Estée Lauder

Estée Lauder Menata Ulang Strategi Digital Globalnya

(Business Lounge – Global News) Estée Lauder Companies tengah menjalani transformasi besar-besaran untuk mengejar ketertinggalannya dalam dunia digital. Selama bertahun-tahun, perusahaan kosmetik mewah ini dianggap lambat beradaptasi dengan perubahan perilaku konsumen yang beralih ke platform digital. Kini, di bawah kepemimpinan CEO baru Stéphane de La Faverie, perusahaan mengubah haluan dengan menunjuk Aude Gandon, mantan Chief Marketing Officer global dari Nestlé, sebagai Chief Digital and Marketing Officer pertama. Langkah ini menandai era baru bagi Estée Lauder yang ingin menjadi pemain dominan di dunia kecantikan digital.

Langkah Estée Lauder ini merupakan pengakuan atas pentingnya kanal online dalam membentuk keputusan pembelian konsumen, terutama generasi muda yang lebih responsif terhadap kampanye sosial media, personalisasi berbasis data, dan pengalaman belanja digital yang mulus. Menurut laporan The Wall Street Journal, transformasi ini melibatkan investasi besar-besaran dalam kecerdasan buatan, integrasi data pelanggan, serta pengembangan pengalaman omnichannel yang menggabungkan toko fisik dengan kehadiran digital secara menyeluruh. Stéphane de La Faverie menekankan bahwa masa depan industri kecantikan bukan lagi terpecah antara online dan offline, tetapi justru melebur menjadi satu ekosistem konsumen yang terintegrasi.

Penunjukan Aude Gandon bukan sekadar perubahan struktural. Ia membawa pengalaman luas dari Nestlé, di mana ia memimpin transformasi digital untuk lebih dari dua ribu merek dan 188 pasar. Di sana, ia membangun kemitraan strategis dengan raksasa teknologi seperti Google, Amazon, Netflix, dan Meta. Gandon dikenal sebagai arsitek strategi digital yang tidak hanya fokus pada penjualan, tetapi juga membangun narasi merek yang kuat dan relevan secara budaya. Di Estée Lauder, ia akan mengawasi seluruh aspek pemasaran, e-commerce, desain toko, serta strategi pengalaman pelanggan yang lebih terpersonalisasi.

Transformasi ini datang di saat krusial. Estée Lauder mencatat penurunan penjualan dalam beberapa kuartal terakhir, terutama di pasar Asia, termasuk Cina, yang sebelumnya menjadi tumpuan pertumbuhan. Di tengah pemulihan ekonomi global yang belum merata, perusahaan juga terpaksa memangkas hingga 7.000 posisi sebagai bagian dari restrukturisasi. Menurut laporan CNBC, lini produk seperti Clinique dan Aveda mengalami tekanan penjualan yang cukup signifikan, sementara permintaan terhadap masker wajah dan produk perawatan kulit lain turun tajam sejak pandemi mereda. Strategi digital yang lemah menjadi salah satu alasan perusahaan kehilangan momentum pertumbuhan, terutama dibandingkan pesaing seperti L’Oréal dan Shiseido yang lebih agresif berinovasi secara digital.

Namun, melalui strategi “Beauty Reimagined”, de La Faverie berupaya menghidupkan kembali daya tarik merek dengan mengintegrasikan data konsumen secara real-time, mempercepat peluncuran produk baru berdasarkan tren sosial media, dan memperkuat fitur seperti Virtual Foundation Tool yang memungkinkan konsumen menemukan warna foundation yang tepat secara online. Teknologi ini diperkenalkan di Amazon Premium Beauty sebagai bagian dari upaya memperluas distribusi digital dan menghadirkan pengalaman yang lebih intuitif bagi pembeli. Dengan teknologi seperti ini, konsumen dapat mencoba produk secara virtual sebelum membelinya, memperkuat kepercayaan terhadap merek dan meningkatkan konversi penjualan.

Perusahaan juga berupaya mempertahankan eksklusivitas merek-merek unggulan seperti MAC, Tom Ford, La Mer, dan Bumble & Bumble sambil memperluas jangkauan digital mereka. De La Faverie mengungkapkan bahwa keberhasilan transformasi tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga pada kemampuan perusahaan memahami budaya konsumen dan menciptakan pengalaman emosional yang kuat melalui interaksi digital. Oleh karena itu, pendekatan yang diambil tidak sekadar berfokus pada e-commerce, melainkan menyeluruh—melibatkan personalisasi, storytelling, dan koneksi sosial yang memperkuat loyalitas pelanggan.

Dalam lanskap kecantikan yang sangat kompetitif, kecepatan dan kelincahan adalah kunci. Estée Lauder, yang selama ini dikenal konservatif dalam ekspansi digital, kini tampaknya berupaya mengejar ketertinggalan dengan strategi yang menyeluruh dan berani. Seperti dicatat dalam Adweek dan HAPPI, penunjukan Gandon juga menjadi simbol perubahan budaya di dalam perusahaan, yaitu pergeseran dari model pemasaran tradisional ke model yang lebih dinamis, digital-native, dan berbasis data. Gandon akan bertanggung jawab membangun infrastruktur pemasaran yang mampu membaca tren lebih cepat dan merespons preferensi konsumen yang terus berubah.

Yang menarik, transformasi ini tidak hanya bertujuan mengejar para pesaing, tetapi juga membentuk arah baru industri. Estée Lauder menempatkan dirinya sebagai pemain yang ingin membentuk kembali masa depan kecantikan melalui teknologi, kolaborasi lintas sektor, dan pemahaman mendalam tentang perilaku konsumen digital. Misi ini tidak mudah, namun jika berhasil, perusahaan bisa mengukir ulang narasi globalnya sebagai inovator, bukan sekadar pengikut.

Seiring pergeseran konsumen ke dunia maya terus menguat, langkah Estée Lauder ini menjadi cermin dari perubahan besar dalam industri kecantikan. Perusahaan yang mampu memadukan keunggulan produk dengan kecanggihan teknologi dan pemahaman kultural akan menjadi pemimpin baru di panggung global. Di tengah turbulensi pasar, Estée Lauder memilih untuk bertransformasi total—bukan hanya dalam struktur organisasi, tetapi juga dalam cara berpikir, merancang, dan menjangkau dunia.