(Business Lounge – Global News) Ketidakpastian kebijakan perdagangan Amerika Serikat terhadap China terus menciptakan ketegangan bagi pelaku industri, dan salah satu contoh paling mencolok muncul dari American Outdoor Brands. Perusahaan produsen perlengkapan luar ruang ini telah bertahun-tahun mengandalkan China sebagai pusat manufakturnya, tetapi dalam beberapa bulan terakhir rencana untuk memindahkan sebagian besar produksinya dari negeri itu tertahan di tengah kebingungan soal tarif impor yang belum juga jelas. Situasi ini mencerminkan realitas sulit yang dihadapi banyak produsen Amerika: kebutuhan untuk beradaptasi dengan perubahan geopolitik yang cepat, tanpa kejelasan tentang arah kebijakan.
Hampir 80 persen dari semua produk American Outdoor Brands, termasuk alat pancing, aksesori senapan, dan bahkan oven pizza, masih diproduksi di China. Ketika pemerintahan Trump mengumumkan rencana untuk mengenakan tarif baru terhadap barang-barang buatan China pada awal Juli, manajemen perusahaan segera menyusun rencana untuk memindahkan produksi ke negara-negara alternatif seperti Vietnam, Thailand, Indonesia, dan Kamboja. Namun, perubahan mendadak dalam penjadwalan—penundaan pemberlakuan tarif hingga 1 Agustus—membuat strategi tersebut terhenti. Perusahaan enggan mengambil risiko relokasi tanpa mengetahui apakah tarif benar-benar akan diberlakukan dan dalam bentuk apa.
CFO Andy Fulmer menjelaskan bahwa perusahaan telah mengkaji secara rinci kategori produk mana yang akan dialihkan ke masing-masing negara alternatif. Namun tanpa kejelasan tarif akhir, setiap langkah konkret akan membawa risiko besar. Pengalaman masa lalu menjadi pelajaran: pada 2020, ketika perusahaan memindahkan sebagian produksi ke Vietnam, mereka justru terkena tarif antidumping tambahan sebesar 46 persen. Pelajaran itu membuat manajemen lebih hati-hati kali ini. Satu keputusan relokasi yang terburu-buru bisa berakibat fatal, bukan hanya secara finansial, tetapi juga dari segi rantai pasok dan komitmen jangka panjang dengan mitra produksi.
Dampak ketidakpastian ini terasa langsung pada laporan keuangan perusahaan. Dalam kuartal yang berakhir 30 April lalu, American Outdoor Brands mencatatkan penjualan sebesar $61,9 juta, tertinggi dalam tiga tahun terakhir. Namun, proyeksi penjualan untuk tahun fiskal 2026 ditarik kembali karena perusahaan tidak ingin membuat estimasi tanpa dasar tarif yang pasti. Di sisi lain, untuk menjaga margin keuntungan di tengah lonjakan biaya, perusahaan telah menaikkan harga produk dan melakukan renegosiasi dengan pemasok guna membagi beban tarif yang sudah berlaku. Tetapi langkah-langkah ini bersifat sementara, dan jelas bukan solusi jangka panjang.
American Outdoor Brands bukan satu-satunya perusahaan yang berada dalam limbo perdagangan ini. Banyak pemain besar lain di sektor serupa juga menghadapi dilema yang sama. Columbia Sportswear, Floor & Decor, serta berbagai merek peralatan luar ruang lainnya mencoba mencari jalur alternatif untuk mengurangi ketergantungan pada China. Namun mereka pun menghadapi tantangan yang sama: infrastruktur manufaktur di luar China belum siap sepenuhnya, tenaga kerja belum terampil pada skala yang dibutuhkan, dan biaya awal untuk mendirikan pabrik baru sangat tinggi. Tanpa kepastian tarif, semua langkah strategis menjadi perjudian yang mahal.
Lebih jauh, kasus ini menggarisbawahi kesulitan struktural dalam memutuskan ketergantungan manufaktur global terhadap China. Selama lebih dari dua dekade, perusahaan-perusahaan AS membangun hubungan logistik, finansial, dan budaya bisnis yang dalam dengan produsen China. Memutuskan hubungan itu, meskipun secara politik dianggap penting, dalam praktiknya jauh lebih rumit. Bahkan ketika perusahaan memiliki keinginan kuat untuk memindahkan produksi, mereka harus melakukannya dalam kerangka waktu bertahun-tahun, bukan hitungan bulan.
Relokasi global juga tidak menjamin stabilitas. Negara-negara tujuan seperti Vietnam dan Kamboja bisa menjadi sasaran tarif berikutnya jika dinamika politik kembali berubah. Oleh karena itu, perusahaan berada dalam posisi yang sangat tidak pasti, di mana satu pengumuman presiden bisa membatalkan seluruh strategi investasi yang sudah disiapkan dengan cermat. Ini menjadikan dunia bisnis sangat rentan terhadap fluktuasi kebijakan yang sering kali berubah berdasarkan pertimbangan politik jangka pendek.
Dalam konteks inilah, American Outdoor Brands menahan diri. Mereka tidak ingin tergesa-gesa seperti saat pandemi, ketika banyak perusahaan terburu-buru mengalihkan produksi dan kemudian menghadapi konsekuensi tak terduga. Hingga pemerintah benar-benar mengumumkan bentuk final dari tarif baru dan tanggal pasti pemberlakuannya, manajemen memilih untuk bersabar. Mereka tetap menjalankan bisnis dengan menyesuaikan harga, memperkuat relasi dengan pemasok, dan mempersiapkan rencana cadangan untuk berbagai kemungkinan.
Kisah American Outdoor Brands menjadi cermin dari tantangan yang lebih luas yang dihadapi sektor manufaktur AS saat ini. Ketika geopolitik dan perdagangan menjadi semakin terpolitisasi, perusahaan-perusahaan dipaksa untuk merespons dengan strategi yang fleksibel namun tetap disiplin secara finansial. Tanpa adanya arah kebijakan yang konsisten dari pemerintah, keputusan bisnis akan selalu dibayangi ketidakpastian. Dan dalam dunia produksi global yang saling terhubung seperti saat ini, ketidakpastian tersebut bisa berarti perbedaan antara pertumbuhan dan stagnasi, antara keberhasilan strategis dan kegagalan investasi.
Sementara banyak pejabat pemerintah menyuarakan keinginan untuk membawa kembali manufaktur ke Amerika atau memindahkannya ke sekutu yang lebih dekat, kenyataannya menunjukkan bahwa dunia usaha membutuhkan lebih dari sekadar retorika. Mereka membutuhkan kepastian, stabilitas kebijakan, dan insentif jangka panjang agar bisa membuat keputusan yang benar-benar strategis. Hingga itu tercapai, perusahaan seperti American Outdoor Brands akan terus berada dalam ketidakpastian yang memperlambat setiap langkah mereka.