SoftBank

SoftBank Catat Laba Tahunan Perdana Sejak 2020

(Business Lounge – Global News) Setelah empat tahun penuh turbulensi dan kerugian besar, SoftBank Group akhirnya mencatatkan laba bersih tahunan pertamanya. Konglomerat teknologi asal Jepang ini melaporkan laba bersih sebesar 1,153 triliun yen, atau setara dengan 7,77 miliar dolar AS, untuk tahun fiskal yang berakhir Maret 2025. Angka ini menjadi titik balik penting bagi perusahaan yang selama ini dikenal dengan taruhan berisiko tinggi di sektor teknologi, dan yang sempat menjadi simbol spekulasi era modal murah.

Dalam laporan resminya yang dikutip oleh Bloomberg, SoftBank menyebutkan bahwa perolehan laba tersebut sebagian besar didorong oleh pemulihan nilai investasinya di sektor kecerdasan buatan (AI), termasuk eksposurnya ke raksasa desain chip Arm Holdings, serta saham-saham teknologi yang mulai pulih dari tekanan pasar tahun-tahun sebelumnya. Meski tidak memberikan rincian penuh dalam siaran persnya, perusahaan menyiratkan bahwa posisi mereka dalam ekosistem AI global menjadi pendorong utama di balik perubahan arah keuangan ini.

Selama beberapa tahun terakhir, SoftBank berada di bawah tekanan akibat strategi investasi agresifnya melalui Vision Fund. Portofolio yang mencakup berbagai startup dari WeWork hingga OYO membuat perusahaan terjebak dalam badai kerugian saat valuasi sektor teknologi global merosot. Namun, menurut Wall Street Journal, kebangkitan pasar saham, meningkatnya permintaan terhadap teknologi AI, serta pencatatan publik beberapa perusahaan portofolio telah menghidupkan kembali prospek SoftBank.

Salah satu pilar kunci dalam transformasi laba SoftBank adalah Arm Holdings. Perusahaan desain chip asal Inggris yang diakuisisi SoftBank pada tahun 2016 ini mencatatkan IPO yang sukses pada September 2023. Saham Arm telah melonjak signifikan, terutama karena antusiasme investor terhadap permintaan chip untuk aplikasi AI generatif. Dalam laporan keuangannya, SoftBank mengakui bahwa kontribusi dari valuasi Arm memberikan dorongan signifikan pada neraca perusahaan.

Reuters mencatat bahwa kepemilikan SoftBank atas lebih dari 90% saham Arm setelah IPO memberikan leverage finansial yang luar biasa bagi perusahaan. Selain itu, Arm sendiri berhasil mencatat pertumbuhan pendapatan tahunan sebesar dua digit, dengan permintaan tinggi dari perusahaan semikonduktor, pusat data, dan produsen perangkat pintar. Valuasi Arm kini memainkan peran penting dalam memulihkan kepercayaan investor terhadap strategi SoftBank secara keseluruhan.

Namun SoftBank tidak hanya bertumpu pada Arm. Dalam presentasi kepada investor, Chairman dan CEO Masayoshi Son menyatakan bahwa perusahaannya akan “bertransformasi menjadi kontributor utama dalam revolusi AI.” Ia menyebutkan bahwa SoftBank kini mengalihkan sebagian besar modal Vision Fund ke investasi yang terkait langsung dengan pengembangan atau infrastruktur AI, termasuk chip, robotika, dan sistem pembelajaran mesin. “Kami percaya AI bukan hanya masa depan, tapi masa kini,” ujar Son seperti dikutip oleh Bloomberg. “Kami ingin berada di garis depan, dan kami siap mengambil risiko besar.”

Komentar tersebut menunjukkan bahwa SoftBank tetap teguh pada strateginya yang khas: bertaruh besar pada masa depan teknologi, meski dengan risiko tinggi. Beberapa analis memandang pemulihan laba ini sebagai validasi atas visi Son, tetapi tidak sedikit pula yang memperingatkan bahwa siklus pasar tetap sangat fluktuatif. Laporan dari Goldman Sachs memperingatkan bahwa ketergantungan terhadap valuasi pasar publik, seperti yang terjadi pada Arm, menjadikan kinerja SoftBank rentan terhadap koreksi pasar yang tiba-tiba.

Sejumlah portofolio Vision Fund lainnya juga mulai menunjukkan pemulihan. Menurut Nikkei Asia, beberapa perusahaan portofolio SoftBank di India dan Asia Tenggara mencatat peningkatan valuasi internal, dan SoftBank mulai menjajaki peluang IPO untuk beberapa di antaranya dalam satu hingga dua tahun ke depan. Ini termasuk startup e-commerce, layanan keuangan digital, serta solusi AI berbasis cloud. Namun demikian, banyak dari startup ini masih membukukan kerugian operasional, dan belum jelas kapan mereka bisa memberikan dividen yang substansial.

Menariknya, meskipun mencetak laba besar, SoftBank tetap berhati-hati dalam membagikan keuntungan tersebut. Tidak ada pengumuman pembagian dividen besar atau program pembelian kembali saham dalam jumlah masif, sebagaimana yang dilakukan perusahaan teknologi AS ketika mengalami rebound. Sebaliknya, Masayoshi Son menyatakan bahwa laba ini akan digunakan sebagai “modal strategis” untuk memperkuat posisi SoftBank dalam ekosistem AI global. “Kami ingin membangun kembali cadangan, bukan sekadar merayakan,” katanya dalam pidato tahunan yang dikutip oleh CNBC.

Pergeseran fokus SoftBank ke AI bukan tanpa kontroversi. Beberapa analis mempertanyakan sejauh mana perusahaan benar-benar memiliki keunggulan kompetitif dalam bidang tersebut. Dalam editorial Financial Times, disebutkan bahwa SoftBank belum memiliki rekam jejak konsisten dalam mengelola perusahaan berbasis teknologi canggih, dan sebagian besar investasinya masih bergantung pada ekosistem pihak ketiga seperti Nvidia atau Microsoft. “Jika Arm adalah permata mahkota, maka portofolio lainnya masih berupa batu mentah,” tulis FT.

Di sisi lain, Son tampaknya tidak tergoyahkan. Ia membandingkan transisi ini dengan perubahan besar sebelumnya dalam sejarah perusahaan, dari operator telekomunikasi menjadi investor teknologi. Dalam sejarah panjang SoftBank, transformasi radikal adalah bagian dari DNA perusahaan. Dari kepemilikan Yahoo Jepang hingga masuk ke pasar e-commerce dan robotika, SoftBank dikenal bukan karena stabilitasnya, tetapi karena keberaniannya.

Meski begitu, SoftBank tetap menghadapi tantangan struktural. Salah satu isu utama adalah pengelolaan utang. Seperti dicatat oleh Moody’s Investors Service, beban utang SoftBank masih tergolong tinggi, meskipun terjadi peningkatan posisi kas. Ketergantungan terhadap hasil IPO atau likuiditas dari exit strategy menjadikan SoftBank rentan dalam kondisi pasar yang lebih ketat, apalagi di tengah siklus suku bunga tinggi yang masih berlangsung di banyak negara.

Pada laporan tahunannya, perusahaan menyatakan bahwa leverage neto berada pada tingkat yang “dapat diterima”, dan bahwa kas yang tersedia cukup untuk memenuhi kewajiban jangka pendek. Namun analis memperingatkan bahwa jika valuasi teknologi kembali menurun, atau jika antusiasme pasar terhadap AI terbukti berlebihan, maka posisi keuangan SoftBank dapat kembali goyah dengan cepat.

Untuk saat ini, pasar menyambut baik laporan laba ini. Saham SoftBank naik 7% di bursa Tokyo sesaat setelah laporan tahunan diumumkan, meski kembali terkoreksi keesokan harinya karena profit-taking. Para investor institusional menyebut angka laba sebagai sinyal pemulihan, namun mereka menantikan bukti lebih lanjut bahwa strategi AI yang dicanangkan SoftBank bisa menghasilkan arus kas jangka panjang yang berkelanjutan.

Di tengah segala optimisme ini, Masayoshi Son tetap menjadi tokoh sentral yang membentuk narasi SoftBank. Ia menggambarkan perusahaannya sebagai “visionary capital” yang akan menantang dominasi perusahaan AS di sektor AI. Dalam konferensi pers, ia bahkan menyebut bahwa misi pribadinya adalah menjadikan SoftBank sebagai perusahaan paling berpengaruh di bidang kecerdasan buatan global dalam dekade ini. Pernyataan tersebut memancing beragam reaksi, dari kekaguman hingga skeptisisme.

Dalam konteks yang lebih luas, keberhasilan SoftBank mencetak laba bisa dilihat sebagai cerminan perubahan iklim investasi teknologi global. Setelah bertahun-tahun didera koreksi, investor kini kembali melirik sektor teknologi dengan pendekatan yang lebih selektif dan berbasis fundamental. AI, sebagai tren dominan, memberi harapan baru—namun juga memunculkan gelembung potensial. SoftBank berdiri di persimpangan ini, dengan risiko besar dan peluang besar berjalan beriringan.

Dengan laba pertama sejak 2020, SoftBank setidaknya telah memenangkan satu babak dalam pertarungan panjangnya untuk membuktikan kelayakan model bisnisnya. Tapi jalan ke depan tetap penuh tantangan. Tidak cukup hanya mencetak keuntungan—perusahaan harus membuktikan bahwa mereka bisa menciptakan nilai jangka panjang dalam ekosistem teknologi yang terus berevolusi. Untuk itu, SoftBank membutuhkan lebih dari sekadar visi. Ia membutuhkan disiplin, waktu, dan sedikit keberuntungan.