Millet
Millet Jean-François (1814-1875). Paris, musée d'Orsay. RF1877. Oil on canvas. 55.5 x 66 cm. National Gallery

Pameran ‘Millet Life on the Land’

(Business Lounge – Art) Pameran terbaru di National Gallery London menghadirkan sorotan mendalam pada karya-karya Jean-François Millet, pelukis Prancis abad ke-19 yang terkenal karena penggambarannya yang jujur dan penuh empati terhadap kehidupan para petani di tengah perubahan besar akibat industrialisasi. Berjudul “Millet: Life on the Land”, pameran ini menjadi kesempatan untuk meninjau kembali posisi Millet dalam sejarah seni sekaligus memahami bagaimana karyanya memotret realitas sosial yang jarang mendapat perhatian pada zamannya.

Millet lahir pada 1814 di Normandia, sebuah kawasan pedesaan yang sangat memengaruhi imajinasinya sepanjang hidup. Berbeda dengan banyak seniman sezamannya yang lebih suka menekankan keindahan ideal atau romantisme pedesaan, Millet justru memilih mengarahkan kuasnya pada gambaran kerja keras sehari-hari para petani. Ia melukis dengan cara yang lugas, bahkan terkadang terasa berat, sehingga penontonnya dapat merasakan langsung beban hidup dan jerih payah yang tertuang di setiap sapuan cat.

Salah satu karya yang paling dikenal dan juga menjadi highlight pameran adalah The Gleaners (1857). Lukisan ini menggambarkan tiga perempuan yang memungut butir-butir gandum tersisa setelah panen. Komposisi sederhana ini menekankan tubuh yang membungkuk, seakan menunjukkan kesulitan fisik dan keterbatasan hidup mereka. Pada masanya, karya ini menuai kontroversi karena dianggap terlalu menyoroti kelas bawah, sesuatu yang tidak populer di kalangan elite Paris. Namun kini, The Gleaners dianggap sebagai simbol solidaritas sosial dan pengakuan terhadap martabat pekerja desa.

Selain The Gleaners, pameran ini juga menampilkan The Angelus (1859), salah satu lukisan Millet yang paling sering direproduksi. Dua petani berhenti sejenak di ladang mereka untuk berdoa, digambarkan dengan kesunyian dan kesederhanaan yang menyentuh. Adegan ini bukan hanya sekadar potret religius, melainkan refleksi tentang keseharian dan hubungan mendalam antara manusia, tanah, dan keyakinan. National Gallery menempatkan karya ini dalam konteks zaman ketika industrialisasi mulai mengikis ikatan tradisional antara manusia dengan lahan yang mereka garap.

Kurator pameran menekankan bahwa Millet tidak pernah berniat membuat propaganda politik. Meski begitu, karya-karyanya sering dibaca sebagai komentar sosial yang simpatik terhadap kondisi kelas pekerja. Di era Revolusi Industri, ketika urbanisasi meningkat dan jurang antara kota serta desa melebar, lukisan-lukisan Millet menjadi pengingat akan keberadaan mereka yang hidup di pinggiran modernitas. Pandangannya memberi ruang bagi kelompok yang sering diabaikan oleh sejarah seni dominan yang kala itu didominasi potret kaum borjuis dan lanskap idealis.

Pameran ini juga memperlihatkan bagaimana gaya Millet bertransformasi sepanjang kariernya. Pada awalnya, ia dipengaruhi oleh tradisi klasik dan pelukis sejarah, tetapi kemudian berkembang menjadi lebih realis, bahkan mendekati naturalisme yang lugas. Warna-warna yang cenderung gelap, figur dengan bentuk tegas, dan latar sederhana menjadi ciri khas yang konsisten. Dengan demikian, karya-karyanya terasa membumi dan otentik.

Konteks sejarah yang ditampilkan dalam pameran menegaskan bahwa karya Millet memiliki resonansi kuat hingga hari ini. Di tengah diskusi global tentang kesenjangan ekonomi, perubahan iklim, dan keberlanjutan pangan, penggambaran kehidupan petani di abad ke-19 menemukan relevansi baru. Millet seakan mengingatkan bahwa kesejahteraan masyarakat modern tetap bertumpu pada mereka yang bekerja di tanah, sekalipun perhatian dunia sering teralih pada kemajuan teknologi dan kehidupan kota.

Pengunjung pameran juga akan menemukan pengaruh Millet terhadap generasi seniman berikutnya. Vincent van Gogh, misalnya, secara eksplisit mengakui kekagumannya pada Millet dan bahkan menyalin beberapa karyanya dalam gaya khasnya sendiri. Bagi Van Gogh, Millet adalah “pelukis yang paling menyentuh hati,” karena mampu menunjukkan keagungan dalam hal-hal sederhana. Pengaruh ini terlihat pula pada pelukis realis lain dan bahkan pada perkembangan seni modern yang mencari kejujuran ekspresi.

Pameran “Millet: Life on the Land” tidak hanya menampilkan karya-karya utama, tetapi juga sketsa, cetakan, dan dokumen yang memberi wawasan tentang proses kreatif sang seniman. Penonton dapat melihat bagaimana Millet mengamati pekerja desa, mencatat detail gerak tubuh mereka, lalu mengolahnya menjadi komposisi yang penuh makna. Dokumentasi ini mempertegas bahwa pilihannya melukis petani bukan sekadar kebetulan, melainkan keputusan artistik yang lahir dari kepedulian mendalam.

Kritikus seni di London menilai pameran ini sebagai kesempatan berharga untuk meninjau ulang reputasi Millet yang selama ini terjebak antara label “realist” dan “sentimentalist.” Dalam kenyataannya, karya-karyanya memiliki lapisan kompleksitas: di satu sisi penuh simpati, di sisi lain menegaskan keteguhan realitas tanpa pemanis. Dengan cara itu, ia berhasil menciptakan keseimbangan antara seni dan kehidupan nyata.

Bagi pengunjung, pengalaman pameran ini lebih dari sekadar melihat lukisan. Ia adalah perjalanan sejarah sosial, refleksi budaya, dan pengingat tentang hubungan manusia dengan tanah. Ketika dunia modern kian jauh dari akar agrarisnya, karya-karya Millet menghadirkan nostalgia sekaligus peringatan: bahwa di balik modernitas, ada tangan-tangan pekerja yang menopang segalanya.

National Gallery dengan pameran “Millet: Life on the Land” telah berhasil membawa kembali suara yang sederhana namun mendalam. Pameran ini menunjukkan bagaimana seni dapat merekam ketegangan antara tradisi dan modernitas, sekaligus memberi wajah pada mereka yang jarang didengar. Melalui sapuan kuas Millet, penonton diajak untuk melihat bahwa kehidupan di tanah bukan sekadar kerja, melainkan juga kisah kemanusiaan yang universal.