(Business Lounge – Global News) Beberapa minggu terakhir, pelanggan Starbucks di berbagai kota Amerika Serikat mungkin merasakan perubahan kecil namun signifikan saat memesan minuman favorit mereka. Senyum lebih tulus, sapaan lebih hangat, dan interaksi yang terasa lebih personal kini menjadi bagian dari pengalaman di gerai kopi raksasa itu. Perubahan ini bukan kebetulan, melainkan strategi yang dirancang dengan cermat oleh manajemen Starbucks untuk menghadapi tantangan utama: penurunan penjualan yang telah menekan kinerja perusahaan dalam beberapa kuartal terakhir.
Menurut laporan Wall Street Journal, Starbucks sedang menguji formula baru dalam layanan pelanggan yang berfokus pada “interaksi bermakna” di antara barista dan konsumen. Program pelatihan baru ini mendorong staf untuk melakukan kontak mata, menyapa pelanggan dengan nama, dan bahkan melibatkan percakapan singkat yang bisa menciptakan kesan hangat. Strategi ini diluncurkan setelah survei internal menemukan bahwa banyak pelanggan menganggap kunjungan ke Starbucks semakin terasa impersonal, terutama di era pascapandemi ketika interaksi digital dan aplikasi seluler mendominasi transaksi.
Bloomberg menulis bahwa penjualan global Starbucks melambat sepanjang 2024, terutama di pasar utama seperti Amerika Utara dan China. Persaingan dengan jaringan kopi lokal, kenaikan harga bahan baku, serta perubahan kebiasaan konsumen mendorong perusahaan untuk mencari cara baru dalam menarik pelanggan kembali ke toko. Salah satu jawabannya adalah kembali ke akar budaya layanan yang membuat merek ini mendunia sejak awal, yaitu menciptakan ruang di mana pelanggan merasa disambut, diperhatikan, dan dihargai.
Namun, pendekatan ini bukan sekadar nostalgia. Dalam dunia ritel modern, di mana pengalaman pelanggan menjadi faktor kunci dalam membedakan merek, menciptakan interaksi manusiawi dianggap sebagai nilai tambah. CNBC menekankan bahwa banyak perusahaan makanan cepat saji kini mencoba mengimbangi otomatisasi dengan elemen emosional. Starbucks melihat peluang untuk memperkuat loyalitas melalui sesuatu yang sederhana: keramahan tulus dari orang yang menyajikan kopi.
Pelatihan baru yang diperkenalkan perusahaan berfokus pada apa yang disebut “moments that matter.” Barista dilatih untuk membaca situasi dengan cepat, memahami kebutuhan emosional pelanggan, dan merespons dengan cara yang tepat. Misalnya, pelanggan yang terlihat terburu-buru mungkin hanya menginginkan layanan cepat tanpa basa-basi, sementara pelanggan lain yang datang sendirian mungkin lebih menghargai percakapan singkat atau sekadar senyuman hangat. Menurut laporan New York Times, strategi ini menempatkan barista sebagai pusat pengalaman, bukan sekadar penyaji minuman.
Langkah ini datang pada saat Starbucks menghadapi tekanan dari investor. Dalam laporan pendapatan kuartal terakhir, perusahaan mencatat pertumbuhan yang lebih rendah dari perkiraan analis, dengan penurunan transaksi di beberapa pasar utama. CEO Laxman Narasimhan mengakui bahwa merek harus “lebih relevan dan lebih dekat” dengan konsumennya, terutama generasi muda yang memiliki banyak pilihan alternatif. Dengan pelatihan baru ini, Starbucks berharap dapat membalikkan tren penurunan kunjungan yang telah berlangsung sejak awal 2024.
Meski begitu, strategi ini tidak lepas dari kritik. Beberapa analis mempertanyakan apakah fokus pada keramahan barista cukup untuk mengatasi tantangan struktural yang lebih besar, seperti harga minuman yang semakin mahal dan kompetisi sengit dari jaringan kopi lain serta kedai independen. Reuters mencatat bahwa Starbucks kini menghadapi tantangan ganda: menurunkan biaya operasional sambil tetap menjaga kualitas pengalaman pelanggan. Dalam konteks ini, meningkatkan interaksi manusiawi hanya akan efektif jika diimbangi dengan inovasi produk dan harga yang kompetitif.
Di tingkat operasional, pelatihan baru ini juga menimbulkan perdebatan di kalangan karyawan. Sejumlah barista mengungkapkan bahwa tuntutan untuk lebih ramah dan interaktif menambah beban kerja di tengah jadwal yang padat. Di media sosial, beberapa staf menyebut strategi ini sebagai bentuk “emotional labor” yang bisa melelahkan jika tidak dikelola dengan baik. Starbucks sendiri menyatakan akan mendukung barista melalui pelatihan psikologis ringan dan menciptakan budaya kerja yang lebih suportif agar interaksi tetap terasa otentik, bukan dipaksakan.
Secara global, strategi ini mencerminkan perubahan dalam filosofi ritel modern. Di tengah meningkatnya digitalisasi, konsumen justru semakin mencari sentuhan personal. Menurut survei yang dikutip Forbes, 70 persen pelanggan merasa lebih cenderung kembali ke sebuah merek jika pengalaman mereka diwarnai interaksi yang hangat dan autentik. Starbucks tampaknya ingin menjadi contoh nyata bagaimana koneksi manusia bisa kembali menjadi faktor diferensiasi utama.
Seiring dengan strategi layanan ini, perusahaan juga terus berinvestasi dalam teknologi. Aplikasi seluler Starbucks, yang menjadi salah satu pionir dalam pemesanan digital, kini sedang diperbarui untuk memungkinkan pelanggan mempersonalisasi interaksi mereka, termasuk preferensi sapaan dari barista. Dengan demikian, strategi digital dan interaksi manusiawi tidak berjalan terpisah, melainkan saling melengkapi dalam menciptakan pengalaman holistik.
Jika berhasil, strategi ini bisa menjadi model bagi industri ritel dan makanan cepat saji secara keseluruhan. Perusahaan lain mungkin akan mencontoh cara Starbucks menyeimbangkan efisiensi digital dengan kedekatan emosional. Namun, jalan menuju pemulihan penuh masih panjang. Penjualan yang stagnan, inflasi biaya bahan baku, serta persaingan ketat akan terus menjadi tantangan. Bagi Starbucks, ujian sesungguhnya adalah apakah keramahan barista bisa benar-benar menggerakkan pelanggan untuk kembali dan membangun loyalitas jangka panjang.