(Business Lounge Journal – General Management)
Hari Selasa (17/6) yang biasanya berjalan biasa-biasa saja di markas Amazon berubah menjadi momen refleksi besar bagi ribuan karyawan korporatnya. Dalam sebuah memo internal, CEO Andy Jassy menyampaikan pesan lugas namun mengejutkan: Amazon akan mengadopsi pendekatan AI-first secara menyeluruh, dan itu berarti akan ada lebih sedikit peran manusia dalam operasional masa depan.
Bagi sebagian orang, ini adalah sinyal visi jangka panjang yang ambisius. Namun bagi banyak karyawan, terutama mereka yang berada di level menengah hingga entry-level, ini terdengar seperti peringatan pemutusan hubungan kerja secara bertahap—yang dibungkus dalam narasi efisiensi.
Reaksi pun muncul cepat dan keras. Melalui kanal Slack internal, sejumlah besar karyawan menyuarakan kekhawatiran mereka. Ada yang menyebut memo tersebut “melemahkan semangat”, ada pula yang mengecam Jassy karena “terlalu memuja AI dan mengabaikan dampak kemanusiaan.” Salah satu komentar yang viral di kanal internal menyatakan: “Tak ada yang lebih memotivasi di hari Selasa selain membaca bahwa pekerjaan Anda akan digantikan oleh bot.”
AI Sebagai Mesin Efisiensi, Bukan Alat Inovasi Kolaboratif?
Dalam memo sepanjang beberapa halaman itu, Jassy menekankan bahwa kecerdasan buatan generatif bukan hanya akan menjadi bagian dari layanan pelanggan dan logistik, tapi akan menjadi fondasi utama transformasi operasional Amazon—dari manajemen gudang, pemrosesan data, hingga penulisan kode.
“Kita akan membutuhkan lebih sedikit orang untuk melakukan beberapa jenis pekerjaan yang hari ini masih dilakukan manusia,” tulis Jassy. “Namun kita juga akan membutuhkan lebih banyak orang untuk melakukan jenis pekerjaan baru.”
Namun transisi ini tampaknya tidak disambut hangat oleh banyak karyawan. Narasi bahwa AI akan menggantikan pekerjaan “rutin” sementara manusia akan “naik kelas” ke peran strategis terdengar ideal—tapi implementasinya menimbulkan pertanyaan besar: siapa yang akan mendapat kesempatan untuk beradaptasi, dan siapa yang akan tersisih?
Rekam Jejak Pemangkasan dan Arah Strategi yang Kian Dingin
Sejak 2022, Amazon telah memangkas lebih dari 27.000 karyawan—sebagian besar dari divisi teknologi dan operasional. Saat perusahaan-perusahaan lain mulai kembali merekrut seiring pemulihan ekonomi pascapandemi, Amazon tetap memilih untuk mempertahankan struktur yang ramping. Bahkan ketika laba perusahaan meningkat dan investasi AI meningkat tajam, kebijakan perekrutan belum kembali normal, khususnya di tingkat korporat.
Dalam pernyataan publiknya, Jassy berulang kali mendorong Amazon untuk bertindak layaknya “startup terbesar di dunia”—cepat, ramping, dan penuh risiko. Tapi bagi banyak pihak di dalam perusahaan, budaya kerja yang tercipta justru lebih menyerupai lingkungan korporat besar yang fokus pada pemangkasan biaya dan efisiensi, bukan lagi tempat untuk tumbuh dan berinovasi.
Rasa Frustrasi: Mengapa AI Tak Menyentuh Eksekutif?
Kekesalan yang muncul bukan hanya karena rasa takut kehilangan pekerjaan, tapi juga karena persepsi ketimpangan struktural. Beberapa karyawan mempertanyakan mengapa efisiensi yang dijanjikan AI tidak menyasar jajaran eksekutif senior. “Apakah ini juga berarti jumlah SVP (Senior Vice President) akan dikurangi?” tulis seorang karyawan di Slack, disambut dengan banyak emoji anggukan virtual.
Kritik lainnya juga menyasar pada ketidakjelasan visi jangka panjang. “Ini bertentangan dengan prinsip Think Big,” tulis seorang insinyur perangkat lunak. “Apakah satu-satunya strategi perusahaan kini adalah ‘lakukan apa yang kita lakukan hari ini dengan lebih murah, dan biarkan AI mengurus sisanya’?”
Amazon Tak Sendirian — Dunia Korporat Sedang Mengarah ke Jalur Serupa
Fenomena ini bukan hanya terjadi di Amazon. Raksasa teknologi seperti Google dan Microsoft juga tengah berinvestasi miliaran dolar dalam teknologi AI, sambil diam-diam memangkas ribuan karyawan. Sementara itu, startup seperti Harvey dan Adept sedang membangun AI agents yang secara eksplisit dirancang untuk menggantikan pekerjaan kantor—mulai dari menulis laporan, meriset pasar, hingga menjalankan analisis hukum.
CEO Anthropic, Dario Amodei, bahkan baru-baru ini mengeluarkan peringatan keras: bahwa dalam 5 tahun ke depan, hingga 50% pekerjaan white-collar entry-level bisa hilang, dan angka pengangguran bisa melonjak ke 20% di AS jika tidak ada langkah antisipasi yang serius.
Ironisnya, Amazon adalah investor utama di Anthropic—dengan total investasi mencapai $8 miliar, menjadikan mereka mitra cloud utama startup AI tersebut. Dengan kata lain, Amazon bukan hanya pengguna, tetapi kontributor aktif terhadap percepatan perubahan ini.
Lalu, Di Mana Posisi Manusia dalam Masa Depan AI?
Dalam memo tersebut, Jassy mencoba menanamkan semangat baru: dorongan untuk mengadopsi AI-first mindset. Ia menyarankan agar tim menjadi “lebih gesit dengan formasi lebih kecil”, dan mengajak semua karyawan untuk ikut membangun masa depan Amazon yang baru. Mereka yang “mau beradaptasi” dijanjikan posisi berpengaruh dan berdampak.
Namun bagi sebagian besar tenaga kerja, transisi ini datang terlalu cepat tanpa arah yang jelas. Pelatihan ulang, perubahan peran, dan penyesuaian tanggung jawab—semuanya menuntut waktu, energi, dan dukungan. Jika tidak dikelola dengan hati-hati, transformasi ini justru bisa melahirkan ketidakpercayaan dan ketidakstabilan dalam organisasi.
Apa Kabar Perkembangan AI di Indonesia?
Secara umum, adopsi AI di Indonesia memang masih tertinggal dibanding negara-negara seperti Amerika Serikat, Tiongkok, atau Singapura, namun ada percepatan yang nyata dalam 1–2 tahun terakhir. Faktor pendorong utamanya antara lain:
- Ketersediaan layanan AI global seperti OpenAI, Google Cloud AI, Microsoft Azure, dll.
- Adopsi cepat GenAI (ChatGPT, Copilot, Gemini) oleh sektor bisnis dan kreatif.
- Inisiatif pemerintah melalui Bappenas dan Kominfo untuk menyusun peta jalan transformasi digital, termasuk AI.
Laporan PwC dan McKinsey menyebutkan bahwa potensi kontribusi AI terhadap PDB Indonesia bisa mencapai $366 miliar per tahun pada 2030, jika implementasinya optimal.
Belum banyak data publik soal jumlah PHK akibat AI di Indonesia, namun ada beberapa sinyal penting yang patut dicermati:
1. Sektor yang Paling Terpengaruh:
- Media dan Kreatif: Beberapa media online mengurangi tenaga editor dan konten writer, menggantikan sebagian pekerjaan dengan AI generatif.
- Customer Service dan Call Center: Otomatisasi chatbot berbasis AI semakin masif. Banyak perusahaan fintech, e-commerce, dan perbankan mulai mengurangi staf CS level 1.
- Akuntansi dan Administrasi: Tools seperti SAP AI, ChatGPT untuk pelaporan, dan RPA (robotic process automation) mulai mengurangi beban kerja staf administratif.
2. Data Pendukung:
-
Laporan dari World Economic Forum 2023 memprediksi bahwa di Indonesia, sekitar 23% pekerjaan akan berubah signifikan dalam 5 tahun ke depan, sebagian karena adopsi teknologi otomatisasi dan AI.
-
Menurut survei Deloitte Indonesia 2024:
“74% eksekutif perusahaan mengakui bahwa mereka sedang mengkaji ulang struktur SDM karena potensi penggantian sebagian fungsi dengan AI.”
Sebagian perusahaan memilih jalur re-skilling atau redeployment alih-alih PHK langsung. Namun, realitanya:
- Proses re-skilling memerlukan investasi waktu dan dana yang tidak semua perusahaan sanggup atau mau lakukan.
- Profesi yang sifatnya rutin dan administratif tetap menjadi target rasionalisasi.
Prediksi Dampak AI terhadap Ketenagakerjaan di Indonesia (berdasarkan riset dan tren global):
Periode | Dampak Dominan | Estimasi PHK/Rasionalisasi* |
---|---|---|
2024–2026 | Automasi level dasar, efisiensi CS | Terbatas (~5–10% untuk sektor tertentu) |
2026–2029 | Adopsi AI generatif & agents meluas | Menengah (~10–20% pekerjaan white-collar terdampak) |
2030+ | AI terintegrasi penuh di operasi | Tinggi (>30% pekerjaan administratif dan analitik dasar tergantikan jika tak ada adaptasi) |
Apa yang Bisa Dilakukan Jika Anda adalah Seorang Pemimpin Bisnis?
- Identifikasi fungsi-fungsi kerja yang berisiko digantikan AI.
- Bangun strategi re-skilling sejak sekarang – jangan menunggu PHK jadi satu-satunya opsi.
- Gunakan AI sebagai alat kolaboratif, bukan pengganti total.
- Tingkatkan transparansi dan komunikasi internal mengenai transformasi digital agar tidak menciptakan ketakutan tanpa arah.
Sekarang mari kita mencoba membuat langkah-langkah strategis apa yang dapat Anda ambil untuk menghadapi dampai AI dan menyelamatkan bahtera yang sedang Anda bawa sekarang ini.
TAHUN PERTAMA (2025–2026): FASE IDENTIFIKASI DAN ADAPTASI CEPAT
1. Audit Fungsi dan Risiko Otomatisasi
- Petakan proses kerja internal dan identifikasi area yang paling mungkin terdampak oleh AI (misalnya: customer service, data entry, content production).
- Gunakan tools seperti AI Readiness Assessment atau konsultasi digital untuk mendapatkan gambaran menyeluruh.
2. Bangun Task Force AI Internal
- Bentuk tim lintas divisi (HR, IT, Operasional, Strategi) untuk menjadi pusat koordinasi strategi AI dan transformasi kerja.
- Pastikan ada keterwakilan dari tim manajerial hingga operasional agar suara karyawan ikut terwakili.
3. Mulai Proyek Percontohan (Pilot Project) AI
- Terapkan solusi AI untuk pekerjaan tertentu: chatbot untuk CS, Copilot untuk dokumen, atau analitik otomatis di finance.
- Evaluasi dampak ke efisiensi kerja dan respon karyawan.
4. Komunikasi Transparan dan Terencana
- Edukasi karyawan mengenai AI bukan sebagai ancaman, melainkan alat bantu.
- Lakukan sesi town hall, pelatihan singkat, dan Q&A rutin soal adopsi AI.
TAHUN KEDUA–KETIGA (2026–2028): FASE TRANSFORMASI DAN SCALE-UP
1. Skalakan Penggunaan AI dengan Human-in-the-Loop
- Integrasikan AI ke sistem kerja harian dengan pendekatan manusia tetap berperan penting sebagai pengawas atau pengambil keputusan akhir.
- Contoh: AI menyusun laporan, manusia menyunting dan menilai.
2. Program Re-skilling dan Up-skilling Terstruktur
- Kembangkan akademi internal atau kerja sama dengan mitra pelatihan digital (seperti RevoU, MySkill, Coursera, dsb).
- Fokus pada: data literacy, prompt engineering, critical thinking, dan AI collaboration tools.
- Sediakan sertifikasi agar karyawan bisa menunjukkan peningkatan skill secara nyata.
3. Transformasi Peran dan Struktur Organisasi
- Sesuaikan job description untuk menyertakan kemampuan kerja dengan AI.
- Pangkas lapisan struktural yang tumpang tindih karena otomatisasi.
- Ciptakan peran baru: AI Coordinator, Prompt Designer, AI-augmented Analyst.
4. Bangun Budaya Inovasi dan Eksperimen
- Dorong tim untuk aktif mengeksplorasi penggunaan AI di masing-masing fungsi.
- Sediakan waktu dan insentif untuk proyek-proyek AI eksperimental internal.
HASIL YANG DITUJU DI AKHIR TAHUN KETIGA (2028):
Aspek | Hasil Ideal |
---|---|
Struktur Kerja | Lebih ramping dan agile, tanpa kehilangan produktivitas |
Karyawan | Lebih siap dan percaya diri menghadapi perubahan |
Teknologi | AI terintegrasi di hampir semua fungsi kritis |
Budaya | Kolaboratif, adaptif, dan berbasis pembelajaran berkelanjutan |
Memimpin di Era AI Bukan Sekadar Adaptasi, Tapi Transformasi
Transformasi yang dibawa oleh kecerdasan buatan bukanlah badai sesaat—melainkan perubahan struktural yang akan membentuk ulang cara bisnis dijalankan. Bagi para pemimpin, ini bukan soal mengganti manusia dengan mesin, tapi soal membangun organisasi yang lebih gesit, berdaya saing, dan human-centered di tengah kemajuan teknologi.
Pemimpin yang visioner adalah mereka yang:
- Tidak menunggu disrupsi datang, tapi mengantisipasinya lebih awal.
- Tidak hanya memotong biaya, tapi menginvestasikan waktu dan sumber daya untuk pengembangan manusia.
- Tidak sekadar ikut tren AI, tapi membentuk strategi AI yang selaras dengan nilai dan misi perusahaan.
Tiga tahun ke depan akan menjadi fase krusial. Keputusan yang Anda ambil hari ini—tentang struktur kerja, pengembangan talenta, dan adopsi teknologi—akan menentukan apakah organisasi Anda sekadar bertahan, atau justru tumbuh sebagai pelopor di era baru ini.
Ingatlah, AI dapat membuat pekerjaan menjadi lebih cepat. Tapi hanya manusia yang bisa membuat pekerjaan lebih bermakna.