Starbucks

Starbucks Umumkan Kenaikan Gaji 2%

(Business Lounge – Global News) Keputusan Starbucks untuk menetapkan kenaikan gaji sebesar 2% bagi pekerja korporat menandai langkah penting perusahaan dalam menjaga stabilitas internal di tengah proses pemulihan bisnis yang penuh tantangan. Dalam sebuah pernyataan yang dikutip oleh Wall Street Journal, manajemen Starbucks menegaskan bahwa langkah ini merupakan bagian dari strategi jangka menengah untuk memastikan keseimbangan antara kepuasan karyawan dan kebutuhan efisiensi biaya. “Kami perlu mengelola dengan hati-hati seluruh biaya lain,” ujar salah satu eksekutif senior perusahaan, menegaskan bahwa setiap kenaikan gaji harus disertai dengan disiplin ketat dalam pengeluaran lainnya.

Kebijakan ini muncul di saat Starbucks sedang berada pada persimpangan penting dalam sejarahnya. Beberapa tahun terakhir, perusahaan menghadapi tekanan dari berbagai arah, mulai dari perubahan preferensi konsumen, peningkatan biaya operasional, persaingan yang semakin ketat, hingga ketidakpastian ekonomi global. Menurut laporan Bloomberg, meskipun Starbucks masih menjadi salah satu jaringan kopi terbesar di dunia dengan lebih dari 38.000 gerai, pertumbuhan laba dan penjualannya dalam beberapa kuartal terakhir tidak sekuat yang diharapkan.

Kenaikan gaji sebesar 2% mungkin terlihat moderat dibandingkan langkah perusahaan lain di sektor teknologi atau keuangan, tetapi dalam konteks Starbucks, hal ini memiliki makna strategis. Bagi perusahaan yang beroperasi dengan margin relatif ketat, setiap keputusan terkait kompensasi memiliki implikasi langsung terhadap struktur biaya keseluruhan. Seperti yang dilaporkan Reuters, Starbucks selama ini dikenal dengan upayanya menjaga citra sebagai tempat kerja yang memberikan manfaat dan dukungan lebih luas, terutama bagi barista dan pekerja lini depan. Namun, fokus kenaikan kali ini adalah pada pekerja korporat, sebuah langkah yang mencerminkan kebutuhan untuk mempertahankan bakat manajerial dan profesional di level strategis.

Keputusan ini juga bertepatan dengan pergantian strategi besar di bawah kepemimpinan CEO Laxman Narasimhan, yang mulai menjabat pada tahun 2023. Narasimhan, yang sebelumnya memimpin Reckitt, sebuah perusahaan barang konsumsi global, dikenal sebagai eksekutif yang disiplin dalam hal biaya sekaligus berorientasi pada pertumbuhan jangka panjang. Dalam wawancara dengan Financial Times, Narasimhan menegaskan bahwa Starbucks perlu mengembalikan fokus pada pengalaman pelanggan, inovasi produk, dan perbaikan efisiensi operasional.

Di Amerika Serikat, pasar terbesar Starbucks, perusahaan menghadapi dua tantangan utama: perlambatan pertumbuhan penjualan dan meningkatnya ketidakpuasan karyawan. Laporan dari CNBC menyoroti bahwa gerakan serikat pekerja yang semakin kuat di berbagai gerai telah menjadi faktor yang tidak bisa diabaikan. Walaupun kenaikan gaji 2% kali ini tidak ditujukan langsung pada barista yang berada di garis depan, keputusan ini dapat dilihat sebagai sinyal bahwa Starbucks mulai menguji keseimbangan baru dalam mengelola kompensasi pekerja di semua level.

Bagi para investor, kebijakan ini dipandang sebagai bagian dari strategi pemulihan yang lebih luas. Saham Starbucks telah mengalami fluktuasi dalam setahun terakhir, dengan penurunan harga yang signifikan akibat kekhawatiran tentang perlambatan ekonomi global, terutama di Tiongkok, yang merupakan pasar kunci bagi perusahaan. Bloomberg mencatat bahwa penjualan di Tiongkok, yang sebelumnya menjadi motor pertumbuhan Starbucks, justru mengalami perlambatan tajam setelah pandemi, akibat melemahnya daya beli konsumen dan meningkatnya persaingan dari jaringan kopi lokal.

Di sisi lain, pasar domestik AS sendiri sudah semakin jenuh. Dengan jumlah gerai yang begitu besar, pertumbuhan berbasis ekspansi gerai tidak lagi bisa diandalkan. Karena itu, fokus manajemen saat ini adalah mendorong pertumbuhan berbasis inovasi produk, efisiensi operasional, dan digitalisasi. Starbucks dalam beberapa tahun terakhir berinvestasi besar pada aplikasi mobile dan sistem loyalitas digitalnya, yang dilaporkan oleh Wall Street Journal kini menyumbang lebih dari 55% transaksi di Amerika Serikat.

Namun, semua inisiatif tersebut membutuhkan biaya besar, baik dalam bentuk investasi teknologi maupun sumber daya manusia. Di sinilah keputusan untuk memberikan kenaikan gaji yang relatif moderat dapat dilihat sebagai kompromi: cukup untuk mempertahankan moral dan loyalitas pekerja korporat, tetapi tidak terlalu membebani neraca perusahaan di tengah situasi keuangan yang masih penuh tekanan.

Pengamat pasar tenaga kerja menilai bahwa kenaikan gaji 2% berada di bawah tingkat inflasi di AS yang dalam dua tahun terakhir sempat mencapai 7% sebelum perlahan turun mendekati target Federal Reserve. Artinya, secara riil, pekerja korporat Starbucks mungkin tidak merasakan peningkatan daya beli yang signifikan dari kebijakan ini. Namun, menurut analis yang dikutip oleh CNBC, faktor psikologis dari adanya kenaikan tetaplah penting, terutama dalam iklim bisnis yang penuh ketidakpastian.

Dalam perspektif lebih luas, langkah Starbucks juga mencerminkan dilema klasik perusahaan global dalam mengelola sumber daya manusia: bagaimana menyeimbangkan kebutuhan untuk memberikan kompensasi yang kompetitif dengan tuntutan investor agar perusahaan tetap efisien. Kasus ini menjadi semakin menarik karena Starbucks bukan hanya sekadar perusahaan kopi, tetapi juga sebuah ikon budaya konsumsi global yang harus menjaga reputasi sosialnya.

Jika melihat kembali sejarahnya, Starbucks pernah dipuji karena menjadi pelopor dalam memberikan tunjangan kesehatan dan beasiswa bagi pekerjanya, sebuah langkah yang tidak lazim bagi industri makanan cepat saji pada era 1990-an dan 2000-an. Namun, dalam dekade terakhir, terutama dengan meningkatnya gerakan serikat pekerja, citra itu mulai dipertanyakan. Dengan memberikan kenaikan gaji yang terbatas kepada pekerja korporat, Starbucks harus menghadapi risiko munculnya persepsi ketidakadilan di antara pekerja lini depan yang menghadapi beban kerja lebih berat sehari-hari.

Di Tiongkok, situasi tidak kalah menantang. Menurut laporan Reuters, konsumen di negara tersebut kini memiliki banyak pilihan, dengan pemain lokal seperti Luckin Coffee yang tumbuh agresif dengan menawarkan harga lebih murah dan promosi digital yang masif. Starbucks, meski masih memiliki daya tarik premium, perlu menyesuaikan strateginya agar tidak kehilangan momentum di pasar yang diperkirakan akan tetap menjadi mesin pertumbuhan jangka panjang bagi industri kopi global.

Kebijakan kenaikan gaji ini pada akhirnya hanya satu bagian dari puzzle besar dalam strategi pemulihan Starbucks. Investor akan lebih banyak menilai pada kuartal mendatang apakah inisiatif pemotongan biaya, investasi digital, serta reposisi merek dapat menghasilkan pertumbuhan laba yang konsisten. Wall Street Journal mencatat bahwa para analis pasar masih terbagi: sebagian optimis bahwa kepemimpinan baru dapat membawa Starbucks kembali ke jalur pertumbuhan, sementara sebagian lain khawatir bahwa kombinasi biaya tinggi dan ketidakpastian permintaan akan terus membebani margin keuntungan perusahaan.

Dalam konteks global, langkah Starbucks ini juga mencerminkan tren yang lebih luas di kalangan perusahaan multinasional. Banyak perusahaan besar kini berusaha menahan kenaikan gaji sambil tetap mengirimkan sinyal positif kepada pekerja, karena mereka berada di bawah tekanan inflasi, biaya logistik, serta perubahan pola konsumsi pasca pandemi. Sebagaimana disoroti oleh Financial Times, perusahaan-perusahaan di sektor ritel dan makanan cepat saji kini berada pada “era disiplin biaya baru”, di mana setiap dolar yang dibelanjakan harus dikaitkan dengan dampak langsung pada profitabilitas.