(The Manager’s Lounge – Sales & Marketing) – CEO Apple, Steve Jobs, beberapa waktu lalu mengumumkan bahwa harga iPhone turun menjadi $399, dari harga awal $599. Bayangkan saja, $200 tentu bukanlah angka yang kecil. Tidak heran pemangkasan harga tersebut ramai dibicarakan dan diprotes oleh banyak pihak.
Pemangkasan harga sejumlah $200 pada iPhone yang dilakukan oleh Apple ini adalah strategi pricing yaitu diskriminasi harga tingkat ketiga (third degree price discrimination) . Pada diskriminasi harga tingkat ini, perusahaan menetapkan harga yang berbeda pada tiap orang/kelompok sesuai dengan jumlah keinginan atau kemampuan dia membayar. Dasarnya adalah tiap kelompok memiliki elastisitas harga yang berbeda.
Dengan menerapkan diskriminasi harga, Apple memperoleh dua keuntungan. Pertama, mereka memperoleh profit margin yang besar dari mereka yang bersedia membayar harga premium. Kemudian, setelah mereka menurunkan harga, mereka memperoleh keuntungan lebih banyak lagi dari volume yang tinggi. Tentunya dengan turunnya harga, konsumen yang bersedia membeli lebih banyak dibandingkan dengan ketika harga premium.
Diskriminasi harga di Indonesia umum dijumpai pada industri penerbangan, terutama menjelang Lebaran seperti ini. Tiket pesawat untuk tujuan yang sama harganya bisa menjadi berlipat-lipat. Padahal untuk tujuan sama, kelas yang sama dan layanan yang sama, logikanya harga juga sama, bukan? Namun nyatanya harga bisa berlipat kali. Maka, banyak orang yang memesan tiket dari jauh hari sebelu Lebaran supaya memperoleh harga normal.
Tiket pesawat Adam Air untuk tujuan Jakarta-Surabaya misalnya, dihari biasa tiket dijual dengan harga Rp 420 ribu hingga Rp 500 ribu. Namun menjelang lebaran tiket dijual hingga Rp 900 ribu. Sementara itu tiket pesawat jurusan Jakarta-Yogyakarta di hari biasa dijual dengan Rp 250 ribu, saat ini dijual dengan harga Rp 500 ribu. Kenaikan tersebut mencapai 100 persen!
Mengapa orang-orang ini rela membayar berlipat kali untuk tiket pesawat? Hal ini dikarenakan mereka melihat value yang tinggi di dalamnya. Menurut teori, konsumen akan melakukan pembelian jika setidaknya cost sama dengan value. Dalam kasus ini, tiket pesawat memiliki value yaitu bisa mengantarkan para pemudik pulang ke kampung halaman dan bertemu dengan keluarganya. Unsur keluarga adalah value yang tertinggi dalam kasus ini.
Strategi pemasaran melalui diskriminasi harga ini juga umum di kalangan bisnis ritel. Wal-Mart, misalnya, yang mengumpulkan secara detail data para pelanggan dan pesaingnya untuk mengambil keputusan pricing. Misalnya pada awal musim, harga pakaian new arrival lebih tinggi. Kemudian seiring waktu berjalan, harganya makin menurun. Value dari fashion tersebut adalah pada elemen waktu. Semakin up-to-date, maka value-nya semakin tinggi. Hal ini terutama berlaku di kota-kota fashion dunia seperti Milan, Paris dan New York.
Keputusan pricing adalah strategis bagi bisnis, dan dampaknya signifikan. Jika kita dapat mengambil keputusan dengan tepat, maka kesuksesan sudah menanti. Namun jika keputusan salah, maka hasilnya juga fatal. Oleh karena itu, maka bisnis harus benar—benar memiliki informasi yang cukup mengenai pasar sebelum mengambil keputusan.
(Rinella Putri/AA/TML)