Kodokushi: Mati Sendirian di Tengah Hidup Modern

(Business Lounge Journal – Culture)

Terdapat fenomena cukup menyedihkan di Jepang, yakni Kodokushi. Istilah ini menggambarkan orang yang meninggal dengan cara yang sangat sepi dan menyedihkan. Kata ini berasal dari kata: kodoku artinya “kesepian,” dan shi artinya “kematian.” Sehingga, Kodokushi berarti “kematian karena kesepian.” Kasus ini biasanya menimpa orang tua atau orang yang hidup sendirian, lalu mereka meninggal di rumah tanpa diketahui siapapun selama berhari-hari bahkan berbulan-bulan.

Fenomena Kodokushi mulai dikenal secara luas sejak Jepang mulai menghadapi masalah penuaan penduduk yang cepat di tahun 1990-an, kemudian ditambah lagi saat Jepang sempat mengalami krisis ekonomi besar. Banyak orang kehilangan pekerjaan, merasa gagal, hidup dalam tekanan sosial, lalu akhirnya memilih menjauh dari lingkungan sosial. Hal ini diperburuk karena adanya budaya Jepang yang sangat menghargai kemandirian dan privasi, yang membuat banyak orang memilih hidup sendiri dengan alasan tidak mau merepotkan keluarga atau orang lain. Lama-kelamaan, akhirnya banyak warga lanjut usia hidup terasing tanpa teman atau keluarga yang menemani. Namun, di beberapa kasus, fenomena ini tidak hanya dialami lansia; beberapa kalangan muda juga dikhawatirkan mati sendirian.

Kasus Kodokushi biasanya baru terbongkar ketika tetangga mencium bau tidak sedap atau ketika petugas apartemen menyadari penghuni tidak membayar sewa. Salah satu kasus terkenal pernah terjadi di Tokyo pada tahun 2013. Seorang pria berusia sekitar 50-an ditemukan sudah tidak bernyawa, dan ternyata dia sudah meninggal selama tiga tahun. Saat itu, televisi dan lampu di rumahnya masih menyala, sementara tubuhnya sudah membusuk karena waktu yang sangat lama. Peristiwa seperti ini menggambarkan betapa seriusnya masalah kesepian di dunia modern yang sibuk.

Pemerintah Jepang telah berusaha mengatasi masalah ini lewat berbagai metode. Salah satunya dengan membentuk kelompok relawan yang rutin berkunjung ke rumah warga lansia untuk mengecek keadaan mereka. Selain itu, ada juga sistem alarm atau sensor gerak di rumah lansia untuk mengawasi aktivitas mereka. Akan tetapi, teknologi saja tidak cukup, karena akar masalahnya adalah kurangnya perhatian, kedekatan, dan hubungan sosial dengan orang-orang di sekitar.

Fenomena ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Jepang. Di negara-negara lain seperti Amerika Serikat dan Inggris, kasus kematian karena kesepian juga meningkat, terutama pada kalangan lansia. Sementara di Korea Selatan, ada istilah serupa yaitu Godoksa, yang juga berarti “mati sendirian.” Masyarakat sekarang semakin sibuk dengan pekerjaan, lebih mementingkan diri sendiri, dan banyak menghabiskan waktu dengan teknologi, sehingga hubungan sesama manusia jadi makin dingin dan sangat terbatas.

Fenomena ini menjadi pengingat penting bagi kita semua, bahwa di balik kemajuan teknologi, kota besar, dan gaya hidup modern, ada bahaya besar yang mengintip: kesepian. Kodokushi bukan hanya masalah bagi negara Jepang, tapi gambaran nyata perubahan dunia yang semakin individualis dan kehilangan kehangatan sosial.

Sebagai manusia, kita tidak hanya membutuhkan uang, rumah, ataupun pekerjaan, tetapi kita juga membutuhkan perhatian, kehangatan, dan hubungan dengan orang lain, sesuai dengan kodrat manusia, yakni sebagai makhluk sosial. Kodokushi mengajarkan kita bahwa hidup tanpa hubungan sosial bisa membuat seseorang hilang dari dunia tanpa disadari. Mencegah kesepian berarti menjaga nilai kemanusiaan itu sendiri. Kasus Kodokushi kiranya menggugah kesadaran publik terhadap kekurangan dalam sistem sosial dan komunitas lokal dalam mendeteksi dan mencegah kematian yang tak terawasi ini.