(Business Lounge Journal – News and Insight)
Dalam satu dekade terakhir, Google kerap melabeli eksperimen ekstremnya sebagai moonshots. Namun kini, istilah itu berubah dari metafora menjadi rencana konkret. CEO Alphabet Sundar Pichai secara terbuka menyatakan bahwa Google sedang mempersiapkan data center di luar angkasa—sebuah langkah radikal yang diproyeksikan mulai berjalan pada 2027 dan dapat menjadi mainstream dalam 10 tahun. “Dalam satu dekade, kita mungkin akan melihat data center di ruang angkasa sebagai hal yang normal,” ujar Pichai dalam wawancara bersama Fox News. Untuk pertama kalinya, retorika moonshot Google benar-benar melibatkan roket.
Mengapa Google Mendorong Data Center ke Luar Atmosfer?
Jawabannya sederhana: AI yang haus energi.
Lonjakan permintaan komputasi AI telah membebani infrastruktur listrik global. Laporan Lawrence Berkeley National Laboratory pada 2024 menunjukkan bahwa data center di AS mengonsumsi 4,4% listrik nasional, dan bisa melonjak menjadi 12% pada 2028. Di level global, McKinsey memproyeksikan investasi data center mencapai USD 6,7 triliun pada 2030—lima triliun dolar di antaranya khusus untuk infrastruktur AI.
Dengan kata lain, pertanyaan yang dihadapi Google bukan lagi di mana membangun region baru, melainkan apakah planet ini memiliki cukup listrik untuk menjalankan semuanya.
Google pun merasakan tekanan itu. Dalam empat tahun terakhir, konsumsi listrik data center-nya melonjak dua kali lipat, meskipun perusahaan terus membeli energi bebas karbon untuk menekan emisi. Bersamaan dengan rencana investasi USD 40 miliar hingga 2027 di Texas, Google juga menyiapkan rencana cadangan: Project Suncatcher.
Project Suncatcher: AI Orbiting the Earth
Diluncurkan secara halus lewat blog internal pada November lalu, Project Suncatcher adalah upaya Google untuk memindahkan komputasi AI ke orbit. Idenya: memanfaatkan sinar matahari yang tak terputus, menggunakan satelit berpanel surya, dan menghubungkan “data hall” mini di ruang angkasa melalui jaringan laser, bukan kabel fiber.
Fase awalnya dimulai pada 2027:
- Dua satelit uji diluncurkan bersama Planet
- “Racks” mikro berisi TPU akan diuji dalam lingkungan orbit
- Pengembangan berlanjut menuju kluster satelit seukuran satu kawasan kota pada 2030-an
Pichai mengatakan, “Ini langkah pertama kami.” “Kami akan mengirim rak mesin kecil di satelit, lalu mengujinya, dan mulai melakukan skala.”
Keunggulan data center ruang angkasa?
- Akses sinar matahari nyaris 24 jam tanpa gangguan
- Efisiensi panel surya lebih tinggi
- Pembuangan panas ke ruang hampa (tanpa memanaskan sungai atau memicu protes lingkungan)
- Tidak berbenturan dengan keterbatasan grid atau izin pembangunan
Pichai bertaruh bahwa biaya peluncuran roket dan peningkatan efisiensi chip akan bertemu di titik yang membuat data center orbit menjadi kompetitif dengan data center konvensional.
Bukan Hanya Google: Para CEO Teknologi Mengincar Langit
Gagasan off-world cloud rupanya menjangkiti banyak pemimpin teknologi:
- Marc Benioff (Salesforce) menyebut ruang angkasa sebagai tempat termurah untuk data center.
- Elon Musk (Tesla/SpaceX) berbicara tentang komputasi AI orbital berskala 300 gigawatt.
- Jeff Bezos (Amazon) menyebut rentang 10–20 tahun sebagai timeline realistis bagi data center ruang angkasa.
- Sam Altman (OpenAI) bahkan melontarkan ide Dyson sphere sebagai solusi jangka panjang.
Startup pun ikut terjun. Starcloud, didukung Y Combinator dan Nvidia, telah mengorbitkan satelit AI-nya sendiri, mengklaim data center ruang angkasa dapat memangkas emisi hingga 10 kali lipat dibandingkan versi bumi—bahkan setelah memperhitungkan bahan bakar roket.
Dalam “perlombaan ruang angkasa” versi AI ini, Mars hanyalah latar. Hadiahnya adalah megawatt termurah yang dapat dialirkan ke model bahasa raksasa.
Risiko Tetap Ada—Namun Google Tidak Mau Kehabisan Planet
Apakah semua ini berpotensi menjadi proyek sains super-mahal dengan foto peluncuran yang indah?
Tentu.
Namun bagi Google, risiko terbesar bukan kegagalan eksperimen—melainkan kehabisan daya untuk menopang masa depan AI.
Di bumi, setiap data center baru berarti negosiasi listrik, dampak lingkungan, hingga protes warga. Di orbit, hambatan-hambatan itu menghilang. Jika lompatan besar AI terus bergantung pada energi dalam skala negara bagian, maka membangun sebagian infrastrukturnya di luar angkasa bukan lagi ide gila, tetapi solusi logis.
Google sedang melihat gambaran yang lebih besar. Ketika industri AI bergerak cepat, perusahaan yang paling berani mengambil langkah tak konvensional akan memimpin. Project Suncatcher mungkin terasa futuristik hari ini, tetapi begitu pula cloud computing dua dekade lalu. Pertanyaannya bukan lagi apakah data center akan ke luar angkasa, tetapi siapa yang akan tiba di sana lebih dulu.

