka panjang dari transformasi ini.
Bagi kawasan Asia-Pasifik, langkah Oracle membuka peluang dan tantangan baru. Pasar seperti Indonesia, Malaysia, dan Singapura merupakan wilayah dengan pertumbuhan cepat dalam adopsi cloud dan AI di sektor korporasi. Dengan strategi multicloud dan komitmen pada lokasi data regional, Oracle memiliki posisi unik untuk menarik perusahaan-perusahaan besar yang membutuhkan solusi AI dengan kepatuhan lokal.
Oracle sendiri telah memiliki pusat data di Singapura dan berencana menambah kapasitasnya untuk melayani pelanggan Asia Tenggara. Menurut analis di TechRadar, hal ini bisa mempercepat penetrasi Oracle di pasar yang sebelumnya didominasi AWS dan Azure. Untuk Indonesia, potensi ini bahkan lebih besar karena meningkatnya kebutuhan AI dalam sektor perbankan, logistik, dan pemerintahan digital.
Namun, penerapan AI enterprise di Asia masih menghadapi kendala. Banyak organisasi belum memiliki tata kelola data yang matang, sementara biaya adopsi AI masih tinggi. Di sinilah Oracle perlu memainkan peran edukatif, bukan hanya menjual teknologi. Jika strategi Magouyrk dan Sicilia berhasil, mereka bisa membawa Oracle menjadi mitra transformasi digital yang lebih relevan di kawasan ini.
Meski prospeknya besar, Oracle tidak luput dari tantangan struktural. Model bisnis cloud membutuhkan skala ekstrem untuk menghasilkan margin yang menarik, sementara pasar AI sangat kompetitif dan cepat berubah. Dalam jangka pendek, tekanan terhadap arus kas dan efisiensi operasional akan menjadi isu utama. Selain itu, Oracle harus memastikan bahwa integrasi AI ke produknya benar-benar memberikan nilai bisnis, bukan sekadar fitur kosmetik.
Tantangan internal juga signifikan. Dua CEO berarti dua gaya kepemimpinan, dua prioritas, dan dua jaringan komunikasi. Kegagalan koordinasi bisa berakibat pada perlambatan eksekusi strategi. Meski begitu, Oracle punya satu keunggulan: keberadaan Larry Ellison, pendiri dan chairman yang masih aktif mengawasi arah teknologi perusahaan. Ellison dikenal sebagai sosok yang tidak pernah ragu mengambil risiko besar, dan ia tampaknya melihat transformasi AI ini sebagai taruhan terakhirnya untuk menempatkan Oracle di puncak kembali.
Transformasi Oracle di bawah dua CEO bukan sekadar eksperimen organisasi, tetapi refleksi dari kompleksitas era AI itu sendiri. Dunia teknologi kini bergerak terlalu cepat untuk dikelola oleh satu otak tunggal. Dengan Magouyrk memimpin infrastruktur dan Sicilia memimpin aplikasi, Oracle mencoba membagi otoritas secara fungsional, bukan hierarkis—sebuah pendekatan yang, bila berhasil, bisa menjadi model baru kepemimpinan teknologi global.
Oracle telah membuktikan berkali-kali bahwa ia bisa bangkit dari keraguan. Dari penyedia basis data menjadi perusahaan cloud global, dan kini menjadi pemain AI strategis, perusahaan ini terus menulis ulang definisi dirinya. Seperti dikatakan Sicilia dalam kutipannya di WSJ, “Kami tidak sedang mengganti Oracle, kami sedang mengembangkan Oracle menjadi sesuatu yang lebih besar dari sebelumnya.”
Apakah struktur ganda ini akan membawa Oracle ke puncak baru atau justru menjadi beban manajemen di tengah perlombaan AI global, hanya waktu yang bisa menjawab. Namun satu hal pasti: Oracle telah kembali menantang tradisi—dan kali ini, taruhannya adalah masa depan kecerdasan buatan dunia.