(Business Lounge Journal – News and Insight)
Walmart tengah memasuki babak baru. Dengan rencana pensiunnya CEO Doug McMillon awal tahun depan dan tongkat kepemimpinan yang akan dialihkan kepada John Furner—seorang veteran internal yang kini memimpin Walmart U.S.—banyak pihak menilai inilah momen tepat untuk melihat kembali perjalanan transformasi Walmart selama 11 tahun terakhir.
McMillon bukan hanya membesarkan Walmart, tetapi juga mengubah lanskap ritel global. Di bawah kepemimpinannya, nilai merek Walmart melonjak dari US$44,8 miliar pada 2014 menjadi US$137,2 miliar, lebih dari tiga kali lipat. Walmart kini memegang peringkat AAA dalam kekuatan merek dengan skor 84,7/100, serta menjadi merek kelima paling berharga di dunia, mengungguli Samsung, TikTok, dan Nvidia. Bahkan, Walmart tercatat sebagai merek dengan pertumbuhan tercepat di antara lima besar brand Amerika Serikat, didorong oleh ekspansi private label, strategi harga agresif, dan upaya rebranding untuk menarik konsumen muda yang sensitif terhadap harga.
Dalam pasar modal, kinerja McMillon juga impresif. Harga saham Walmart naik 310% selama masa jabatannya—mengalahkan S&P 500 dan pesaing ritelnya. Tidak mengejutkan bahwa banyak analis menyebut kepergiannya akan menjadi “gelombang kecil” bagi Walmart, mengingat perannya sebagai arsitek modernisasi perusahaan.
Namun justru karena fondasi transformasi itu telah kokoh, Furner dinilai mewarisi Walmart dalam kondisi terbaiknya. Berikut tiga inisiatif besar yang menjadi warisan penting McMillon.
1. Menghapus Budaya “No Risk” dan Mendorong Eksperimen Cepat
Salah satu perubahan paling signifikan adalah pergeseran budaya manajemen. McMillon meninggalkan pola pikir “no risk” yang selama puluhan tahun mendefinisikan Walmart. Ia memperkenalkan pendekatan “try often, fail fast”, yang memberikan ruang bagi tim untuk menguji ide, berinovasi, dan belajar lebih cepat.
Pendekatan ini bukan sekadar jargon. McMillon mengubah cara perusahaan memandang otomatisasi—bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai kemitraan. Ia memastikan bahwa transformasi digital tidak memecah budaya internal, tetapi justru memperkuatnya. Dalam atmosfer seperti itu, banyak keputusan strategis muncul, termasuk kolaborasi dengan Waymo (Google), Uber, serta Lyft untuk pengiriman produk.
Lanskap internal yang dulunya kaku berubah menjadi organisasi yang jauh lebih gesit dan siap untuk ekspansi lanjutan. Pada masa Furner nanti, fondasi ini akan menjadi keunggulan strategis, bukan titik awal transformasi.
2. Menjadikan Walmart sebagai Hybrid: Retailer + Tech Platform
Walmart di era McMillon bukan lagi sekadar jaringan toko besar. Ia berhasil mengubah identitas perusahaan menjadi organisasi hybrid—setengah retailer, setengah perusahaan teknologi.
Perubahan ini mempercepat alur rantai pasok, meningkatkan visibilitas data, dan menghubungkan kanal online dan offline secara lebih mulus. Hasilnya adalah pengalaman omnichannel yang mampu bersaing dengan Amazon.
Namun transformasi besar ini juga datang dengan tantangan. Organisasi harus menyesuaikan struktur manajemen yang semakin kompleks, sementara tekanan margin meningkat akibat investasi besar dalam teknologi dan logistik. Meski demikian, McMillon tetap berhasil menjaga performa dan menempatkan Walmart dalam posisi strategis untuk menjalankan model bisnis digital dengan lebih matang.
3. Transformasi Budaya: Dari Defensif Menjadi Inovatif
Warisan terbesar McMillon mungkin bukan angka, melainkan budaya. Walmart yang ia warisi adalah perusahaan ritel besar yang kerap dikritik karena gaji rendah, minim inovasi, dan tertinggal dalam digitalisasi. Banyak eksekutif bahkan enggan menyebut Walmart sebagai tempat kerja mereka.
Hari ini, gambaran itu berbeda jauh.
McMillon mengisi organisasi dengan talenta muda berbasis teknologi, memperkuat investasi untuk pekerja garis depan, serta membangun DNA inovasi yang berkelanjutan. Secara operasional, ia memodernisasi rantai pasok menjadi jaringan logistik maju, membangun bisnis e-commerce yang kuat, serta mendorong pertumbuhan di area margin yang lebih tinggi—marketplace, advertising, dan layanan digital.
Walmart kini lebih mendekati definisi tech-enabled logistics company—mirip Amazon, tetapi dengan keunggulan jaringan fisik terbesar di dunia.
Furner Mendapatkan Awal yang Nyaman
Penunjukan Furner sebagai penerus dinilai banyak pihak sebagai langkah suksesi yang “benar waktu dan benar cara”. Dengan perusahaan yang berada pada momentum kuat, Furner mendapatkan runway yang luas untuk melanjutkan ekspansi dan menavigasi tekanan margin serta ketidakpastian ekonomi global.
Keputusan McMillon untuk tetap berada dalam peran penasihat selama beberapa tahun ke depan juga memberi stabilitas dan kesinambungan dalam eksekusi strategi.
Perubahan ini sekaligus menandai pergeseran permanen dalam ekspektasi terhadap CEO ritel modern: teknologi, data, dan rantai pasok kini menjadi kompetensi inti, bukan lagi tambahan.
Era Baru, Fondasi Kuat
Doug McMillon meninggalkan Walmart dalam kondisi jauh lebih kuat, modern, dan relevan dibanding ketika ia mengambil alih kepemimpinan. Dengan struktur teknologi yang lebih matang, organisasi yang lebih agile, dan budaya inovasi yang telah terinternalisasi, Furner kini memiliki pijakan solid untuk membawa Walmart ke era pertumbuhan berikutnya.
Bagi sektor ritel global, transisi ini juga menjadi sinyal penting: masa depan retail akan dimenangkan oleh mereka yang mampu menggabungkan skala besar dengan kecerdasan teknologi.
Dan Walmart, berkat McMillon, sudah berada beberapa langkah di depan.

