(Business Lounge – Global News) Costco Wholesale Corporation mencatatkan kinerja yang mengesankan pada kuartal ketiga fiskal 2025 meskipun menghadapi tantangan eksternal yang signifikan, termasuk tekanan inflasi, ketidakpastian makroekonomi, serta ancaman tarif impor dari kebijakan perdagangan Amerika Serikat yang terus berubah. Dalam laporan keuangannya, perusahaan mengungkapkan bahwa penjualan toko sebanding naik sebesar 5,7 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, sementara pendapatan total naik menjadi 63,21 miliar dolar AS. Laba bersih perusahaan juga meningkat, mencapai 1,9 miliar dolar AS, setara dengan 4,28 dolar per saham.
Menurut laporan dari The Wall Street Journal, meskipun pertumbuhan penjualan sedikit di bawah ekspektasi analis yang memperkirakan angka 6 persen, kinerja ini tetap dianggap kuat mengingat kondisi konsumen yang mulai berhati-hati dalam pengeluaran diskresioner. Dalam kondisi tersebut, Costco tetap menunjukkan keunggulan kompetitifnya melalui strategi harga rendah dan efisiensi rantai pasok.
Salah satu fokus utama dalam laporan ini adalah bagaimana Costco mengantisipasi dampak dari potensi kenaikan tarif impor. Pemerintah AS, di bawah arahan kebijakan perdagangan terbaru, berencana untuk memberlakukan tarif tambahan terhadap barang-barang dari China dan negara lain, termasuk produk rumah tangga dan kebutuhan sehari-hari. Untuk menghindari transfer biaya langsung kepada konsumen, Costco mengambil langkah proaktif dengan menggeser pesanan ke jalur produksi lebih awal serta memindahkan sebagian manufaktur ke pasar lokal.
Dalam pernyataan resminya yang dikutip oleh Barron’s, CEO Ron Vachris menjelaskan bahwa perusahaan telah menyimpan barang musiman seperti furnitur outdoor, alat olahraga, dan kebutuhan rumah tangga sejak awal tahun. “Kami berusaha menjaga agar harga tidak naik, atau setidaknya tidak terlalu signifikan,” ujarnya. Pendekatan ini disebut berhasil menjaga daya beli konsumen, terutama di tengah fluktuasi harga bahan pokok seperti telur, mentega, dan minyak zaitun yang sebelumnya mengalami lonjakan akibat gangguan pasokan global.
CFO Gary Millerchip menambahkan bahwa perusahaan terus menjalin kerja sama erat dengan para pemasok. “Kami tidak sekadar menerima kenaikan tarif begitu saja. Kami mencari cara untuk menyesuaikan sumber produksi dan mempertimbangkan relokasi manufaktur ke wilayah dengan beban tarif lebih rendah,” ujar Millerchip dalam wawancara yang dikutip oleh Bloomberg. Strategi ini, lanjutnya, tidak hanya memberi keuntungan jangka pendek dalam menghindari lonjakan biaya, tetapi juga menciptakan sistem pasok yang lebih fleksibel.
Performa yang stabil ini juga ditopang oleh pertumbuhan signifikan di kanal daring. Penjualan e-commerce Costco naik sebesar 15 persen pada kuartal tersebut. Peningkatan ini mencerminkan pergeseran perilaku belanja konsumen pasca-pandemi yang semakin mengandalkan kanal digital untuk kebutuhan pokok. Dikutip dari Reuters, analis mencatat bahwa penguatan kanal digital memberikan Costco posisi yang lebih kompetitif melawan raksasa lain seperti Amazon dan Walmart.
Namun demikian, saham Costco tetap bergerak datar dalam perdagangan setelah jam kerja, mencerminkan kehati-hatian investor terhadap arah kebijakan suku bunga AS dan dampak jangka panjang dari inflasi. Menurut analis di CNBC, meskipun Costco menunjukkan profitabilitas yang solid, pasar saham masih terfokus pada sinyal ekonomi makro dan kemungkinan pelemahan permintaan di semester kedua tahun ini.
Di sisi lain, merek privat Costco yakni Kirkland Signature tampil sebagai bintang pertumbuhan. Produk-produk Kirkland disebut mencatatkan pertumbuhan penjualan di atas rata-rata keseluruhan, menunjukkan adanya pergeseran preferensi konsumen ke produk yang menawarkan nilai lebih tinggi. “Konsumen kini lebih sensitif terhadap harga, tetapi tetap menginginkan kualitas. Kirkland menjembatani kebutuhan itu dengan baik,” tulis The Financial Times dalam ulasan pasar ritelnya.
Ketika disorot mengenai strategi jangka panjang, Costco tetap berkomitmen untuk memperluas jaringan gudangnya di berbagai wilayah. Tahun ini, perusahaan berencana membuka setidaknya 25 lokasi baru di Amerika Utara dan Asia. Langkah ini merupakan bagian dari upaya untuk menumbuhkan skala operasi dan menjangkau konsumen baru, terutama di wilayah urban yang sebelumnya belum dilayani.
Seiring dengan perkembangan teknologi, Costco juga terus mengembangkan sistem otomatisasi di pusat distribusi serta memperbarui sistem inventarisnya. Dikutip dari Nikkei Asia, perusahaan telah menguji penggunaan AI untuk memprediksi permintaan barang musiman dan mempercepat rotasi stok. Teknologi ini memungkinkan penghematan biaya logistik yang signifikan, sekaligus mempercepat respons terhadap tren permintaan konsumen.
Namun tantangan tetap ada. Salah satu perhatian utama adalah dampak dari upah minimum yang naik di beberapa negara bagian AS, serta potensi gangguan rantai pasok global yang belum sepenuhnya pulih. Meskipun tarif baru belum resmi diberlakukan, ketidakpastian terkait kebijakan perdagangan Amerika Serikat menjadi risiko struktural bagi perusahaan ritel dengan eksposur global seperti Costco.
Dalam laporan analis pasar dari Bloomberg Intelligence, disebutkan bahwa Costco relatif lebih siap dibanding pesaingnya dalam menghadapi volatilitas harga dan beban tarif karena memiliki skala ekonomi besar dan kemampuan negosiasi yang kuat dengan pemasok. Namun, ketahanan ini juga perlu terus diuji dalam konteks daya beli konsumen yang melemah dan potensi perlambatan ekonomi global di paruh kedua tahun 2025.
Yang menarik, dalam konteks konsolidasi ritel, Costco tetap mempertahankan model keanggotaannya yang selama ini menjadi tulang punggung margin perusahaan. Biaya keanggotaan tahunan, meskipun tergolong rendah, memberikan arus kas yang stabil. Dikutip dari Yahoo Finance, lebih dari 90 persen pelanggan Costco memperbarui keanggotaan mereka setiap tahun, mencerminkan tingkat loyalitas yang sangat tinggi.
Melihat ke depan, Costco tampaknya akan terus memanfaatkan keunggulan operasionalnya untuk menjaga stabilitas di tengah ketidakpastian ekonomi. Strategi diversifikasi sumber produksi dan pemanfaatan teknologi diperkirakan akan semakin intensif, sejalan dengan upaya perusahaan mengurangi ketergantungan pada impor dari negara-negara dengan risiko tarif tinggi.
Secara keseluruhan, kinerja Costco pada kuartal ini menunjukkan ketahanan model bisnis yang solid. Perusahaan tidak hanya berhasil menjaga margin di tengah tekanan biaya, tetapi juga terus membangun fondasi pertumbuhan melalui ekspansi fisik, digitalisasi, dan inovasi rantai pasok. Seperti dicatat oleh MarketWatch, “Costco bukan sekadar ritel grosir, tetapi telah menjadi barometer kekuatan konsumen Amerika.”
Dengan konsumen yang mulai lebih selektif dalam pengeluaran dan ketegangan geopolitik yang memicu perubahan kebijakan perdagangan, perusahaan seperti Costco dituntut untuk lebih adaptif dan gesit. Dalam konteks itu, strategi Costco bisa menjadi studi kasus tentang bagaimana bisnis besar menavigasi risiko eksternal tanpa mengorbankan nilai konsumen.