(Business Lounge Journal – News and Insight)
Dua puluh delapan tahun lalu, Netflix hadir dengan janji sederhana tapi segar: menonton hiburan tanpa aturan kaku. Tidak ada jadwal siaran yang harus diikuti, tidak ada iklan yang mengganggu, dan tidak ada bundel saluran yang membuat kita membayar lebih untuk tayangan yang bahkan tidak pernah ditonton. Ide ini terasa revolusioner di era dominasi TV kabel. Dari DVD yang dikirim lewat pos, Netflix tumbuh menjadi pionir streaming yang mengubah cara dunia menikmati hiburan.
Namun menariknya, ketika kita menoleh ke perjalanan Netflix hari ini, ada ironi yang terasa hangat: perlahan-lahan, Netflix justru mengadopsi elemen-elemen yang dulunya menjadi ciri khas televisi tradisional.
Mari kita lihat pola rilis acara. Pada masa awal, Netflix memperkenalkan konsep binge-watching—satu musim penuh dirilis sekaligus, sehingga orang bisa menonton tanpa henti. Konsep ini begitu populer hingga membentuk budaya baru. Tetapi belakangan, beberapa program besar seperti Love Is Blind atau The Great British Baking Show kembali ke pola mingguan. Ada sesuatu yang menyenangkan dari menunggu episode berikutnya, sebuah rasa kebersamaan ketika penonton di seluruh dunia berbagi antisipasi yang sama. Bukankah ini persis seperti pengalaman menunggu sinetron atau serial TV favorit di masa lalu?
Perubahan berikutnya datang lewat siaran langsung. Netflix kini tidak lagi hanya soal “menonton kapan saja,” tetapi juga soal “menonton bersama di saat yang sama.” Penayangan pertandingan NFL di Hari Natal menjadi tonggak baru, begitu juga dengan rencana tayangan rutin WWE Raw setiap Senin malam. Penonton diajak kembali pada sensasi menonton acara langsung, dengan emosi kolektif yang sulit digantikan tontonan rekaman.
Di sisi bisnis, iklan yang dulu dihindari kini kembali hadir, meski dengan format yang berbeda. Paket beriklan ditawarkan dengan harga lebih terjangkau, dan hasilnya justru banyak dipilih. Menariknya, iklan ini membuka jalan bagi Netflix untuk masuk ke segmen baru, sekaligus memberi alternatif bagi penonton yang fleksibel soal harga. Selain itu, Netflix kini juga semakin sering hadir dalam bundel bersama platform lain, hasil kolaborasi dengan operator telekomunikasi. Praktik ini mengingatkan kita pada paket saluran TV kabel di masa lalu, hanya saja dalam bentuk yang lebih modern.
Katalog Netflix pun kini semakin berwarna. Tidak hanya tayangan baru, tetapi juga karya lama yang menemukan kehidupan kedua. Suits menjadi fenomena global bertahun-tahun setelah tamat, sementara serial klasik HBO seperti Band of Brothers bisa dinikmati oleh generasi yang belum sempat menyaksikannya saat pertama kali tayang. Fenomena ini menunjukkan betapa penonton tetap menghargai cerita bagus, meskipun lahir di era yang berbeda.
Lalu apa yang dapat kita pelajari dari strategi Netflix ini?
Pertama, fleksibilitas dalam model bisnis. Netflix memulai dengan janji kebebasan tanpa iklan dan tanpa bundel. Tetapi ketika kondisi pasar berubah, mereka tidak ragu membuka opsi paket beriklan, bahkan ikut dalam bundling dengan pihak ketiga. Pesannya jelas: kesetiaan bukan pada format awal, melainkan pada kebutuhan pelanggan. Bagi manajemen, ini adalah pengingat bahwa strategi bukanlah sesuatu yang kaku, melainkan harus selalu dinamis.
Kedua, menciptakan pengalaman, bukan sekadar produk. Strategi rilis mingguan untuk beberapa serial populer dan siaran langsung untuk olahraga atau hiburan, membuktikan bahwa Netflix paham: penonton tidak hanya mencari tontonan, tetapi juga rasa kebersamaan. Mereka kembali menghadirkan “ritual” menunggu tayangan, sebuah nilai emosional yang memperkuat loyalitas. Ini pelajaran penting: dalam bisnis, sering kali yang membedakan bukan produk semata, melainkan pengalaman yang dibangun di sekitarnya.
Ketiga, menghidupkan kembali aset lama. Kesuksesan Suits atau Band of Brothers menunjukkan bahwa konten klasik bisa menemukan pasar baru jika ditempatkan di kanal yang tepat. Dari sisi manajemen, ini mengajarkan pentingnya mengelola portofolio aset dengan bijak. Tidak semua inovasi harus lahir dari nol; kadang, nilai ada pada cara baru memanfaatkan sumber daya yang sudah ada.
Keempat, menyediakan pilihan harga yang adaptif. Kehadiran paket beriklan bukan hanya soal iklan, melainkan strategi segmentasi. Netflix menyadari bahwa tidak semua pelanggan memiliki daya beli sama. Dengan menghadirkan variasi harga, mereka berhasil memperluas basis pengguna tanpa kehilangan citra premium. Ini adalah contoh bagaimana strategi pricing bisa menjadi alat pertumbuhan yang efektif.
Kelima, berani menguji ulang asumsi lama. Dulu Netflix berdiri sebagai “anti-TV.” Kini, secara ironis, mereka mengadopsi kembali konsep TV: jadwal mingguan, siaran langsung, hingga bundling. Keberanian untuk menguji ulang asumsi inilah yang menjaga mereka tetap relevan. Banyak organisasi gagal bukan karena tidak punya strategi, melainkan karena terlalu terpaku pada “dogma” awal.
Pada akhirnya, kisah Netflix adalah studi kasus tentang ketahanan strategi. Dunia berubah, teknologi berkembang, dan preferensi konsumen tidak pernah statis. Manajemen yang berhasil bukanlah yang berpegang pada satu format selamanya, melainkan yang mampu membaca tren, menyesuaikan diri, dan bahkan mengulang siklus lama dengan sentuhan baru.
Netflix hari ini adalah pengingat bahwa dalam bisnis, reinvention bukan sekadar pilihan, melainkan keharusan.