(Business Lounge – Human Resources) Selama dekade terakhir, proses perekrutan telah mengalami transformasi besar. Wawancara daring, pengisian formulir digital, hingga tes keterampilan berbasis platform online menjadi hal yang umum. Namun, gelombang terbaru kemajuan artificial intelligence justru memaksa banyak perusahaan untuk kembali pada metode yang lebih klasik: wawancara tatap muka.
Berdasarkan laporan The Wall Street Journal, sejumlah perusahaan besar di Amerika Serikat, Eropa, dan Asia mulai memperketat prosedur rekrutmen, mengurangi porsi wawancara daring, dan mengutamakan pertemuan langsung antara kandidat dan perekrut. Langkah ini dipicu oleh meningkatnya kekhawatiran terhadap kecurangan yang dilakukan kandidat dengan bantuan teknologi AI, termasuk penggunaan deepfake voice, AI-driven chatbots untuk menjawab pertanyaan teknis secara real-time, atau bahkan sistem otomatis yang mampu menyelesaikan tes tertulis tanpa campur tangan manusia.
Di satu sisi, perkembangan AI memang mempercepat efisiensi proses rekrutmen. Perusahaan dapat memproses ratusan hingga ribuan pelamar dengan biaya yang lebih rendah. Namun, di sisi lain, teknologi ini juga membuka celah manipulasi yang merusak validitas penilaian terhadap keterampilan dan kepribadian kandidat. Menurut analisis yang dirilis oleh Gartner, lebih dari 22% perusahaan global melaporkan bahwa mereka menemukan indikasi kecurangan yang melibatkan teknologi AI dalam proses rekrutmen daring selama dua tahun terakhir.
Dari perspektif manajemen risiko, perubahan ini adalah respons alami terhadap ancaman yang semakin kompleks. HR leaders kini dihadapkan pada dilema: mempertahankan efisiensi digital atau memastikan integritas proses seleksi. Banyak yang akhirnya memilih hybrid approach, yaitu memanfaatkan AI untuk tahap penyaringan awal, tetapi memastikan tahap akhir dilakukan secara tatap muka.
Contohnya, sebuah perusahaan teknologi di Silicon Valley yang sebelumnya melakukan seluruh proses wawancara secara virtual, kini memberlakukan kebijakan wajib wawancara langsung untuk posisi-posisi strategis. Keputusan ini diambil setelah perusahaan menemukan kasus di mana kandidat yang lolos seleksi daring ternyata tidak mampu menunjukkan keterampilan teknis saat bekerja di lapangan. Situasi seperti ini menimbulkan kerugian waktu, biaya, dan reputasi yang signifikan.
Bagi manajemen, wawancara tatap muka memberikan keunggulan dalam menilai aspek soft skills yang sulit diukur oleh AI. Kontak mata, bahasa tubuh, spontanitas jawaban, dan emotional intelligence kandidat menjadi indikator penting yang sering hilang dalam format daring. Penilaian ini krusial, terutama untuk posisi yang membutuhkan kolaborasi intensif, kepemimpinan, dan pengambilan keputusan strategis.
Selain itu, ancaman keamanan siber juga menjadi pendorong penting kembalinya metode tatap muka. Wawancara daring rentan diretas atau dimanipulasi, terutama jika kandidat menggunakan koneksi publik atau perangkat tidak aman. Menurut laporan Cybersecurity Ventures, kerugian global akibat kejahatan siber diperkirakan mencapai USD 10,5 triliun pada 2025, dan sektor HR bukan pengecualian.
Namun, perubahan ini bukan tanpa tantangan. Perusahaan harus mengalokasikan anggaran tambahan untuk logistik wawancara tatap muka, mulai dari tiket perjalanan kandidat, akomodasi, hingga pengaturan waktu yang fleksibel. Di era di mana banyak karyawan bekerja jarak jauh, memaksa kandidat untuk hadir secara fisik juga dapat mempersempit basis talenta yang sebelumnya bisa direkrut dari berbagai lokasi.
Sebagai solusi, sebagian perusahaan mengadopsi model wawancara terpusat (assessment center), di mana kandidat dari berbagai daerah diundang pada hari tertentu untuk menjalani serangkaian tes dan wawancara langsung. Pendekatan ini dianggap efisien karena memungkinkan evaluasi multi-dimensi dalam satu kesempatan.
Bagi pelamar kerja, tren ini berarti mereka harus mempersiapkan diri secara lebih komprehensif. Tidak cukup hanya menguasai jawaban teknis atau memoles resume dengan bantuan AI, mereka juga harus melatih keterampilan interpersonal dan membangun kepercayaan diri dalam situasi tatap muka. Bahkan, kemampuan mengelola bahasa tubuh, mengatur intonasi suara, dan membaca situasi ruangan menjadi kunci keberhasilan.
Dari perspektif strategis, manajemen perlu menimbang bahwa transformasi ini adalah bagian dari siklus adaptasi teknologi. AI akan terus berkembang, dan begitu pula metode perekrutan. Perusahaan yang sukses adalah mereka yang mampu menggabungkan efisiensi teknologi dengan kedalaman penilaian manusia.
Harvard Business Review mencatat bahwa organisasi yang menyeimbangkan antara kecanggihan alat digital dan keterlibatan langsung manusia dalam proses seleksi cenderung memiliki tingkat retensi karyawan 15–20% lebih tinggi. Artinya, wawancara tatap muka bukanlah kemunduran, melainkan bagian dari strategi talent management yang lebih cerdas dan adaptif.
Kembalinya wawancara kerja tatap muka di era AI mencerminkan kebutuhan fundamental bisnis: memastikan bahwa orang yang direkrut benar-benar sesuai dengan peran dan budaya organisasi. Teknologi dapat membantu mempercepat proses, tetapi keputusan akhir tetap memerlukan sentuhan manusia yang autentik.
Perubahan ini mengirim pesan kuat ke seluruh ekosistem tenaga kerja: meskipun dunia bergerak ke arah otomatisasi dan remote work, kualitas interaksi langsung antara manusia masih menjadi fondasi dalam membangun tim yang solid dan berdaya saing tinggi.
Kalau kita tarik ke konteks Indonesia, tren kembalinya wawancara tatap muka akibat semakin luasnya penggunaan AI dalam proses rekrutmen mulai terlihat meskipun skalanya belum sebesar di Amerika Serikat atau Eropa. Perusahaan besar di sektor teknologi, perbankan, dan FMCG di Indonesia telah mulai memanfaatkan AI untuk penyaringan CV, penilaian tes daring, hingga wawancara video berbasis AI. Namun, kekhawatiran mulai muncul terkait akurasi penilaian dan potensi kecurangan, seperti kandidat yang menggunakan bantuan AI untuk menjawab pertanyaan atau bahkan meminta orang lain menggantikannya dalam tes daring.
Dari sisi regulasi, Indonesia memang belum memiliki aturan khusus yang mengatur penggunaan AI dalam rekrutmen, namun Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi memberi kerangka dasar untuk menjaga keamanan data kandidat. Meski begitu, tantangan tetap ada karena perusahaan perlu memastikan keaslian respons dan menilai keterampilan non-teknis kandidat—hal yang lebih efektif dilakukan secara langsung.
Kultur kerja di Indonesia juga memberi dorongan tersendiri. Interaksi tatap muka masih dianggap penting untuk membangun hubungan dan memahami kesesuaian budaya kerja atau culture fit. Banyak HRD menilai bahwa bahasa tubuh, ekspresi wajah, dan respons spontan kandidat lebih mudah dinilai ketika berhadapan langsung. Hal ini membuat wawancara tatap muka tetap relevan, terutama untuk posisi yang membutuhkan interaksi intensif atau kepemimpinan.
Di sisi lain, banyak perusahaan multinasional dan startup di Indonesia mulai memilih pendekatan hibrida. Tahap awal seperti penyaringan berkas dan tes keterampilan dilakukan secara daring, sementara tahap akhir tetap melibatkan pertemuan tatap muka. Model ini memberi keseimbangan antara efisiensi biaya dan kualitas seleksi, sekaligus mengurangi risiko bias atau kesalahan penilaian yang mungkin terjadi jika seluruh proses hanya mengandalkan teknologi.
Jika tren global terus bergerak ke arah ini, dalam dua hingga tiga tahun mendatang Indonesia kemungkinan akan melihat standar baru dalam proses rekrutmen. AI akan berfungsi sebagai penjaga gerbang awal, sementara keputusan akhir tetap diambil setelah evaluasi tatap muka. Pendekatan seperti ini juga bisa menjadi sarana bagi perusahaan untuk memperkuat citra mereka di mata kandidat, karena proses seleksi terasa lebih adil dan transparan.

