Spirit Airlines
Photo: vibizmedia

Spirit Airlines Tunda Sepertiga Awak Kabinnya

(Business Lounge – Global News) Maskapai berbiaya rendah Spirit Airlines kembali menjadi sorotan setelah mengumumkan keputusan menunda sementara atau furlough terhadap sekitar sepertiga awak kabinnya. Langkah drastis ini diambil di tengah proses kebangkrutan yang sedang berlangsung, sekaligus mencerminkan tekanan berat yang dihadapi industri penerbangan murah di Amerika Serikat. Menurut laporan Wall Street Journal dan Bloomberg, kebijakan tersebut ditujukan untuk memangkas biaya operasional serta memberikan ruang bagi perusahaan untuk mengupayakan pemulihan profitabilitas.

Spirit, yang selama ini dikenal dengan strategi tarif ultra-murah, menghadapi kombinasi tantangan struktural dan siklus. Lonjakan harga bahan bakar, melemahnya permintaan di rute domestik tertentu, serta tingginya biaya operasional membuat maskapai ini kesulitan menjaga arus kas. Situasi semakin diperburuk oleh kompetisi ketat dengan maskapai berbiaya rendah lain seperti Frontier, sekaligus tekanan dari maskapai besar yang kian agresif menawarkan tiket promosi.

Keputusan furlough sekitar sepertiga awak kabin berarti ribuan karyawan harus menghadapi ketidakpastian pekerjaan. Menurut Reuters, Spirit memiliki lebih dari 5.000 pramugari, sehingga pemangkasan sementara ini bisa memengaruhi hampir 1.700 orang. Serikat pekerja menanggapi kebijakan tersebut dengan keprihatinan mendalam. Mereka menilai Spirit kurang transparan dalam menjelaskan rencana jangka panjang dan menuntut kejelasan mengenai kapan awak kabin bisa kembali bekerja penuh.

Meski demikian, manajemen Spirit menekankan bahwa langkah ini bersifat sementara. Dalam pernyataan resminya, perusahaan menyebut kebijakan ini perlu dilakukan untuk menyesuaikan jadwal penerbangan dengan realitas permintaan pasar dan kondisi keuangan. Mereka menambahkan bahwa keselamatan dan layanan tetap menjadi prioritas utama, dan furlough tidak akan memengaruhi standar operasi penerbangan.

Namun, para analis melihat keputusan ini sebagai sinyal bahwa tantangan Spirit lebih dalam dari sekadar siklus jangka pendek. Bloomberg Intelligence mencatat bahwa masuknya Spirit ke proses kebangkrutan bukan hanya akibat tekanan pandemi atau biaya bahan bakar, melainkan juga model bisnis ultra-low-cost yang semakin sulit dipertahankan. Konsumen kini lebih kritis terhadap layanan tambahan, sementara regulator dan bandara menuntut standar lebih tinggi. Akibatnya, ruang bagi maskapai ultra-murah untuk bermain semakin sempit.

Kebangkrutan Spirit juga berdampak pada peta persaingan industri. Rencana penggabungan dengan Frontier Airlines sebelumnya gagal setelah menghadapi tentangan dari regulator antitrust AS. Kemudian, upaya akuisisi oleh JetBlue juga terhenti. Tanpa mitra strategis, Spirit kini harus mencari jalan keluar sendiri, dengan harapan restrukturisasi melalui pengadilan bisa memberi waktu untuk menata ulang strategi.

Sementara itu, dampak terhadap awak kabin sangat signifikan. Bagi banyak dari mereka, Spirit adalah satu-satunya sumber penghasilan utama. Dengan status furlough, mereka tidak dipecat secara permanen, tetapi tidak menerima gaji penuh dan hanya mengandalkan tunjangan terbatas. Beberapa serikat pekerja yang dikutip The Guardian menyebut kebijakan ini sebagai “pemotongan diam-diam” yang memaksa karyawan mencari pekerjaan sampingan untuk bertahan hidup.

Dari sisi operasional, Spirit juga memangkas jadwal penerbangan di sejumlah rute yang kurang menguntungkan. Rute domestik jarak pendek yang dulu menjadi andalan kini mengalami penurunan penumpang, terutama karena maskapai besar seperti Delta dan American Airlines meningkatkan kehadiran di pasar yang sama dengan tarif promosi agresif. Selain itu, gangguan rantai pasok suku cadang dan keterlambatan pengiriman pesawat baru dari Airbus memperparah kesulitan Spirit dalam mengoptimalkan armadanya.

Namun, perusahaan masih melihat peluang di rute internasional tertentu, terutama ke destinasi wisata Karibia dan Amerika Latin. Menurut CNBC, Spirit akan tetap mempertahankan jaringan internasionalnya karena segmen ini memberikan margin yang lebih tinggi dibanding rute domestik. Meski begitu, kapasitas tetap harus disesuaikan dengan keterbatasan sumber daya.

Bagi investor, pengumuman furlough menjadi cerminan ketidakpastian besar. Saham Spirit telah anjlok lebih dari 70 persen dalam setahun terakhir, mencerminkan keraguan pasar terhadap prospek pemulihan. Beberapa analis menilai bahwa satu-satunya cara Spirit bertahan adalah dengan melakukan restrukturisasi utang besar-besaran, sekaligus mengubah sebagian model bisnis. Tanpa perubahan fundamental, risiko kebangkrutan permanen tidak bisa diabaikan.

Selain itu, keputusan Spirit juga memunculkan diskusi lebih luas tentang keberlanjutan model maskapai ultra-low-cost di era baru penerbangan. Setelah pandemi, penumpang semakin menuntut fleksibilitas, kenyamanan, dan transparansi biaya. Maskapai besar yang dulunya fokus pada segmen premium kini ikut masuk ke pasar tarif murah dengan kapasitas lebih besar dan dukungan keuangan lebih kuat. Spirit, yang mengandalkan biaya tambahan untuk bagasi dan layanan lainnya, kehilangan daya tarik kompetitif ketika harga dasar tiket tidak lagi menjadi penentu utama.

Meski menghadapi kesulitan, Spirit berusaha menegaskan posisinya di pasar. Dalam wawancara dengan Reuters, manajemen menegaskan komitmen untuk tetap melayani komunitas yang membutuhkan tiket murah. Mereka juga menyebut sedang meninjau berbagai opsi strategis, mulai dari negosiasi dengan kreditur hingga mencari mitra baru. Namun, sejauh ini belum ada sinyal jelas mengenai arah jangka panjang.

Dampak sosial di komunitas lokal juga terasa. Spirit memiliki basis operasi besar di beberapa bandara seperti Fort Lauderdale dan Orlando, yang menggantungkan banyak aktivitas ekonomi pada operasional maskapai tersebut. Penundaan atau pengurangan jadwal penerbangan dapat memengaruhi tidak hanya awak kabin, tetapi juga staf darat, penyedia katering, hingga bisnis pariwisata lokal.

Situasi Spirit kini dipantau ketat oleh regulator. Federal Aviation Administration (FAA) menegaskan bahwa pengurangan awak kabin tidak boleh menurunkan standar keselamatan. Sejauh ini, tidak ada pelanggaran operasional yang ditemukan, namun FAA menekankan pentingnya memastikan setiap penerbangan memiliki jumlah awak minimum sesuai regulasi.