(Business Lounge Journal – Human Resources)
Gelombang pertama revolusi kecerdasan buatan generatif (generative AI) mulai terasa nyata di pasar tenaga kerja global. Studi terbaru dari Stanford University mengungkapkan fakta yang cukup mengkhawatirkan: generasi muda, khususnya Gen Z, menjadi kelompok yang paling rentan menghadapi dampak disrupsi ini.
Data Awal: Pekerja Muda Kehilangan Jejak
Penelitian yang berbasis pada jutaan data penggajian (payroll data) menunjukkan bahwa sejak akhir 2022, tingkat pekerjaan bagi kelompok usia 22–25 tahun di sektor yang paling terekspos AI—seperti rekayasa perangkat lunak dan layanan pelanggan—turun drastis hingga 13%.
Sebaliknya, pekerja senior dengan posisi dan peran yang sama justru relatif lebih stabil, bahkan sebagian mengalami peningkatan kesempatan kerja sebesar 6–9%. Artinya, meski teknologi menggantikan fungsi tertentu, pengalaman dan pengetahuan implisit (tacit knowledge) terbukti menjadi “penyelamat” bagi mereka yang lebih berpengalaman.
Pergeseran Nilai Pendidikan dan Karier Awal
Temuan Stanford ini sejalan dengan kekhawatiran global. Goldman Sachs, misalnya, memperingatkan bahwa nilai gelar sarjana semakin menurun, sementara laporan dari Bank of America Global Research menyebut tingkat pengangguran lulusan baru kini lebih tinggi dibandingkan tingkat pengangguran nasional secara keseluruhan—fenomena yang jarang terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
Bagi Gen Z, kondisi ini menjadi sinyal keras. Memasuki dunia kerja dengan bekal pendidikan formal tidak lagi menjamin keamanan karier, terutama di sektor yang mudah digantikan oleh AI.
Substitusi vs Augmentasi: Dua Wajah AI
Menariknya, dampak AI terhadap pekerjaan tidak sepenuhnya negatif. Stanford menegaskan bahwa perbedaan terjadi pada cara AI digunakan:
- AI yang bersifat substitusi: menggantikan tenaga kerja, misalnya dalam layanan pelanggan berbasis chatbot atau pengkodean dasar. Di sektor ini, peluang kerja entry-level justru menurun tajam.
- AI yang bersifat augmentasi: mendukung produktivitas manusia, contohnya dalam analisis anomali hasil pemindaian medis atau dalam penulisan konten pemasaran yang kemudian disempurnakan oleh manusia. Pada kasus ini, AI terbukti meningkatkan efisiensi tanpa memangkas banyak peran pemula.
Dengan kata lain, AI bukan sekadar teknologi disruptif yang “menghapus” pekerjaan, tetapi juga alat transformasi yang mengubah kualitas pekerjaan.
Gelombang PHK dan Investasi Teknologi
Beberapa perusahaan besar global telah melakukan langkah dramatis. Microsoft, Walmart, dan Duolingo termasuk di antara nama besar yang melakukan PHK besar-besaran terhadap pekerja pengetahuan (knowledge workers). Ironisnya, di saat yang sama perusahaan-perusahaan ini melakukan investasi besar untuk mempercepat adopsi AI.
Sebagai contoh, CEO Duolingo, Luis von Ahn, pada April lalu secara terbuka mengumumkan transformasi aplikasinya menjadi platform “AI-first”. Hal ini menegaskan bahwa perusahaan lebih memilih mengalokasikan sumber daya untuk teknologi baru ketimbang mempertahankan banyak posisi entry-level.
Kekhawatiran Publik dan Risiko Jangka Panjang
Kekhawatiran publik bukan tanpa alasan. Survei Ipsos dan Reuters baru-baru ini menunjukkan 71% masyarakat Amerika merasa cemas bahwa AI bisa menghapus lapangan kerja dalam skala besar. Penelitian terpisah dari Oxford University dan Deloitte juga memprediksi sekitar 35% pekerjaan yang ada saat ini berisiko tinggi terotomatisasi dalam 20 tahun ke depan.
Jika tren ini benar, maka perubahan lanskap kerja akan lebih cepat dari yang diperkirakan banyak pihak, dan generasi muda berpotensi menjadi “korban pertama”.
Apa yang Bisa Dipelajari Dunia Bisnis?
Dari perspektif bisnis, riset Stanford ini menjadi peringatan penting. AI memang menghadirkan efisiensi, namun tanpa strategi sumber daya manusia yang matang, perusahaan bisa kehilangan talenta muda yang seharusnya menjadi motor pertumbuhan jangka panjang.
Ada beberapa poin yang perlu diperhatikan:
- Membangun strategi augmentasi: alih-alih menggantikan pekerja pemula sepenuhnya, perusahaan bisa memanfaatkan AI sebagai pendukung produktivitas dan pelatihan.
- Investasi pada pelatihan ulang (reskilling): khususnya untuk Gen Z agar mereka bisa beradaptasi dengan peran baru yang lebih strategis.
- Menjaga keseimbangan antargenerasi: pengalaman pekerja senior penting, tetapi talenta muda membawa ide segar dan literasi digital tinggi.
Studi Stanford ini menyebut fenomena yang sedang terjadi sebagai “awal dari revolusi AI di pasar tenaga kerja”. Dampaknya belum merata, namun jelas bahwa generasi muda lebih terdampak dibanding generasi senior.
Bagi perusahaan, tantangan terbesar bukan sekadar bagaimana mengadopsi AI, tetapi bagaimana memastikan bahwa transformasi ini tidak menciptakan “lost generation” di pasar kerja. Di era di mana teknologi melesat jauh, keberanian untuk menyeimbangkan efisiensi, keberlanjutan, dan inklusi generasi akan menentukan daya saing bisnis di masa depan.
Apa yang Harus Dilakukan Gen Z Indonesia di Era AI?
Studi Stanford yang menunjukkan Gen Z paling terdampak disrupsi AI seharusnya menjadi alarm keras, bukan hanya untuk negara maju, tetapi juga bagi Indonesia. Jika gelombang otomatisasi ini makin kuat, maka lulusan SMA hingga fresh graduate akan menghadapi kompetisi yang jauh lebih ketat dibanding generasi sebelumnya.
1. Pertanyaan Besar: Apakah Harus Sarjana?
Di Indonesia, gelar sarjana masih memiliki nilai sosial dan ekonomis yang cukup tinggi. Banyak perusahaan masih menjadikannya syarat administratif utama. Namun, tren global menunjukkan bahwa gelar bukan lagi satu-satunya penentu keberhasilan karier.
- Sarjana tetap penting, terutama di bidang-bidang yang membutuhkan landasan teori mendalam dan kredensial formal (kedokteran, hukum, akuntansi, teknik sipil, dsb).
- Namun, di era AI, nilai gelar sarjana bisa menurun bila tidak dibarengi keterampilan praktis yang relevan dengan industri.
Artinya, pendidikan tinggi tetap perlu, tetapi pendekatannya harus berbeda: tidak hanya mengejar ijazah, melainkan memastikan ada kompetensi nyata yang siap digunakan di lapangan.
2. Fokus pada Skill yang Sulit Digantikan AI
Generative AI sangat cepat menguasai kemampuan kognitif berbasis “hafalan” atau “rutinitas”, misalnya coding dasar, customer service, atau data entry. Maka Gen Z Indonesia perlu fokus pada keterampilan yang tidak mudah digantikan AI, seperti:
- Kreativitas & desain → UI/UX, desain produk, konten kreatif.
- Analisis kritis & problem solving → kemampuan menyelesaikan masalah kompleks dengan konteks lokal.
- Manajemen proyek & kepemimpinan → mengoordinasikan tim dan sumber daya, sesuatu yang masih sulit ditangani AI.
- Komunikasi & kolaborasi antarbudaya → semakin penting di era globalisasi.
3. Alternatif Selepas SMA
Bagi Gen Z Indonesia selepas SMA, ada beberapa jalur realistis:
- Sarjana dengan arah baru
Pilih program studi yang memberi kombinasi teori dan keterampilan praktis: data science, digital marketing, desain komunikasi visual, teknologi pangan, atau sustainability studies. - Pendidikan vokasi / politeknik
Jalur ini semakin relevan karena langsung membekali keterampilan praktis yang dibutuhkan industri (contoh: politeknik negeri atau akademi teknologi digital). - Bootcamp & sertifikasi
Untuk bidang cepat berubah (seperti coding, AI, digital marketing), bootcamp dan sertifikasi internasional bisa lebih cepat membuka pintu kerja dibanding kuliah panjang. - Entrepreneurship & freelance
Dengan literasi digital tinggi, Gen Z bisa membangun portofolio sejak dini melalui bisnis online, freelancing, atau project-based economy.
4. Mindset Baru: Belajar Sepanjang Hayat
Hal terpenting adalah kesadaran bahwa belajar tidak berhenti di kampus. AI membuat siklus keterampilan relevan semakin singkat. Maka Gen Z harus siap:
- Reskilling setiap 3–5 tahun.
- Membangun portofolio, bukan hanya CV.
- Memanfaatkan AI sebagai co-pilot, bukan kompetitor.
Jadi, apakah harus sarjana? Ya, bila bidangnya memang membutuhkan kredensial formal. Tetapi untuk banyak industri lain, yang lebih penting adalah kombinasi keterampilan praktis, adaptabilitas, dan keberanian berinovasi.
Bagi Gen Z Indonesia, pilihan terbaik selepas SMA adalah jalur yang paling cepat membekali dengan skill nyata sekaligus membuka kesempatan untuk terus belajar seiring perkembangan teknologi.