(Business Lounge – Global News) Persaingan antara dua raksasa minuman ringan, Coca-Cola dan PepsiCo, kembali memanas — namun kali ini bukan karena kampanye iklan atau inovasi produk. Kebijakan tarif impor yang diusulkan oleh pemerintahan mantan Presiden Donald Trump, yang kembali mengemuka dalam wacana ekonomi Amerika Serikat menjelang pemilu, kini memicu ketidakseimbangan struktural dalam rantai pasokan kedua perusahaan tersebut. Seperti dilaporkan oleh The Wall Street Journal, Bloomberg, dan Reuters, rencana penerapan tarif tinggi terhadap barang-barang dari luar negeri, termasuk bahan baku untuk minuman, secara tidak langsung menguntungkan Coca-Cola dan menekan posisi PepsiCo di pasar domestik.
Masalah utamanya terletak pada sumber produksi konsentrat minuman — bahan dasar dari soda yang nantinya dicampur air dan karbonasi. Coca-Cola memproduksi sebagian besar konsentrat untuk pasar AS secara lokal. Sebaliknya, PepsiCo justru memproduksi hampir seluruh konsentrat minumannya di Irlandia, yang kemudian diekspor ke Amerika Serikat. Hal ini menjadikan PepsiCo sangat rentan terhadap tarif baru, terutama jika kebijakan dagang proteksionis kembali diberlakukan seperti era 2018–2019.
Menurut sumber internal yang dikutip oleh Bloomberg, para eksekutif di PepsiCo saat ini tengah melakukan analisis mendalam mengenai potensi dampak fiskal dari kebijakan tarif yang sedang digodok. Dengan kemungkinan tarif hingga 10% untuk bahan makanan dan minuman tertentu dari luar negeri, beban biaya tambahan bagi PepsiCo dapat mencapai ratusan juta dolar per tahun — angka yang cukup signifikan untuk menggerus margin laba dan memicu penyesuaian harga di tingkat konsumen.
Di sisi lain, Coca-Cola dapat tetap mempertahankan efisiensi biaya produksinya karena tidak perlu menanggung beban tarif serupa. Hal ini menciptakan asimetri kompetitif yang tidak berasal dari kekuatan pasar alami, melainkan dari kebijakan politik. Seperti dicatat oleh analis dari Evercore ISI, “Untuk pertama kalinya dalam dekade terakhir, Coca-Cola memiliki keunggulan biaya struktural di pasar AS dibanding Pepsi — bukan karena inovasi atau efisiensi, tetapi karena perbedaan geografis rantai pasokan yang kini terpapar risiko kebijakan.”
Kondisi ini diperparah oleh dinamika globalisasi yang telah lama membentuk strategi logistik dan produksi PepsiCo. Irlandia selama ini menjadi lokasi strategis karena insentif pajak, kualitas tenaga kerja, dan kemudahan ekspor ke pasar besar seperti Amerika Utara. Namun dalam iklim proteksionisme baru, lokasi produksi global yang dulu menjadi aset justru berubah menjadi liabilities. Seperti disampaikan oleh CEO PepsiCo Ramon Laguarta dalam pertemuan internal yang bocor ke WSJ, perusahaan saat ini tengah meninjau ulang seluruh struktur suplai globalnya jika tarif benar-benar diterapkan dalam bentuk yang lebih luas dan agresif.
Sementara itu, Coca-Cola tampaknya lebih tenang menghadapi situasi ini. Dalam pernyataan publik, Chief Financial Officer John Murphy menyatakan bahwa sebagian besar rantai pasokan mereka telah berada di dalam negeri, terutama untuk produk yang dijual di AS. Perusahaan juga mengindikasikan bahwa mereka tidak berencana menaikkan harga dalam waktu dekat karena tekanan biaya dianggap relatif terkendali.
Dampak dari ketegangan ini juga dapat merembet ke pasar saham. Saham Coca-Cola naik tipis 2% dalam dua hari terakhir setelah laporan tentang kemungkinan tarif baru mencuat, sementara saham PepsiCo sedikit tertekan. Beberapa investor institusional mulai meninjau ulang eksposur mereka terhadap perusahaan makanan dan minuman yang memiliki rantai pasok internasional, terutama jika ancaman perang dagang jilid kedua menjadi kenyataan.
Di luar implikasi langsung terhadap kedua raksasa soda ini, kisah ini menyoroti bagaimana kebijakan perdagangan dapat menciptakan distorsi di pasar domestik. Jika dulu persaingan Coke vs. Pepsi didasarkan pada selera konsumen, brand loyalty, dan strategi distribusi, kini arena pertempurannya bergeser ke ranah geopolitik dan kebijakan tarif yang tidak selalu bisa dikendalikan oleh logika bisnis semata.
Selain itu, potensi perubahan strategi produksi PepsiCo juga bisa berdampak jangka panjang. Jika perusahaan memutuskan untuk memindahkan sebagian produksi konsentrat ke dalam negeri, maka investasi infrastruktur baru akan dibutuhkan, dan butuh waktu bertahun-tahun untuk terealisasi. Di sisi lain, keputusan seperti itu juga membawa dampak ke Irlandia, yang selama ini menjadi pusat manufaktur penting bagi berbagai perusahaan multinasional Amerika Serikat.
Dari sudut pandang makro, ketegangan tarif ini menjadi studi kasus menarik tentang dampak riil kebijakan proteksionis terhadap persaingan bisnis domestik. Seperti ditulis oleh Financial Times, “Kebijakan yang dimaksudkan untuk memperkuat industri dalam negeri kadang justru memperlemah perusahaan yang telah beroperasi secara global, menciptakan pemenang dan pecundang baru bukan karena kekuatan pasar, tetapi karena garis batas negara.”
Seiring berjalannya tahun dan mendekatnya pemilu AS, persaingan antara Coca-Cola dan PepsiCo tampaknya akan semakin dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal seperti politik dagang dan arah kebijakan presiden terpilih. Dan dalam pertarungan minuman ringan paling ikonik ini, tampaknya tarif bisa menjadi faktor yang diam-diam tapi sangat menentukan — bahkan lebih dari rasa atau harga di rak toko.