kerja

Sertifikat Keterampilan Kerja Meningkat, Namun Manfaat Masih Dipertanyakan

(Business Lounge – Human Resources) Fenomena sertifikasi keterampilan kerja semakin marak dalam beberapa tahun terakhir, seiring dengan meningkatnya jumlah pekerja yang mencari cara untuk meningkatkan daya saing mereka di pasar tenaga kerja yang semakin ketat. Laporan terbaru yang dikutip The Wall Street Journal menyoroti bahwa ribuan kursus online dan program sertifikasi telah ditawarkan, mulai dari analitik data hingga keamanan siber. Namun, penelitian menunjukkan bahwa tidak semua sertifikat ini menghasilkan peningkatan nyata dalam karier maupun pendapatan.

Studi yang dirilis oleh Strada Education Foundation dan Burning Glass Institute menemukan bahwa banyak sertifikat keterampilan, terutama yang ditawarkan melalui platform kursus daring jangka pendek, gagal memberikan nilai ekonomi yang sebanding dengan waktu dan biaya yang diinvestasikan pekerja. Hanya sebagian kecil dari program yang secara konsisten meningkatkan peluang pekerja untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik atau gaji yang lebih tinggi.

Menurut analisis Bloomberg, pasar sertifikat kerja telah berkembang pesat sejak pandemi COVID-19, ketika banyak perusahaan dan pekerja beralih ke platform digital untuk pelatihan dan peningkatan keterampilan. Perusahaan besar seperti Google, Amazon, dan Microsoft bahkan meluncurkan sertifikat profesional mereka sendiri, yang dipromosikan sebagai alternatif terjangkau dari pendidikan tinggi tradisional. Meski begitu, tidak semua sertifikat memiliki nilai yang sama di mata pemberi kerja.

Seorang peneliti dari Brookings Institution menjelaskan bahwa sebagian besar sertifikat hanya memberikan keuntungan bagi mereka yang bekerja di bidang teknologi dan sektor dengan permintaan tenaga kerja tinggi. Di luar itu, banyak pekerja merasa kecewa karena sertifikat yang mereka raih tidak menghasilkan lonjakan karier yang dijanjikan. Kondisi ini menunjukkan adanya kesenjangan antara pemasaran program sertifikasi dan kenyataan pasar kerja.

Salah satu contoh yang dikutip Financial Times adalah pekerja di sektor administrasi yang mengambil kursus manajemen proyek singkat. Meski sertifikat itu menambah kepercayaan diri dan wawasan, kenaikan gaji yang dijanjikan tidak selalu terwujud. Banyak perusahaan masih lebih mengutamakan pengalaman kerja nyata dibandingkan sertifikat tambahan, kecuali jika sertifikat itu berasal dari lembaga ternama atau berhubungan langsung dengan teknologi yang sedang diminati pasar.

Namun, tidak semua temuan bernada pesimis. Beberapa studi yang dikutip Harvard Business Review menunjukkan bahwa sertifikat dari lembaga besar seperti Google Career Certificates atau AWS Cloud Certification memang memberikan dorongan signifikan bagi peserta, terutama yang berpindah karier ke bidang teknologi. Hal ini memperlihatkan bahwa kualitas dan reputasi penyelenggara sertifikasi memainkan peran penting dalam menentukan nilai jangka panjang.

Di sisi lain, perusahaan juga dihadapkan pada dilema. Menurut CNBC, banyak HR dan manajer perekrutan masih kesulitan menilai kredibilitas sertifikat yang begitu beragam di pasaran. Ada ribuan jenis sertifikat dengan tingkat kedalaman yang berbeda, sehingga membedakan antara kursus intensif berbulan-bulan dengan program pelatihan dua minggu seringkali tidak mudah. Akibatnya, sertifikat seringkali dianggap sebagai tambahan, bukan faktor utama dalam perekrutan.

Muncul pula perdebatan mengenai apakah sertifikat seharusnya dilihat sebagai pengganti gelar pendidikan tinggi. Sebagian analis berpendapat bahwa sertifikat hanya bisa menjadi pelengkap, bukan substitusi penuh. Pendidikan tinggi masih menyediakan kerangka pengetahuan yang lebih luas, sementara sertifikat hanya berfokus pada keterampilan teknis tertentu. Dengan kata lain, sertifikat mungkin efektif untuk memperbarui keterampilan, tetapi tidak selalu cukup untuk membangun fondasi karier jangka panjang.

Meski begitu, permintaan terhadap kursus singkat dan sertifikasi tetap tinggi. Laporan EdSurge memperkirakan bahwa pasar global untuk micro-credential dan sertifikat keterampilan akan terus tumbuh hingga mencapai puluhan miliar dolar dalam lima tahun ke depan. Peningkatan ini didorong oleh keinginan pekerja untuk tetap relevan di tengah percepatan otomatisasi dan transformasi digital.

Bagi pekerja, tantangan terbesar adalah memilih sertifikat yang tepat. Analis dari Forbes menyarankan agar pekerja fokus pada sertifikasi yang sudah diakui luas oleh industri, seperti dalam bidang cloud computing, data analytics, dan keamanan siber. Sertifikat dengan akreditasi industri atau dukungan perusahaan besar memiliki peluang lebih besar untuk menghasilkan keuntungan nyata.

Ledakan sertifikat keterampilan kerja mencerminkan perubahan mendasar dalam cara pekerja dan perusahaan memandang pendidikan dan pelatihan. Namun, sebagaimana ditunjukkan berbagai studi, tidak semua sertifikat membawa dampak ekonomi yang berarti. Nilai sebenarnya bergantung pada sektor industri, reputasi penyelenggara, dan kesesuaian dengan kebutuhan pasar kerja. Di era di mana pekerja berlomba-lomba menyesuaikan diri dengan perubahan teknologi, sertifikat mungkin menjadi alat penting, tetapi tetap bukan jaminan emas bagi masa depan karier.

Hal serupa juga mulai tampak di Indonesia, di mana lonjakan kursus online dan pelatihan singkat di berbagai platform masih menghadapi persoalan kesenjangan antara apa yang diajarkan dan apa yang dibutuhkan dunia kerja.

Pemerintah Indonesia melalui program Kartu Prakerja telah berusaha menjembatani kesenjangan tersebut dengan memberikan akses bagi jutaan masyarakat untuk mengikuti pelatihan dan kursus keterampilan. Namun, sejumlah analis menilai bahwa meski program ini meningkatkan partisipasi, sertifikasi yang diperoleh tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan daya saing tenaga kerja. Laporan Bank Dunia tahun 2024 menyebutkan bahwa hanya sekitar 30% peserta pelatihan di Indonesia yang berhasil mengubah keterampilan baru mereka menjadi peningkatan pendapatan atau mobilitas pekerjaan.

Di sisi lain, perusahaan swasta juga gencar meluncurkan program micro-credential, baik melalui kerja sama dengan platform global seperti Coursera, edX, atau Udemy, maupun lewat inisiatif lokal. Banyak pekerja, terutama dari generasi muda, menganggap sertifikat ini sebagai jalan pintas untuk memperkuat CV mereka. Namun, sama seperti di Amerika, Bloomberg melaporkan bahwa tanpa dukungan sistem industri yang mengakui standar kualitas sertifikasi, nilai ekonominya tetap lemah. Perusahaan masih lebih memprioritaskan pengalaman kerja dan keterampilan teknis yang terbukti daripada selembar sertifikat digital.

Fenomena ini juga menimbulkan risiko terjadinya inflasi sertifikasi. Semakin banyak orang yang memiliki sertifikat serupa, semakin kecil diferensiasi yang bisa ditawarkan pekerja di mata perekrut. Di sektor teknologi, misalnya, sertifikasi coding atau data analytics semakin banyak diperoleh pekerja, namun permintaan pasar tidak tumbuh secepat penawaran. Menurut kajian Reuters, hal ini menyebabkan banyak lulusan kursus teknologi di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, yang akhirnya tetap sulit mendapat pekerjaan dengan gaji layak.

Namun demikian, tidak semua sertifikasi bernasib sama. Sertifikat keterampilan yang berbasis standar industri atau dikeluarkan oleh asosiasi profesi ternama justru makin berharga. Di sektor keuangan, misalnya, sertifikasi seperti CFA atau CPA tetap dipandang sebagai pembeda utama dan menjadi syarat masuk ke level pekerjaan tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa yang menentukan nilai sertifikat bukan hanya materi pelatihan, tetapi juga kredibilitas lembaga pemberi. Di Indonesia, sertifikasi profesi yang dikelola Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) masih memiliki peran lebih solid dibanding kursus daring yang bertebaran.

Tantangan lain yang dihadapi Indonesia adalah kesenjangan literasi digital dan biaya. Meski banyak kursus daring terjangkau, tidak semua masyarakat di daerah mampu mengaksesnya karena keterbatasan internet. Hal ini berpotensi memperlebar jurang antara pekerja di perkotaan yang mampu membeli sertifikasi global dengan mereka yang hanya mengandalkan kursus lokal yang terbatas. Seperti disorot oleh Financial Times, kualitas akses pendidikan digital menjadi salah satu faktor penentu kesuksesan transformasi tenaga kerja di negara berkembang.

Para analis menilai Indonesia perlu mengembangkan kerangka kerja sertifikasi yang lebih terintegrasi dengan kebutuhan industri. Jika tidak, negara akan menghadapi risiko terjebak pada fenomena yang sama dengan AS, yaitu banjir sertifikat tanpa dampak nyata terhadap kesejahteraan tenaga kerja. Upaya pemerintah menghubungkan program vokasi dengan dunia industri lewat skema link and match dianggap sebagai langkah awal, tetapi implementasinya masih jauh dari optimal.

Sertifikasi keterampilan di Indonesia akan bernilai jika mampu membangun kepercayaan pasar tenaga kerja. Pengakuan industri, kredibilitas lembaga penyedia, serta kesesuaian dengan kebutuhan nyata dunia kerja akan menjadi kunci. Tanpa hal tersebut, sertifikasi hanya akan menjadi simbol prestise semu, yang mempercantik resume tetapi tidak mengubah nasib ekonomi pekerja. Fenomena global menunjukkan bahwa sertifikat hanyalah alat, bukan tujuan, dan Indonesia harus belajar dari pengalaman negara lain agar tidak terjebak pada siklus ekspektasi berlebihan terhadap kursus daring dan micro-credential.