(Business Lounge – Art) Di kota kecil Assisi, Italia, sebuah rangkaian lukisan dinding yang dibuat lebih dari tujuh abad lalu masih memikat mata dan hati jutaan pengunjung setiap tahunnya. Karya monumental ini adalah fresco siklus The Legend of St. Francis yang dikerjakan oleh Giotto di Bondone, seorang pelukis pra-Renaisans yang dianggap membuka jalan bagi revolusi visual di Eropa. Menurut laporan The Art Newspaper, karya ini bukan sekadar dekorasi gereja, tetapi sebuah narasi visual yang mengubah cara orang memandang seni religius pada masanya.
Giotto, yang bekerja pada akhir abad ke-13 hingga awal abad ke-14, dikenal karena keberaniannya meninggalkan gaya Bizantium yang kaku dan formal. Sebagai gantinya, ia menghadirkan figur-figur manusia dengan emosi nyata, tubuh yang memiliki bobot, dan latar yang terasa hidup. Di Basilika St. Fransiskus di Assisi, ia menyelesaikan serangkaian panel fresco yang menceritakan kehidupan sang santo pelindung Italia tersebut, mulai dari kelahirannya di sebuah keluarga pedagang kain yang kaya, hingga pengabdiannya kepada kemiskinan dan pelayanan pada yang lemah.
Setiap panel dalam The Legend of St. Francis memiliki komposisi yang unik namun saling terhubung secara naratif. Misalnya, adegan Renunciation of Worldly Goods menampilkan momen ketika Fransiskus menanggalkan pakaiannya di depan umum sebagai simbol penolakan terhadap kemewahan duniawi. Giotto melukiskannya dengan gestur tubuh yang lugas dan wajah yang menunjukkan tekad, diiringi ekspresi terkejut dari ayahnya dan tatapan penuh simpati dari uskup. Kepekaan dalam menangkap interaksi antarfigur inilah yang membuat karya Giotto terasa mendekati dunia nyata, bukan sekadar kisah rohani yang jauh dari kehidupan manusia.
Teknik yang digunakan Giotto di Assisi juga mencerminkan inovasi pada masanya. Dengan penguasaan perspektif awal dan permainan cahaya-bayang yang halus, ia mampu memberikan kedalaman pada ruang lukis. Dinding yang datar berubah menjadi lanskap kota, interior gereja, atau pedesaan Italia yang tampak berlapis-lapis. Menurut Smithsonian Magazine, pendekatan ini mempengaruhi generasi seniman berikutnya, termasuk para pelukis Renaisans awal seperti Masaccio dan Fra Angelico. Giotto secara efektif memindahkan seni Eropa dari simbolisme murni ke representasi yang lebih naturalis.
Tak kalah penting adalah warna-warna yang digunakan. Meski waktu dan paparan udara telah memudarkan sebagian pigmen, jejak palet asli Giotto masih bisa dilihat: biru langit yang dalam dari lapisan lapis lazuli, merah oker yang hangat, dan hijau zaitun yang menenangkan. Warna-warna ini bukan hanya estetis, tetapi juga sarat simbolisme. Biru, misalnya, sering digunakan untuk menandai kesucian atau kehadiran ilahi, sementara merah mengisyaratkan pengorbanan dan keberanian.
Salah satu kekuatan utama The Legend of St. Francis adalah kemampuannya menghubungkan nilai spiritual dengan pengalaman manusia sehari-hari. Giotto tidak hanya menampilkan mukjizat dan momen agung, tetapi juga interaksi sederhana—seperti Fransiskus berbicara dengan para biarawan, membantu orang sakit, atau mengamati alam. Adegan-adegan ini membuat penonton masa kini dapat merasakan kedekatan emosional, seolah-olah kehidupan sang santo masih relevan di tengah hiruk-pikuk dunia modern.
Bagi masyarakat abad pertengahan, fresco ini berfungsi sebagai alat pendidikan visual. Sebagian besar jemaat pada waktu itu tidak bisa membaca, sehingga narasi bergambar menjadi sarana utama untuk memahami kisah hidup para tokoh suci. Di Assisi, karya Giotto memandu umat dari satu panel ke panel berikutnya, seperti membaca bab demi bab dari sebuah kitab yang dilukis. The Guardian mencatat bahwa tata letak visual ini menjadi model bagi banyak gereja Eropa di abad-abad berikutnya.
Dari sisi teknis, pengerjaan fresco memerlukan disiplin tinggi. Giotto harus melukis di atas plester basah (buon fresco) sehingga pigmen menyatu dengan dinding saat mengering. Setiap hari kerja hanya bisa menyelesaikan sebagian kecil area, dan setiap kesalahan berarti mengikis plester dan mengulang dari awal. Dedikasi ini, ditambah dengan konsistensi kualitas artistik di seluruh siklus, menjadi bukti keterampilan luar biasa Giotto dan tim asistennya.
Kehadiran The Legend of St. Francis di Assisi juga memiliki dimensi ekonomi dan budaya. Basilika ini telah menjadi salah satu tujuan wisata religi terpenting di Italia, menarik jutaan peziarah dan turis setiap tahun. Menurut Italy’s Ministry of Culture, pariwisata di Assisi berkontribusi signifikan terhadap perekonomian lokal, dari hotel hingga restoran dan toko cendera mata. Dengan kata lain, warisan seni Giotto bukan hanya simbol spiritual, tetapi juga aset berkelanjutan bagi kota.
Meski demikian, keberlangsungan karya ini menghadapi tantangan serius. Gempa bumi tahun 1997 merusak sebagian basilika dan fresco, memicu upaya restorasi besar-besaran. Para ahli konservasi bekerja dengan teknologi mutakhir, seperti pemindaian laser dan analisis pigmen mikroskopis, untuk mengembalikan warna dan detail tanpa menghilangkan jejak keasliannya. Perubahan iklim, kelembapan, dan polusi udara tetap menjadi ancaman yang memerlukan pemantauan konstan.
Pengaruh The Legend of St. Francis melampaui konteks keagamaannya. Bagi para seniman kontemporer, karya ini menunjukkan bahwa seni dapat menjadi medium yang kuat untuk membangun empati dan kesadaran sosial. Bagi sejarawan, Giotto adalah contoh bagaimana inovasi artistik bisa lahir dari keberanian menantang tradisi. Dan bagi penonton biasa, fresko di Assisi adalah pengingat bahwa keindahan sejati sering kali muncul dari penggambaran kehidupan yang sederhana namun penuh makna.
Kini, lebih dari 700 tahun setelah Giotto mengangkat kuasnya, The Legend of St. Francis tetap memancarkan daya tarik yang sama seperti saat pertama kali ditampilkan. Para pengunjung yang berdiri di dalam basilika, memandang ke dinding yang penuh warna dan kisah, merasakan sesuatu yang melampaui waktu—sebuah dialog senyap antara masa lalu dan masa kini, antara iman dan kemanusiaan. Dalam dunia yang terus berubah, fresko ini adalah jangkar yang menautkan kita pada nilai-nilai abadi: kerendahan hati, cinta pada sesama, dan keberanian untuk hidup sesuai keyakinan.
Jika Giotto pernah berniat agar karyanya berbicara lintas generasi, maka di Assisi ia berhasil. Fresko-fresko itu tidak sekadar menceritakan kisah St. Fransiskus; mereka mengundang kita untuk bertanya pada diri sendiri—apa arti pengabdian, apa makna kemiskinan yang dipilih, dan bagaimana kita, dalam konteks zaman ini, dapat menjalani hidup dengan ketulusan yang sama. Dan di situlah letak keajaiban The Legend of St. Francis: bukan hanya pada keindahan visualnya, tetapi pada kemampuannya menyalakan kembali percakapan yang telah berlangsung selama berabad-abad.

