(Business Lounge Journal – Leadership)
Dalam beberapa tahun terakhir, para pemimpin bisnis global banyak disibukkan oleh isu perdagangan internasional, tarif, hingga geopolitik. Semua faktor tersebut memang berpengaruh langsung terhadap performa jangka pendek perusahaan. Namun, ada risiko lebih besar yang kerap terabaikan: kekuatan-kekuatan besar (megatrends) yang sedang menggeser pusat pertumbuhan ekonomi dan akan menentukan arah bisnis dalam jangka panjang.
Berdasarkan riset PwC, ada tiga disrupsi utama yang bergerak serentak dan memengaruhi lanskap global. Pertama adalah fragmentasi tatanan geopolitik pasca-Perang Dingin yang kini menjadi berita sehari-hari. Kedua, transformasi besar yang dipicu oleh kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Ketiga, risiko iklim fisik yang semakin nyata dengan meningkatnya frekuensi banjir, kekeringan, gelombang panas, dan kebakaran hutan.
Kombinasi ketiga faktor ini tengah menciptakan value in motion—pergeseran nilai ekonomi lintas sektor yang akan membuka peluang pertumbuhan baru sekaligus ketidakpastian besar.
AI: Potensi Revolusi Produktivitas
PwC memperkirakan, jika AI mampu memberikan lonjakan produktivitas setara revolusi teknologi sebelumnya (seperti listrik atau internet), maka pada tahun 2035 perekonomian global bisa tumbuh hampir 15% lebih besar dibanding proyeksi dasar. Namun, capaian ini hanya mungkin terjadi jika AI benar-benar diadopsi secara bertanggung jawab, terpercaya, dan diiringi penciptaan jenis pekerjaan baru yang menggantikan tugas-tugas yang diotomatisasi.
Menariknya, AI justru akan mendorong permintaan energi yang sangat besar. Tetapi dalam jangka panjang, AI juga berpotensi menemukan efisiensi energi baru yang bisa menyeimbangkan kebutuhan tersebut. Dengan kata lain, masa depan AI dividend tidak bersifat otomatis—bisa sangat besar, bisa juga turun drastis hingga hanya 1% tambahan pertumbuhan.
Risiko Iklim: Biaya yang Tak Bisa Dihindari
Di sisi lain, biaya ekonomi akibat risiko iklim kian meningkat. Kebakaran hutan di Los Angeles pada Januari lalu misalnya, menimbulkan kerugian hingga lebih dari USD 250 miliar. Analisis PwC menunjukkan, tanpa perubahan signifikan, dampak iklim dapat membuat perekonomian global 7% lebih kecil pada 2035 dibanding skenario business-as-usual.
Upaya dekarbonisasi tentu penting, tetapi juga membawa konsekuensi. Aset-aset yang harus ditinggalkan karena transisi energi diperkirakan dapat menimbulkan biaya lebih dari 3% GDP global. Ini menegaskan bahwa jalan menuju ekonomi rendah karbon memerlukan strategi bisnis yang matang, bukan sekadar komitmen moral.
Tiga Skenario Masa Depan
Riset PwC menggambarkan tiga kemungkinan besar arah pertumbuhan global:
- Trust-Based Transformation – AI berkembang pesat, dekarbonisasi berjalan agresif, dan transformasi ekonomi berhasil menciptakan pertumbuhan yang sehat dan berkelanjutan.
- Tense Transition – Dividen AI terbatas, sementara biaya iklim menekan pertumbuhan, menghasilkan kondisi serba tegang dan penuh kompromi.
- Turbulent Times – AI tidak memenuhi ekspektasi, upaya keberlanjutan melemah, dan pertumbuhan global menurun drastis.
Skenario mana yang akan terjadi tidak hanya ditentukan oleh geopolitik, tetapi juga oleh keputusan berani para pemimpin bisnis saat ini.
Apa Artinya bagi Pemimpin Bisnis Indonesia?
Bagi pemimpin perusahaan di Indonesia, isu-isu global ini bukan sekadar wacana. Adopsi AI di sektor perbankan, manufaktur, maupun logistik sudah mulai terlihat, meski tantangan literasi dan kesiapan tenaga kerja masih tinggi. Di sisi lain, risiko iklim sudah sangat nyata: dari banjir Jakarta hingga kebakaran hutan di Kalimantan yang mengganggu rantai pasok dan kesehatan masyarakat.
Artinya, pemimpin bisnis di Indonesia harus mampu mengintegrasikan dua agenda sekaligus—transformasi digital melalui AI dan strategi keberlanjutan menghadapi risiko iklim—ke dalam rencana jangka panjang.
Strategi untuk Menavigasi Value in Motion
Agar dapat bertahan sekaligus tumbuh, para CEO dan manajemen puncak perlu mempertimbangkan langkah-langkah berikut:
- Membangun model bisnis baru yang lebih adaptif terhadap peluang AI sekaligus memitigasi dampak iklim.
- Berinvestasi dalam energi terbarukan dan efisiensi operasional, sembari memanfaatkan AI untuk menemukan sumber penghematan baru.
- Mengembangkan kapabilitas SDM agar mampu mengisi peran baru yang lahir dari otomatisasi.
- Menyusun playbook baru dalam menghadapi pajak karbon, regulasi keberlanjutan, dan persaingan global yang berbasis teknologi.
- Mengelola kepercayaan—baik dari investor, regulator, maupun konsumen—karena keberhasilan adopsi AI dan transisi hijau sangat bergantung pada tingkat kepercayaan publik.
Value in motion bukanlah ancaman, melainkan realitas baru yang akan menentukan siapa pemimpin bisnis yang mampu bertahan dan siapa yang akan tertinggal. AI dan risiko iklim bukan sekadar isu teknologi atau lingkungan, melainkan agenda strategis yang harus masuk ke inti manajemen perusahaan.
Para pemimpin yang berani mengambil keputusan visioner hari ini berpeluang bukan hanya untuk membawa perusahaannya bertumbuh, tetapi juga untuk ikut membentuk masa depan ekonomi global yang lebih sejahtera dan berkelanjutan.