(Business Lounge – Human Resources) Kalau ada satu hal yang bisa menggambarkan tenaga kerja Indonesia hari ini, mungkin kata yang paling pas adalah “bergerak”. Dari desa ke kota, dari satu sektor ke sektor lain, bahkan dari dalam negeri ke luar negeri—pekerja kita selalu berada dalam pusaran perubahan. Laporan terbaru Analisis Mobilitas Tenaga Kerja Hasil Sakernas 2024 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) memberi gambaran cukup lengkap tentang bagaimana pekerja Indonesia berpindah, beradaptasi, dan mencari peluang di tengah ekonomi yang makin dinamis.
Membaca laporan itu terasa seperti menelusuri peta perjalanan hidup jutaan orang. Ada yang pindah ke kota besar demi gaji lebih baik, ada yang memilih jadi komuter harian demi tetap dekat keluarga, ada pula yang berani merantau sampai luar negeri. Semuanya punya cerita sendiri, tapi kalau ditarik benang merah, ada pola besar yang menarik: tenaga kerja Indonesia makin fleksibel, tapi sekaligus juga rentan.
Jawa, Magnet Lama yang Tak Pernah Pudar
Salah satu temuan utama Sakernas 2024 adalah soal migrasi pekerja permanen. Lagi-lagi, Pulau Jawa muncul sebagai episentrum pergerakan. Jawa Tengah, misalnya, tercatat sebagai provinsi dengan jumlah pekerja migran “risen” (alias yang pindah dan menetap) paling tinggi. Jawa Barat dan Jawa Timur menyusul di belakangnya.
Fenomena ini sebenarnya bukan hal baru. Sejak dulu, Jawa sudah jadi magnet karena padat penduduk, infrastruktur relatif lengkap, dan industri terkonsentrasi di sini. Namun, yang menarik adalah perbandingan dengan luar Jawa. Banyak provinsi di luar Jawa belum mampu jadi pusat penyerapan tenaga kerja yang kuat. Artinya, ketimpangan ekonomi antarwilayah masih terasa, dan itu mendorong orang tetap mengalir ke Jawa.
Kalau diibaratkan medan magnet, Jawa punya daya tarik lebih besar dibanding daerah lain. Selama pusat industri, jasa, dan pendidikan masih banyak terkumpul di sini, arus migrasi sulit terbendung.
Komuter, Pahlawan Transportasi Harian
Selain migrasi permanen, laporan ini juga menyoroti fenomena mobilitas temporer alias mereka yang tidak pindah tempat tinggal, tapi rela menempuh perjalanan harian untuk bekerja. Komuter inilah yang sebenarnya jadi wajah nyata pekerja Indonesia di perkotaan.
Secara nasional, 5,2 persen pekerja Indonesia masuk kategori komuter. Angkanya lebih besar dibanding pekerja sirkuler (2,4 persen) yang bolak-balik tapi tidak setiap hari. Dan kalau dilihat per wilayah, mayoritas komuter terkonsentrasi di Jawa, terutama Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, serta DKI Jakarta.
Bayangkan jutaan orang yang setiap pagi menembus kemacetan atau berdesakan di KRL hanya untuk sampai di kantor di Jakarta, lalu sore atau malamnya kembali lagi ke rumah di Bekasi, Bogor, atau Tangerang. Hidup mereka seperti terikat dengan ritme transportasi. Bagi sebagian orang, ini pilihan rasional: biaya hidup di kota satelit lebih rendah, tapi peluang kerja lebih besar di Jakarta. Namun, konsekuensinya jelas: waktu perjalanan panjang, energi terkuras, dan kadang produktivitas menurun.
Fenomena komuter ini memperlihatkan bagaimana transportasi bukan sekadar urusan infrastruktur, tapi juga soal kualitas hidup. Semakin lancar akses transportasi, semakin mudah orang mencari kerja di luar daerah tempat tinggalnya.
Pendidikan, Tiket Masuk Dunia Kerja Formal
Hal menarik lain dari laporan ini adalah peran pendidikan. Data menunjukkan mayoritas pekerja migran risen punya pendidikan minimal SMA. Artinya, semakin tinggi pendidikan, semakin besar peluang seseorang untuk berani pindah demi pekerjaan yang lebih baik.
Di provinsi seperti DI Yogyakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah, lebih dari separuh pekerja migran sudah masuk ke sektor formal. Sebaliknya, di provinsi lain seperti Nusa Tenggara Barat atau Lampung, banyak migran justru terjebak di sektor informal. Perbedaan ini menggarisbawahi fakta sederhana: pendidikan bukan hanya menambah pengetahuan, tapi juga membuka pintu ke pekerjaan yang lebih aman, stabil, dan bergaji lebih layak.
Bagi pekerja dengan pendidikan rendah, mobilitas sering kali hanya berarti pindah dari satu kerentanan ke kerentanan lain. Dari pekerjaan serabutan di desa ke pekerjaan informal di kota, misalnya. Ada pergerakan, tapi tidak ada peningkatan kualitas hidup yang signifikan.
Pekerja Perempuan dan Dilema Mobilitas
Laporan juga menyinggung perbedaan gender dalam mobilitas. Pekerja perempuan cenderung lebih rentan keluar dari pekerjaan formal ke informal, atau bahkan berhenti sementara, karena harus menyesuaikan dengan tanggung jawab domestik.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di banyak negara lain. Bedanya, di Indonesia, keterbatasan akses childcare formal dan fleksibilitas kerja membuat perempuan sering kali terpaksa mundur ke belakang. Mobilitas mereka lebih banyak didorong kebutuhan rumah tangga daripada peluang karier.
Ini mengingatkan bahwa ketika bicara soal mobilitas tenaga kerja, kita tidak bisa sekadar melihat angka, tapi juga harus menyoroti pengalaman hidup kelompok tertentu yang punya beban lebih berat.
Mobilitas ke Luar Negeri, Antara Peluang dan Risiko
Sakernas 2024 juga mengupas soal pekerja yang punya pengalaman bekerja di luar negeri. Selama bertahun-tahun, Indonesia memang dikenal sebagai salah satu negara pengirim tenaga kerja terbesar ke Malaysia, Arab Saudi, Hong Kong, Singapura, dan sejumlah negara lain.
Bagi banyak keluarga, bekerja ke luar negeri adalah jalan pintas untuk keluar dari kemiskinan. Penghasilan yang didapat bisa jauh lebih besar dibanding pekerjaan serupa di dalam negeri. Namun, risiko juga tinggi: mulai dari eksploitasi, perlakuan diskriminatif, hingga persoalan hukum dan keamanan.
Mayoritas pekerja migran luar negeri berasal dari provinsi-provinsi dengan basis ekonomi lemah seperti NTB dan NTT. Ini menandakan bahwa mobilitas internasional masih jadi solusi darurat bagi daerah-daerah yang belum mampu menyediakan cukup lapangan kerja layak.
Mobilitas Nonspasial, Dari Formal ke Informal
Kalau mobilitas spasial bicara soal perpindahan antarwilayah, mobilitas nonspasial lebih fokus ke perpindahan antarpekerjaan atau status kerja. Di sini, datanya cukup menarik. Ada cukup banyak pekerja yang berpindah dari pekerjaan formal ke informal, atau sebaliknya.
Alasannya beragam. Ada yang karena kondisi ekonomi membuat perusahaan mengurangi pekerja formal, ada pula yang memilih fleksibilitas. Pekerja perempuan, misalnya, sering berpindah ke sektor informal karena bisa lebih mudah mengatur waktu dengan urusan rumah tangga.
Namun, pola ini mengindikasikan bahwa fleksibilitas pasar kerja kita sering kali dibayar dengan tingginya kerentanan. Tanpa perlindungan sosial yang kuat, mobilitas nonspasial berpotensi menjerumuskan pekerja ke kondisi lebih tidak pasti.
Mobilitas Bukan Sekadar Bergerak, Tapi Naik Kelas
Kalau dirangkum, laporan Sakernas 2024 memberi satu pesan penting, mobilitas tenaga kerja itu penting, tapi kualitas mobilitas jauh lebih krusial. Tidak cukup hanya bergerak dari desa ke kota, atau dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Yang lebih penting adalah apakah pergerakan itu membawa pekerja ke kondisi yang lebih baik—gaji lebih layak, pekerjaan lebih aman, atau keterampilan lebih tinggi.
Sayangnya, banyak mobilitas tenaga kerja kita masih bersifat horizontal, bukan vertikal. Artinya, pekerja memang pindah, tapi tetap berada di lingkaran pekerjaan informal dan upah rendah.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Ada beberapa poin yang bisa ditarik sebagai catatan kebijakan. Pertama, pemerintah perlu memperkuat sistem perlindungan sosial seperti jaminan kehilangan pekerjaan dan akses pelatihan ulang. Dengan begitu, pekerja yang berpindah tidak jatuh ke jurang ketidakpastian.
Kedua, perlu ada strategi serius membangun pusat pertumbuhan baru di luar Jawa. Selama ekonomi masih terlalu terkonsentrasi di Jawa, arus migrasi sulit dibendung. Pembangunan kawasan industri di Sumatera, Kalimantan, atau Sulawesi bisa menjadi jalan keluar.
Ketiga, pendidikan dan pelatihan vokasi harus lebih terarah. Kalau mayoritas pekerja migran yang sukses punya pendidikan SMA ke atas, artinya investasi di pendidikan jelas berkorelasi dengan mobilitas yang lebih baik.
Menatap ke Depan
Mobilitas tenaga kerja Indonesia dalam pusaran perubahan adalah gambaran nyata dari ekonomi yang sedang bertransformasi. Di satu sisi, ia membuka peluang lebih luas. Pekerja punya opsi lebih banyak, dari desa ke kota, dari sektor pertanian ke jasa, bahkan dari dalam negeri ke luar negeri. Namun, di sisi lain, mobilitas juga bisa berarti ketidakpastian baru, terutama kalau berpindah tanpa jaminan sosial dan keterampilan memadai.
Visi Indonesia Emas 2045 menargetkan kita jadi negara maju. Untuk mencapainya, mobilitas tenaga kerja harus diarahkan agar benar-benar menjadi tangga naik kelas, bukan sekadar lingkaran berpindah tempat. Dengan kata lain, setiap langkah kaki pekerja Indonesia, entah itu di jalan tol, jalur KRL, atau bandara internasional, harus membawa mereka lebih dekat pada kesejahteraan.