(Business Lounge Journal – Human Resources) Pada bulan lalu, Workforce Institute merilis hasil studi yang telah dilakukannya mengenai Employee Engagement Lifecycle. Survei ini menunjukkan bahwa para profesional SDM, para manager, dan karyawan non managerial memiliki opini yang berbeda mengenai budaya kerja, mulai dari siapa yang dapat menggerakkannya, apa pentingnya menciptakan budaya kerja yang baik, dan apa yang dapat menghancurkan budaya kerja.
Masing-masing Kelompok Merasa Lebih Berperan dalam Menciptakan Budaya Kerja
Studi ini dilakukan pada lebih dari 1.800 karyawan di Amerika yang kemudian dibagi menjadi 3 kategori, yaitu para profesional SDM, para manager, dan karyawan non managerial yang menjawab pertanyaan tentang berbagai aspek budaya kerja dan keterlibatan karyawan. Beberapa fakta yang menjadi hasil dari survei ini adalah bagaimana baik para profesional SDM, para manager, dan karyawan non managerial merasa bahwa merekalah yang paling menentukan budaya kerja dan masing-masing merasa bahwa kelompoknyalah yang paling penting dan yang paling berperan. Hal ini terlihat dari sepertiga profesional HR yang merasa bahwa Kepala SDM memiliki peranan yang paling penting dalam menciptakan budaya kerja, kemudian 26 persen dari manager mengatakan bahwa kelompok eksekutiflah yang paling berperan penting, serta 29 persen karyawan berpendapat bahwa merekalah yang menentukan terciptanya budaya kerja. Menariknya lagi, 40 persen dari karyawan millennial berpendapat bahwa karyawanlah yang membentuk budaya kerja, hal ini merupakan sebuah indikasi bagaimana karyawan merasa yang paling memiliki pengaruh. Namun demikian 28 persen dari karyawan juga yang berpendapat bahwa tidak ada yang menentukan budaya kerja.
Kemudian masing-masing kelompok pun mendaftarkan 3 unsur terpenting bagi budaya kerja. Karyawan non managerial berpendapat bahwa “pay” (50 persen), “coworkers who respect and support one another” (42 persen), serta “work-life balance” (40 persen) adalah 3 unsur yang terpenting bagaimana mereka dapat menciptakan budaya kerja. Tetapi profesional SDM memiliki pendapat yang berbeda, bahwa “managers and executives leading by example,” “employee benefits,” dan “shared mission and values” adalah tiga hal yang paling penting bagi karyawan non managerial untuk menentukan budaya kerja. Sedangkan para manager berpendapat bahwa “managers and executives leading by example“, “shared mission and values,” serta “emphasis on taking care of our customers” seharusnya menjadi prioritas bagi para karyawan managerial. Berbeda benar apa yang menjadi prioritas menurut karyawan non managerial.
Apakah yang Menghancurkan Budaya Kerja
Kembali terjadi perbedaan pendapat antara ketiga kelompok tersebut. Profesional SDM dan manager berpendapat bahwa “a high-stress environment” dan “company growth” adalah dua hal yang paling memberikan dampak negatif dalam budaya kerja. Tetapi karyawan non managerial berpendapat bahwa “not having enough staff to support goals,” “unhappy/disengaged workers who poison the well,” dan “poor employee/manager relationships” adalah yang paling berpengaruh dalam menciptakan budaya kerja yang postif. Dengan demikian riset ini menunjukkan bahwa para profesional dan manager harus dapat mengurangi stess yang dapat timbul di lingkungan kerja, yaitu dengan cara mempekerjakan orang yang tepat, staffing yang tepat, dan memastikan para manager mendapatkan pelatihan managemen yang tepat untuk dapat mengembangkan timnya.
citra/VMN/BL/Journalist
Editor: Ruth Berliana
Image : Business Lounge Journal