(Business Lounge – Tech) Apple kembali menjadi pusat perhatian pasar global setelah merilis lini terbaru iPhone yang dijuluki “iPhone Air,” sebuah perangkat dengan desain lebih tipis dibanding generasi sebelumnya. Peluncuran ini dinilai sebagai strategi perusahaan untuk merangsang gelombang baru pembaruan perangkat di tengah tren penjualan smartphone yang mulai stagnan. Menurut laporan Wall Street Journal dan Bloomberg, Apple mengandalkan desain baru ini untuk menarik konsumen yang selama beberapa tahun terakhir menunda pembelian model terbaru karena minimnya perbedaan signifikan antar generasi.
Peluncuran iPhone Air tidak hanya menyoroti sisi estetika, tetapi juga harga yang lebih tinggi. Apple memutuskan menaikkan harga awal untuk model premium, sebuah langkah yang dipandang sebagai upaya untuk mengompensasi tekanan biaya, termasuk potensi dampak tarif impor dari pasar utama seperti Amerika Serikat dan Eropa. Dengan strategi ini, Apple berharap bisa menjaga margin keuntungan tetap kuat, meski pasar smartphone global menghadapi perlambatan.
Dari sisi desain, iPhone Air membawa pendekatan berbeda dengan menonjolkan bodi ultra-tipis yang menjadikannya salah satu perangkat paling ramping di pasar. Apple menilai bahwa konsumen premium mencari kombinasi antara performa dan gaya, sehingga diferensiasi visual menjadi penting untuk mendorong keputusan upgrade. Sementara pesaing seperti Samsung, Xiaomi, dan Huawei fokus pada inovasi kamera atau layar lipat, Apple tampaknya memilih jalur kesederhanaan dengan memberikan penekanan pada keanggunan fisik perangkat.
Namun, di balik desain baru tersebut, Apple masih menghadapi kritik soal keterlambatan dalam menghadirkan fitur-fitur kecerdasan buatan generatif. Financial Times mencatat bahwa meski perusahaan teknologi besar lain sudah gencar mengintegrasikan AI dalam produk mereka, Apple tampak lebih konservatif. Hingga kini, Apple belum merilis asisten AI canggih yang bisa menyaingi ChatGPT atau Gemini. Sebaliknya, perusahaan lebih fokus pada efisiensi energi, keamanan data, serta ekosistem perangkat yang terintegrasi. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah daya tarik desain semata cukup untuk mempertahankan dominasi Apple.
Meski begitu, konsumen setia Apple masih menjadi kekuatan utama. Laporan dari CNBC menunjukkan bahwa tingkat loyalitas pengguna iPhone tetap tinggi, dengan sebagian besar pengguna memilih bertahan dalam ekosistem Apple. Hal ini memberi ruang bagi perusahaan untuk menerapkan strategi harga premium tanpa khawatir kehilangan basis pelanggan. Dengan iPhone Air, Apple berharap bisa mengubah loyalitas ini menjadi peningkatan penjualan nyata, terutama di pasar maju seperti Amerika Utara, Eropa, dan Jepang.
Dari perspektif finansial, strategi Apple cukup logis. Menurut Bloomberg Intelligence, setiap kenaikan harga rata-rata iPhone sebesar 100 dolar dapat meningkatkan pendapatan tahunan perusahaan hingga miliaran dolar. Dengan pangsa pasar premium yang masih dikuasai, Apple berada dalam posisi untuk memanfaatkan konsumen yang bersedia membayar lebih demi perangkat yang dianggap ikonik.
Namun, pasar smartphone secara keseluruhan tengah menghadapi kondisi menantang. Data dari IDC menunjukkan bahwa penjualan global turun sekitar 3% pada paruh pertama tahun 2025, terutama karena konsumen memperpanjang siklus penggunaan perangkat. Inovasi yang dianggap minor membuat banyak pengguna merasa tidak perlu segera mengganti smartphone. Dalam konteks inilah Apple meluncurkan iPhone Air, mencoba menciptakan insentif visual dan emosional agar konsumen merasa perangkat lama mereka sudah ketinggalan.
Selain soal desain dan harga, ada dimensi geopolitik yang tidak bisa diabaikan. Apple menghadapi risiko tarif tambahan atas produk yang diimpor dari China, tempat sebagian besar iPhone dirakit. Dengan menaikkan harga, perusahaan berupaya mengantisipasi dampak biaya tersebut sekaligus menjaga margin. Meski demikian, langkah ini berisiko mengurangi aksesibilitas bagi sebagian konsumen di pasar berkembang yang sangat sensitif terhadap harga.
Para analis pasar menekankan bahwa Apple harus lebih dari sekadar menjual keindahan. Kompetisi semakin ketat, dengan produsen Android yang tidak hanya menawarkan perangkat lipat, tetapi juga mengintegrasikan AI langsung di dalam sistem operasi mereka. Google Pixel, misalnya, sudah menekankan fitur AI fotografi, sementara Samsung menjanjikan integrasi AI lintas perangkat. Jika Apple tidak segera mengimbangi di ranah ini, desain tipis semata bisa kehilangan relevansi.
Meski begitu, ada strategi jangka panjang yang lebih halus. Apple diyakini tengah mengembangkan infrastruktur AI yang lebih privat, sejalan dengan reputasinya sebagai perusahaan yang sangat peduli pada keamanan data. Alih-alih terburu-buru merilis chatbot publik, Apple bisa jadi sedang menyiapkan sistem AI yang terintegrasi erat dengan Siri dan iCloud. Jika berhasil, langkah ini akan memberikan diferensiasi kuat dibanding pesaing yang sering dikritik karena risiko privasi.
Bagi investor, peluncuran iPhone Air menjadi ujian penting. Saham Apple belakangan ini mengalami fluktuasi akibat kekhawatiran atas melambatnya permintaan global dan kurangnya gebrakan baru. Dengan model baru yang diposisikan sebagai pemicu siklus upgrade, investor akan mencermati laporan penjualan kuartalan berikutnya untuk melihat seberapa besar respons pasar. Wall Street Journal menulis bahwa Apple berada dalam posisi “all in” untuk membuktikan bahwa daya tarik desain masih relevan di tengah euforia AI.