Crowd Business & BMC

(Business Lounge Journal – Dominate The Market) –  Fenomena GoJek, Grabbike, atau Uber Taxitengah menarik atensi masyarakat. Ini karena ketiganya memberikan solusi bagi masyarakat yang membutuhkanlayanan transportasi dengan akses yang mudah dan hargaterjangkau. Bahkandalam perjalanannya GoJek berkembang dengan menawarkan berbagai solusi.

Misalnya, ada Go-Food untuk melayani masyarakat yang ingin memesan makanan dari rumah atau kantor. Ada juga Go-Mart bagi yang ingin shooping, Go-Massage untuk yang membutuhkan layanan pijat, atau Go-Send untuk instant courier.

Saya menyebut bisnis-bisnis tersebut sebagai crowd business. Ini adalah konsep bisnis di mana masyarakat sebagai konsumen, tetapi bisa juga sekaligus sebagai produsen, serta membangun pasar mayanya (e-marketplace).

Sebenarnya crowd business telah ada sejak lama. Sebut saja rental mobil, rental sepeda motor, dan rental perlengkapan bekas bayi. Namun, ketika itu pangsa pasarnya masih terbatas. Crowd business menjadi tren belakangan ini karena adanya transformasi teknologi internet. Bayangkan, tanpa teknologi internet, bisnis-bisnis tersebut tentu tidak akan berkembang secepat sekarang.

Menurut Jeremiah Owyang (2013),transformasi teknologi internet terbagi dalam tiga tahap. Pertama, era ketika hanya ada beberapa pihak yang bisa menyajikan informasi di internet. Jadi semuanyaberlangsung satu arah. Pihak perusahaan memberikan informasi, dan masyarakat hanya bisa menerima.

Kedua, teknologi internet berkembang dan memicu maraknya media sosial. Melalui media sosial, seperti Facebook, BBM, WhatsApp, Line, Twitter, Path, Foursquare, bahkan Snapchat, masyarakat bisa menyuarakan pendapatnya dan saling berbagi informasi. Pada era ini, apapun yang mereka rasakan kemudian dituangkan dalam media sosial dan menjadi konsumsi publik.Jika tidak dikelola dengan  baik, kondisi semacam bisa membuat perusahaan seakan-akan kehilangan kendali terhadap media.

Ketiga, melalui media sosial, masyarakat saling berbagi bukan hanya informasi, tetapi juga berbagi barang dan jasa. Jadi mereka yang membutuhkan suatu barang atau jasa tidak mencarinya ke produsen tertentu, melainkan ke sesama kolegamelalui media sosial. Lalu, mereka yang memiliki barang atau jasa, juga melalui media sosial, berbagi dengan yang tidak memilikinya.

Itu sebabnya era ini disebut dengan era sharing economy atau collaborative economy. Era di mana masyarakat saling berbagi, dan saling bekerja sama atau berkolaborasi.

Lalu, apa implikasi dari berkembangnya era inidengan bisnis yang digeluti para pengusaha, atau bagi mereka yang baru ingin memulai usaha?

Sejatinya setiap kali seseorang ingin memulai usaha (startup business) atau telah memiliki usaha, mereka perlu menerapkan Business Model Canvas(BMC), sebuah konsep bisnis yang digagas oleh Alexander Osterwalder (2010). Melalui BMC, seorang pebisnis mempunyai perangkat analisis yang bisa membantunyadalam menemukan model bisnis yang tepat.

BMC memiliki sembilan elemen, yakni Customer Segment, Value Proposition, Channel, Customer Relationship, Revenue Stream, Key Resourcess, Key Activities, Key Partnership,dan Cost Structure. Sembilan elemen tersebut saling terkait dan berinteraksi, sehingga menghasilkan sebuah model bisnis.

Namun, seiring berkembangnya crowd business, seorang pebisnis perlu menata ulang konsep BMC-nya. Contohnya pada elemen customer segment. Dalam konsep BMC, terdapat pemisahan yang jelas antara customer (pelanggan) dengan produsen. Semua produsen menyebut customer is a king. Pelanggan adalah raja.

Sementara, pada era crowd business atau collaborative economy, batas-batas antara produsen dengan konsumen menjadi sangat tidak jelas. Suatu kali seseorang adalah konsumen, lain kali dia bisa menjadi produsen, dan sebaliknya. Atau, pada suatu kesempatan penyedia jasa bisa menjadi mitra kunci (key partnership), dalam kesempatan lain dia tergolong pelanggan (customer) yang menjadi sumber pemasukan (revenue stream) bagi perusahaan. Perubahan-perubahan inilah yang harus dicermati oleh setiap pebisnis.

Perkembangan teknologi membuat bisnis semakin kompleks. Ini menantang para pengusaha untuk terus berinovasi. Bagi yang mampu memanfaatkan peluang tersebut,hasilnyasepadan. Contohnya, AirBnB, perusahaan yang model bisnisnya mempertemukan mereka yang mencari penginapan dengan mereka menawarkan rumahnya untuk dijadikan tempat menginap. Meski baru berusia tujuh tahun, menurut data Fortune, AirBnb sampai akhir tahun 2015 berhasil membukukan penerimaan hingga US$900 juta atau lebih dari Rp12,15 triliun. Fantastis, bukan!

Liza Agustine Maureen Nelloh /VMN/BL/Podomoro University