Memenangkan ”Talent War” di Masa Krisis

(The Manager’s Lounge – HR) Baru-baru ini salah seorang ‘star employee’ di kantor teman saya resign dan pindah ke competitor yang nota bene merupakan musuh bebuyutan perusahaan. Padahal semua orang tau bahwa sang star employee ini adalah golden boy , kesayangan bos yang mendapatkan banyak kepercayaan sekaligus promosi….Namun toh akhirnya dia pergi juga.

Saya yakin kejadian tersebut tidak hanya terjadi di satu atau dua perusahaan, namun di banyak perusahaan peristiwa bajak membajak masih terus berlangsung. Mungkin kita berpikir bahwa pada masa krisis seperti sekarang ini pembicaraan mengenai talent war sudah tidak relevan lagi : “Jangankan merencanakan bagaimana menambah talent terbaik, bisa bertahan dengan talent yang ada saja sudah bersyukur…” Tapi, benarkah pemikiran seperti itu? Berbagai “teori” tentang the best talent menyebutkan bahwa orang-orang terbaik akan tetap bernilai dalam situasi apa pun, sehingga keberadaan mereka senantiasa dicari dan diperebutkan oleh perusahaan.

Inilah sebuah era dimana top talent saling diperebutkan oleh perusahaan yang merasa kekurangan SDM yang mumpuni dan mampu bersaing dalam persaingan bisnis yang kian tajam. Situasi ini barangkali sedikit menyisakan ironi. Disaat angka pengangguran kian meningkat, ternyata banyak individu yang punya talenta tinggi justru dikejar-kejar oleh puluhan perusahaan. Inilah sosok individu yang memiliki keahlian khusus, pengalaman unik, dan kompetensi yang dibutuhkan oleh perusahaan guna memenangkan persaingan dalam medan pertarungan bisnis.

Langkah-Langkah Mempertahankan Top Talent

Persoalannya, perusahaan tentu saja tidak dapat meraih top talent secara mudah. Dalam konteks ini setidaknya terdapat tiga langkah yang relevan untuk dilakukan:

1. Mengidentifikasi posisi-posisi strategis dalam perusahaan. Inilah deretan posisi yang memiliki peran penting bagi penumbuhan daya saing perusahaan. Atau dengan kata lain, posisi-posisi inilah yang akan membentuk core competencies perusahaan dan membawanya ke singgasana kemenangan.

2. Membentuk talent pool atau kumpulan karyawan yang dianggap potensial dan kapabel. Barisan karyawan inilah yang kelak akan disiapkan untuk mengisi posisi-posisi strategis perusahaan. Demikianlah, deretan karyawan potensial ini kemudian dicemplungkan dalam ’kawah candradimuka’ untuk diuji kompetensinya. Kawah penggemblengan ini tidak mesti melulu melalui program pendidikan atau pelatihan; namun juga bisa melalui penugasan khusus (special assignment) , skema mentoring, atau melalui pemekaran tugas dan tanggungjawab (job enrichment) . Harapannya, melalui beragam program pengembangan ini, para karyawan tersebut menjadi kian matang dan benar-benar siap menjadi top talent perusahaan.

3. Menjaga agar barisan talent pool tidak dibajak oleh pesaing. Adalah sebuah tragedi jika kita telah bertahun-tahun dengan penuh ketekunan merawat ”sang bintang”, namun ketika sang bintang semakin bersinar tiba-tiba musuh datang mencurinya. Salah satu cara jitu untuk mempertahankan para bintang ini adalah dengan memberikan kepada mereka paket remunerasi yang kompetitif. Kalau paket imbalan yang Anda berikan hanya pas-pasan atau berada dibawah standar industri, maka dua langkah diatas yang telah Anda lakukan bisa berakhir dengan kesia-siaan. Sebab kalau merasa benefit yang diperoleh lebih rendah dibanding para pesaing, para karyawan bintang ini akan segera mengucapkan ”goodbye” , dan itu berarti beragam program untuk mengembangkan mereka akan tidak ada gunanya.

4. Menempatkan mereka dalam fast track career path, sehingga para pegawai dalam kategori yang bertalenta tinggi ini bisa tumbuh dengan cepat dan dinamis. Sebaiknya pada saat periode review atau coaching performance telah disiapkan plan ke depan bagi para talent ini.

Kepemimpinan Atasan Sangat Berpengaruh

Selain keempat hal tersebut di atas, Kerry Larkan dalam bukunya yang berjudul ”The Talent War : Mendapatkan dan mempertahankan orang-orang terbaik organisasi” menjelaskan bahwa kini semakin sulit untuk menemukan dan mempertahankan karyawan bertalenta. Larkan mengajurkan metode “staff advocate” sebagai cara untuk menarik karyawan bertalenta.

Perusahaan perlu bertanya secara rutin kepada karyawannya apakah mereka mau merekomendasikan kepada teman dan saudaranya untuk bekerja di perusahaan tersebut. Metode ini mensyaratkan bahwa perusahaan harus memastikan diri sebagai tempat kerja yang nyaman. Logikanya, Anda tidak akan merekomendasikan orang lain untuk bergabung kalau Anda sendiri merasa tidak nyaman dengan perusahaan tempat Anda bekerja sekarang.

Menurut Larkan, sudah terlalu banyak perusahaan yang merekrut karyawan hanya untuk mengisi posisi kosong, tanpa meluangkan lebih banyak waktu dan upaya untuk dapat merekrut orang yang tepat bagi posisi yang tersedia. Larkan meyakinkan bahwa inilah saatnya untuk melakukan rekrutmen secara serius. Salah satu hal yang ditekankan olehnya adalah tentang merekrut untuk kesuksesan yang berkesinambungan. Banyak perusahaan kurang mempertimbangkan nilai-nilai individu dalam merekrut dan hanya memperhatikan segi keterampilan. Akibatnya, perusahaan jadi sering memecat karyawan karena perbedaan nilai.

Hal lain yang tak boleh dilupakan dalam persaingan memperebutkan talent terbaik di pasaran adalah soal kepemimpinan dalam perusahaan. Larkan memperkenalkan apa yang disebutnya sebagai budaya “good boss”. Karyawan bertalenta tidak akan memilih untuk bergabung atau jika sudah bergabung tidak akan bertahan jika perusahaan mereka anggap memiliki budaya yang negatif.

Membangun top talent secara internal memang membutuhkan konsistensi, ketekunan dan waktu yang panjang. Namun ketika tekanan persaingan makin besar, maka pengembangan top talent merupakan pilihan yang tak terelakkan. Sebab dengan cara inilah, kita bisa memastikan bahwa perusahaan kita bisa terus bertarung dalam sirkuit persaingan bisnis yang semakin liar.
(Emy Trimahanani/SK/TML)

 

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x