(Business Lounge – Global News) Goldman Sachs secara resmi membatalkan rencana ambisiusnya untuk membangun jaringan hotel mewah di Yunani setelah menjual tiga properti resort yang telah dibeli pada 2022. Penjualan ini dilakukan dengan hasil yang nyaris impas, dan mencerminkan kegagalan Goldman dalam mewujudkan strategi ekspansi bisnisnya ke sektor hospitality. Dalam dunia investasi global, langkah mundur ini mencerminkan peringatan penting bagi investor institusi besar bahwa uang saja tidak cukup dalam bisnis yang sangat bergantung pada pengetahuan lokal, efisiensi operasional, dan sensitivitas terhadap dinamika pasar pariwisata.
Rencana awal Goldman adalah meluncurkan merek hotel baru bernama Ousia, yang dimulai dengan akuisisi tiga properti besar di wilayah pesisir Halkidiki, Yunani bagian utara: Athos Palace, Pallini Beach, dan Theophano Imperial. Ketiga resort tersebut berada di lokasi strategis dengan pemandangan langsung ke Laut Aegea, kawasan yang perlahan menjadi pusat tujuan wisata kelas atas seiring pemulihan Yunani pascapandemi. Melalui anak usaha bernama Ousia Hospitality Platform, Goldman berharap mengubah properti-properti lama itu menjadi kompleks hotel mewah modern dengan layanan bintang lima yang mampu bersaing di kancah Eropa.
Namun ambisi itu tidak berjalan sesuai rencana. Renovasi yang dijanjikan tertunda selama lebih dari dua tahun, sebagian besar karena tantangan perizinan dan kenaikan drastis biaya konstruksi akibat inflasi global serta tekanan pada rantai pasok. Menurut laporan dari The Wall Street Journal, total biaya investasi awal yang direncanakan Goldman untuk akuisisi dan pengembangan mencapai lebih dari €100 juta. Namun dengan membengkaknya anggaran dan minimnya kemajuan, Goldman memutuskan menjual aset tersebut kepada Sani/Ikos Group, grup perhotelan Yunani-Spanyol yang telah dikenal sebagai operator resort all-inclusive kelas atas.
Penjualan ini tidak menghasilkan keuntungan berarti. Sumber yang mengetahui transaksi tersebut menyebut bahwa Goldman hanya “pulang modal,” tanpa margin signifikan. Artinya, setelah dua tahun membekukan modal di proyek ini, bank investasi asal Amerika Serikat itu akhirnya keluar dengan hasil yang tidak sebanding dengan upaya, risiko, dan ekspektasi awal. Hal ini menjadi pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir Goldman mundur dari proyek real estate di Eropa dalam kondisi hampir rugi.
Dari awal, pendekatan Goldman dalam proyek ini dianggap kurang realistis oleh para pengamat industri. Tidak seperti pemain perhotelan yang berpengalaman, Goldman memutuskan membentuk tim internal untuk mengawasi seluruh pengembangan hotel, tanpa bermitra erat dengan operator lokal yang sudah menguasai medan. Tim Ousia di Athena, meski berpengalaman dalam manajemen aset, tidak memiliki cukup kompetensi teknis untuk menangani proyek renovasi properti berskala besar di negara dengan sistem birokrasi rumit seperti Yunani.
Laporan dari Reuters menyebutkan bahwa Goldman telah memperkirakan proyek renovasi bisa selesai dalam waktu 18 hingga 24 bulan setelah akuisisi. Namun hingga pertengahan 2024, hampir tidak ada kemajuan berarti di lapangan. Masalah perizinan lingkungan dan konstruksi yang memakan waktu hingga berbulan-bulan menjadi penyebab utama terhambatnya progres. Kenaikan harga material bangunan dan kelangkaan tenaga kerja konstruksi akibat tekanan ekonomi pascapandemi juga menambah beban biaya operasional.
Kegagalan ini menjadi pelajaran mahal bagi Goldman dan investor institusional lainnya yang berusaha mendiversifikasi portofolio mereka ke sektor real estate hospitality. Terlebih lagi, pariwisata mewah bukan sekadar permainan modal, tetapi juga reputasi, layanan, dan koneksi lokal. Dalam konteks Yunani, reputasi dan hubungan dengan otoritas lokal sangat menentukan kecepatan proses administrasi. Sani/Ikos Group, misalnya, telah beroperasi di kawasan tersebut selama lebih dari satu dekade dan memiliki sistem operasional yang mapan, termasuk kontraktor, pemasok, hingga jaringan distribusi tenaga kerja.
Sani/Ikos mengumumkan bahwa mereka akan mengambil alih ketiga properti yang sebelumnya dimiliki oleh Goldman dan mengintegrasikannya ke dalam rencana pengembangan resort mewah bernama Ikos Kassandra. Resort ini dijadwalkan dibuka pada tahun 2029, dengan skala besar yang mencakup lebih dari 750 kamar, 30 restoran dan bar, serta fasilitas spa dan hiburan kelas atas. Total nilai investasi dari Sani/Ikos untuk proyek ini diperkirakan mencapai lebih dari €400 juta.
Langkah Sani/Ikos yang mengambil alih proyek ini menunjukkan bahwa meskipun properti memiliki lokasi strategis dan potensi besar, eksekusinya harus dilakukan oleh pihak yang memahami pasar, birokrasi, dan operasional lokal. Dalam wawancara dengan media Eropa, salah satu eksekutif senior Sani/Ikos menyatakan bahwa mereka tidak hanya membeli aset, tetapi membeli peluang jangka panjang yang tidak bisa diwujudkan oleh Goldman karena “ketidakcocokan strategi.”
Kegagalan Goldman juga mencerminkan tantangan baru dalam investasi pariwisata mewah di era modern. Menurut analisis dari Bloomberg, tren resort mewah saat ini bergeser ke arah pengalaman all-inclusive yang sangat terkurasi, keberlanjutan lingkungan, dan desain yang menyatu dengan budaya lokal. Investor yang hanya melihat properti sebagai aset fisik tanpa strategi pengalaman atau operasional akan sulit bersaing dalam pasar yang semakin padat dan selektif. Selain itu, banyak wisatawan kelas atas kini mencari akomodasi dengan nilai tambah sosial atau keberlanjutan, sesuatu yang belum terintegrasi dalam rencana Ousia.
Dari sisi keuangan, meskipun Goldman tidak merugi secara langsung, namun opportunity cost dari membekukan lebih dari €100 juta selama dua tahun tanpa hasil yang sepadan tentu menjadi kerugian tersendiri. Selain itu, reputasi Goldman sebagai investor cerdas ikut dipertanyakan karena pendekatan yang dianggap terlalu percaya diri dalam sektor yang di luar kompetensi intinya. Banyak analis melihat bahwa langkah ini akan mendorong Goldman untuk meninjau ulang rencana-rencana ekspansi non-tradisional mereka dan kembali fokus pada bisnis utama seperti investment banking, trading, dan pengelolaan aset.
Beberapa pengamat industri menyebut kasus ini sebagai contoh klasik kegagalan “financialization of hospitality”—yakni ketika pemain keuangan mencoba mengubah sektor berbasis pengalaman menjadi alat investasi seperti saham atau obligasi, tanpa mempertimbangkan aspek manusia dan budaya yang mendalam. Dalam bisnis hotel, pengalaman pelanggan, efisiensi operasional, dan reputasi brand jauh lebih penting dibanding sekadar margin keuntungan dari capital gain.
Namun kegagalan Goldman tidak serta merta membuat sektor pariwisata Yunani meredup. Justru sebaliknya, akuisisi oleh Sani/Ikos dianggap sebagai kemenangan bagi sektor pariwisata lokal yang kini dikelola oleh operator yang paham pasar dan memiliki rekam jejak kesuksesan. Pemerintah Yunani juga menyambut baik akuisisi ini karena diperkirakan dapat menciptakan lebih dari 1.000 lapangan kerja baru serta mendorong ekonomi lokal di Halkidiki. Proyek ini bahkan diperkirakan menjadi magnet baru bagi wisatawan dari Jerman, Inggris, dan Timur Tengah.
Secara umum, kisah Goldman di Yunani mencerminkan realitas baru investasi global: bahwa kesuksesan tidak hanya ditentukan oleh kekuatan modal, tetapi juga oleh kesiapan strategi, pemahaman lokal, dan kemitraan yang tepat. Di tengah dunia yang semakin kompleks dan terfragmentasi, investor besar seperti Goldman harus belajar bahwa strategi global tidak bisa dilepaskan dari realitas lokal. Kegagalan di Yunani mungkin menjadi pelajaran penting agar ekspansi berikutnya dilakukan dengan lebih cermat, terintegrasi, dan kolaboratif.
Dengan hengkangnya Goldman dari proyek ini, Sani/Ikos kini menjadi pemilik tunggal dari salah satu pengembangan resort paling ambisius di kawasan Mediterania. Ini membuktikan bahwa dalam dunia investasi real estate, keunggulan tidak hanya datang dari neraca yang besar, tetapi dari pengalaman panjang, hubungan lokal yang kuat, dan komitmen jangka panjang terhadap komunitas dan pasar.
Bagi Goldman Sachs, kegagalan ini mungkin bukan pukulan finansial besar, tetapi jelas merupakan pukulan reputasi. Mereka datang dengan niat membangun ikon baru pariwisata Eropa, namun harus pulang dengan tangan kosong. Dunia investasi menyaksikan, dan pelajaran telah diberikan. Kini tinggal bagaimana Goldman mengambil hikmahnya untuk menyusun langkah selanjutnya. Karena dalam bisnis global, gagal memahami lokal bisa jadi kesalahan yang paling mahal.