(Business Lounge Journal – Leadership)
Kematian Giorgio Armani di usia 91 tahun bukan hanya menutup bab panjang perjalanan seorang maestro mode, tetapi juga membuka diskusi serius tentang pentingnya suksesi dalam bisnis. Armani bukan sekadar perancang busana; ia adalah ikon yang berhasil mengubah wajah fashion global, membangun kerajaan bisnis senilai miliaran dolar dari modal awal hanya 10.000 dolar AS. Selama hampir lima dekade, ia menjaga kendali penuh atas perusahaannya sebagai pendiri, CEO, sekaligus direktur kreatif.
Namun, keberhasilan besar sering kali datang dengan konsekuensi: ketika perusahaan bertumbuh, keberlangsungan bisnis tidak lagi hanya bergantung pada pendiri, tetapi juga pada siapa yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan. Inilah alasan mengapa rencana suksesi menjadi sangat krusial, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Armani.
Suksesi sebagai Strategi Jangka Panjang
Armani memahami bahwa kontrol penuh yang ia pegang bisa menjadi kekuatan sekaligus kelemahan. “My greatest weakness is that I am in control of everything,” ucapnya. Menyadari keterbatasan usia, ia menyiapkan fondasi sejak 2016 melalui pembentukan Giorgio Armani Foundation yang bertujuan menjaga independensi perusahaan dan memastikan transisi kepemimpinan yang mulus.
Strategi Armani mencakup dua jalur: pertama, mempercayakan peran penting kepada orang terdekatnya, Pantaleo Dell’Orco, yang telah bekerja bersamanya lebih dari 45 tahun; kedua, melibatkan anggota keluarga seperti Silvana, Roberta, dan Andrea yang sudah lama aktif di perusahaan. Rencana ini mencerminkan pemahaman bahwa suksesi tidak hanya soal darah, tetapi juga soal kapasitas, loyalitas, dan pengalaman.
Teori dan Praktik Suksesi
John L. Ward, salah satu pakar manajemen keluarga bisnis, menekankan bahwa “suksesi adalah proses, bukan peristiwa.” Artinya, transisi kepemimpinan sebaiknya dipersiapkan bertahun-tahun sebelum benar-benar terjadi. Armani tampaknya mengikuti prinsip ini: meski tetap memegang kendali hingga akhir hayat, ia secara perlahan melibatkan penerus dalam keputusan strategis, bahkan hingga detail fitting busana melalui video call di hari-hari terakhirnya.
Sementara itu, Peter Drucker pernah mengatakan, “There is no success without a successor.” Tanpa penerus yang siap, keberhasilan besar bisa runtuh dalam sekejap. Inilah pelajaran penting yang ditinggalkan Armani: betapa keberlanjutan bisnis hanya bisa terjamin melalui kesiapan generasi berikutnya.
Data dan Fakta tentang Suksesi
Sebuah survei PwC Global Family Business (2023) menunjukkan bahwa hanya 30% bisnis keluarga yang mampu bertahan ke generasi kedua, dan hanya 12% yang mencapai generasi ketiga. Salah satu faktor terbesar kegagalan adalah absennya rencana suksesi yang jelas. Bahkan, 45% pemilik bisnis mengakui bahwa mereka menunda pembicaraan tentang suksesi karena dianggap isu sensitif.
Jika kita bandingkan dengan Indonesia, tantangannya bahkan lebih kompleks. Banyak bisnis keluarga masih mengandalkan hubungan darah sebagai penentu utama siapa yang akan melanjutkan kepemimpinan. Budaya patriarkis dan rasa sungkan membuat pembicaraan soal siapa yang akan menggantikan pendiri sering kali ditunda hingga terlambat. Akibatnya, tidak sedikit bisnis yang akhirnya goyah ketika generasi pertama wafat.
Namun, tren baru mulai muncul. Survei Deloitte Indonesia (2022) mencatat bahwa semakin banyak keluarga pemilik bisnis besar kini mulai mengadopsi prinsip profesionalisasi. Mereka membuka peluang bagi non-keluarga yang kompeten untuk menduduki posisi strategis, sambil tetap menjaga kepemilikan keluarga melalui dewan pengawas atau yayasan — mirip dengan apa yang dilakukan Armani melalui fondasinya.
Timeline Suksesi ala Armani
Jika dirangkum, langkah Armani dalam menyiapkan suksesi dapat dijadikan timeline pembelajaran:
- 1975–1990: Masa membangun brand dan memperkenalkan gaya khas Armani, termasuk redefinisi jas pria yang lebih santai dan “power suit” untuk perempuan.
- 1990–2010: Konsolidasi global, memperluas bisnis dari fashion ke parfum, kosmetik, hingga interior dan hotel. Armani semakin dikenal sebagai simbol gaya hidup mewah.
- 2010–2016: Mulai menyiapkan struktur internal yang lebih kuat, memberi ruang bagi keluarga (Silvana, Roberta, Andrea) dan tim inti (Pantaleo Dell’Orco) untuk mengambil peran lebih besar.
- 2016: Membentuk Giorgio Armani Foundation sebagai pilar keberlanjutan untuk menjaga independensi perusahaan setelah ia tiada.
- 2016–2025: Transisi perlahan dengan menempatkan orang terdekat di posisi strategis. Armani tetap mengontrol detail operasional hingga akhir hayat, tetapi tanggung jawab mulai dibagi.
- 2025: Wafat pada 4 September di Milan, meninggalkan peta jalan suksesi yang relatif jelas bagi para penerusnya, dengan kombinasi keluarga, tim inti, dan fondasi sebagai penyangga perusahaan.
Contoh Suksesi: yang Berhasil dan yang Gagal
Di Indonesia, kita bisa menemukan contoh nyata dari dua sisi:
Yang berhasil:
- Astra International adalah contoh klasik bagaimana perusahaan keluarga (dirintis oleh William Soeryadjaya) bisa berkembang menjadi korporasi besar dengan profesionalisasi manajemen. Meski awalnya dibangun oleh keluarga, Astra kemudian mempercayakan kendali kepada manajemen profesional sehingga tetap kokoh hingga kini.
- Mayora Group juga menunjukkan transisi yang relatif mulus. Generasi kedua keluarga Wong aktif mengambil alih peran kepemimpinan, dengan pembagian tugas yang jelas, sehingga ekspansi bisnis dapat berlanjut ke pasar global.
Yang gagal:
- Beberapa bisnis ritel lokal yang pernah berjaya seperti Hero Supermarket atau Gelael Supermarket menghadapi kemunduran karena tidak mampu melakukan regenerasi kepemimpinan yang sesuai dengan perubahan zaman. Meski faktor eksternal turut berperan, lemahnya inovasi dan ketidakjelasan strategi transisi turut mempercepat kemerosotan.
- Contoh lain bisa dilihat dari beberapa bisnis keluarga menengah di sektor manufaktur dan distribusi, di mana konflik antar anggota keluarga soal siapa yang berhak memimpin membuat perusahaan terpecah dan kehilangan daya saing.
Sebuah Pelajaran
Dari Armani hingga Astra, pesan utamanya sama: keberlanjutan bisnis hanya bisa dicapai melalui perencanaan suksesi yang jelas. Menunda pembicaraan tentang siapa penerus sama saja dengan mempertaruhkan masa depan. Armani memang tidak memiliki anak, tetapi ia mampu merancang jalan agar karyanya tetap hidup. Di Indonesia, meski faktor hubungan darah masih dominan, praktik terbaik mengajarkan bahwa profesionalisme, loyalitas, dan kemampuan manajerial seharusnya menjadi kriteria utama.
Pada akhirnya, suksesi bukan sekadar soal siapa yang duduk di kursi pimpinan, tetapi bagaimana nilai, visi, dan fondasi bisnis bisa diteruskan lintas generasi. Armani sudah memberi teladan: bisnis bukan hanya warisan, tetapi juga tanggung jawab untuk memastikan api yang dinyalakan tetap menyala, bahkan setelah sang pendiri tiada.