(Business Lounge Journal – Entrepreneurship)
Enam tahun sudah berlalu sejak saya pertama kali duduk di Pasar Santa bareng dengan temen-temen seumuran saya yang kebanyakan baru pada lulus kuliah. Namun ada juga beberapa yang sudah lebih tua-an, ada yang lulusan dalam dan luar negeri – saya ingat ada yang lulusan Australia. Kami duduk ngopi-ngopi di sebuah kios pasar santa yang diubah jadi sekolah barista pada waktu itu. Setelah itu, kita makan bakmie ayam buatan temen saya yang lulusan Australia. Saya ingat banyak yang waktu itu punya impian beda-beda untuk memulai suatu bisnis yang berdasarkan passion. Ada yang mau buat sekolah barista, coffee shop, temen saya yang lulusan Australia itu beneran mau jualan bakmie, lalu ada yang mau buat media online, ada yang mau bentuk komunitas, pokoknya sangat bermacam-macam.
Tahun 2014 memang tahun yang unik buat kebanyakan millennial Indonesia. Kalau generasi sebelum kita dahulu akan konsentrasi untuk cari kerjaan seusai wisuda, generasi kita pada tahun itu lebih di-drive oleh passion untuk do something yang kita rasa kita suka dan ingin lakukan. Tahun 2014 buat saya adalah tahun pembuka yang membentuk generasi millennial seperti sekarang ini. Bisnis specialty coffee shop di Indonesia sendiri, misalnya – bisa kita trace dari beberapa specialty coffee shop yang jadi pionir di Jakarta; rata-rata semua didirikan oleh anak muda. Saya ingat dahulu hanya beberapa orang saja yang mau terjun ke bisnis kopi dan banyak customer mengaku tidak terbiasa dengan rasa kopi hasil dari apa yang dulu bahasa kerennya “third wave coffee movement” yang kebanyakan di “boyong” oleh generasi millennial Indonesia lulusan Australia.
Sekarang sudah 7 tahun sejak Pasar Santa dan saya menapak tilaskan kembali masa-masa lalu yang saya bilang merupakan salah satu memori yang sarat kesan. Pasar Santa sekarang sudah sepi. Berbeda dengan dulu yang sangat ramai di weekend, penuh dengan anak-anak muda dari Jakarta yang berbisnis, kumpul-kumpul komunitas, atau sekedar berakhir pekan. Tidak ada lagi keramaian di lantai atas seperti yang dulu. Banyak toko-toko yang saya ingat dulu ramai, sekarang sudah tidak ada lagi. Memang semenjak ada proyek penambahan jalan layang di sekitar Senopati, aktivitas Pasar Santa sangat berkurang. Banyak toko-toko anak muda yang akhirnya gulung tikar. Banyak owner-owner muda sudah akhirnya memilih untuk bekerja di korporat, namun banyak juga beberapa yang dahulu hanya toko kecil, sekarang sudah jadi besar; walaupun mereka harus keluar dari Santa. Ya, walaupun banyak memang yang tidak survive; namun 2014 telah menjadi tahun yang kritis: The Year of Do or Don’t. Bicara soal impact, kultur, dan gaya ngopi orang Jakarta sekarang bahkan sebenarnya sangat ditentukan oleh kejadian tahun 2014 itu. Suksesnya coffee shop berbasis app seperti Fore juga tidak akan pernah terjadi kalau tidak diawali dengan kultur ngopi masyarakat Indonesia yang berubah.
The Year of Do or Don’t telah sukses menetaskan suatu generasi millennial Jakarta yang berani berbisnis, berani mengambil resiko, dan berani mengikuti passion. Itu satu kisah dari Pasar Santa. Ada banyak tempat anak millennial di seluruh Jakarta berkumpul selain di Pasar Santa, termasuk di dalamnya komunitas online yang terus berkembang. Tanpa adanya The Year of Do or Don’t, maka mungkin kita tidak akan pernah mengenal kultur coffee shop, local crafts mungkin tidak akan se-menjamur sekarang, dan mungkin kita gak akan pernah mendapatkan spot asik seperti MBlocSpace. Tahun 2014 bukan tahun yang mudah, tapi banyak cerita. Semua yang jadi entrepreneur pada masa itu, entah yang sukses ataupun tidak, telah sukses membentuk kultur generasi millennial kita sekarang. Tanpa adanya ngumpul-ngumpul di Pasar Santa, ngumpul-ngumpul di Brightspot, Wall of Fades, Forum Darahkubiru dan mungkin untuk beberapa orang yang berani keluar dari pakem keluarga yang biasanya akan mengharapkan anaknya yang fresh graduate untuk mencari pekerjaan korporat, mungkin Jakarta hari ini akan jadi sangat berbeda.
Saya rasa kalau saya ingat lagi sore-sore di tahun 2014 itu, memang rasanya setengah romantis: kebanyakan semua tahu realita di depan mata bahwa akan sangat sulit untuk jadi wirausaha dengan usia yang masih sangat muda. Kalau kata orang, “Anak muda memang suka kebanyakan mimpi”, tapi daripada orang yang gak pernah mau mimpi? I’d daresay we’ll fare better.
Michael Judah Sumbayak adalah pengajar di Vibiz LearningCenter (VbLC) untuk entrepreneurship dan branding. Seorang penggemar jas dan kopi hitam. Follow instagram nya di @michaeljudahsumbek