(Business Lounge Journal – News and Insight)
Selama dua tahun terakhir, Nike menghadapi periode sulit. Penjualan menyusut, margin keuntungan tergerus, dan rak-rak toko dipenuhi stok berlebih yang mengurangi daya tarik merek. Sahamnya pun jatuh sekitar 22% dalam setahun terakhir, sebuah penurunan yang membuat investor bertanya-tanya apakah era dominasi Nike sudah berakhir. Di saat yang sama, merek-merek baru seperti Hoka dan On berhasil memanfaatkan tren lari global dengan strategi pemasaran agresif, sementara Lululemon dan Athleta mengambil pangsa pasar pakaian olahraga wanita. Namun, analis dari Jefferies menilai situasi ini justru menjadi titik balik. Mereka menyebut Nike sebagai “beruang tidur” yang siap terbangun, dengan laporan keuangan terbaru yang diprediksi memberi sinyal awal kebangkitan.
Jefferies memperkirakan bahwa kinerja kuartal September akan sedikit lebih baik dari ekspektasi pasar. Konsensus memperkirakan laba per saham hanya US$0,27 dari pendapatan sekitar US$11 miliar—penurunan tajam dibanding tahun sebelumnya. Namun Jefferies memperkirakan angka tersebut dapat mencapai US$0,29, meski tetap dengan penurunan penjualan sekitar 4%. Margin kotor dan margin operasional diperkirakan masih tertekan, masing-masing turun sekitar 350 dan 600 basis poin. Penyebab utamanya adalah biaya pembersihan inventaris lama dengan potongan harga besar-besaran. Meski demikian, Jefferies melihat ini sebagai “luka sementara” sebelum Nike dapat menunjukkan pemulihan fundamental.
Sinyal awal perbaikan mulai terlihat. Jefferies mencatat bahwa lalu lintas pengunjung toko ritel Nike kembali positif pada Agustus, menjadikannya satu-satunya merek dalam kelompok liputannya yang mencatat pertumbuhan. Minat konsumen terhadap produk Nike dan Jordan pun meningkat, sementara mitra grosir seperti JD Sports—yang hampir separuh penjualannya berasal dari Nike—menyampaikan bahwa perusahaan ini “sedang melakukan langkah yang tepat” di bawah kepemimpinan CEO baru Elliott Hill. Belanja pemasaran Nike juga naik 9% menjadi US$1,63 miliar pada kuartal ini, sebuah strategi penting untuk menghadapi agenda besar di 2026, termasuk Piala Dunia yang akan menampilkan banyak tim nasional dengan jersey Nike.
Dari sisi produk, inovasi tetap menjadi senjata utama. Model Vomero 18 telah menembus penjualan US$100 juta, sementara Pegasus masih menjadi salah satu model paling banyak dicari dalam segmen sepatu lari. Nike juga mencoba memperkuat segmen wanita melalui kolaborasi dengan SKIMS, meskipun menuai ulasan campuran. Langkah ini penting karena Nike sudah kehilangan pangsa pasar di segmen ini kepada pesaing seperti Lululemon. Di sisi lain, upaya penataan inventaris menjadi kunci utama. Setelah periode yang disebut Jefferies sebagai “kegilaan stok,” Nike akhirnya melaporkan tingkat persediaan yang stabil pada kuartal sebelumnya. Harapannya, laporan terbaru menunjukkan kemajuan lebih lanjut, dengan target tercapainya “pasar yang bersih” pada paruh kedua tahun ini. Kondisi ini akan memperkuat margin dengan mengurangi diskon besar, mempercepat rotasi produk, dan meningkatkan daya tawar harga.
Namun, skeptisisme masih ada. Tarif impor diperkirakan mengurangi laba sekitar US$1 miliar tahun ini, memaksa Nike menaikkan harga selektif di pasar AS. Pasar Tiongkok pun masih penuh ketidakpastian, sementara para pesaing terus menggigit pangsa Nike di segmen sepatu lari. Pergerakan harga opsi saham menjelang laporan keuangan menunjukkan potensi fluktuasi 8–9%, sebuah indikasi bahwa banyak investor masih berhati-hati. Jika Nike gagal menunjukkan bukti perbaikan, sahamnya bisa kembali tertekan.
Meski demikian, Jefferies tetap optimistis. Mereka menilai tahun fiskal 2027 dapat menjadi momen kebangkitan berbentuk “V-shaped rebound,” dengan target harga saham US$115—sekitar 66% lebih tinggi dari harga penutupan pekan lalu. Keyakinan ini didukung bukti awal pemulihan permintaan, strategi pemasaran yang agresif, inovasi produk baru, dan penataan inventaris yang mulai membuahkan hasil. Dengan semua faktor ini, Nike dinilai sedang bersiap untuk keluar dari masa sulit dan kembali berlari kencang di lintasan global. Pertanyaannya, apakah investor percaya bahwa “beruang tidur” ini benar-benar sudah terbangun, ataukah akan kembali tertidur?

