plastik

Konsumen Mulai Menjauh dari Kemasan Plastik

(Business Lounge – Entrepreneurship) Perlahan tapi pasti, konsumen mulai menunjukkan ketidaksukaan yang nyata terhadap kemasan berbahan plastik sekali pakai. Sebuah survei terbaru yang dilakukan di Amerika Serikat dan Kanada menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga responden menyatakan pernah membatalkan keputusan pembelian karena produk dikemas dalam bahan yang dianggap tidak ramah lingkungan, seperti plastik.

Temuan ini mencerminkan perubahan sikap konsumen terhadap isu keberlanjutan yang kian menguat dalam beberapa tahun terakhir, terutama di kalangan generasi muda. Menurut laporan The Wall Street Journal, survei yang dilakukan oleh Trivium Packaging dan Boston Consulting Group terhadap lebih dari 10.000 orang dewasa menunjukkan bahwa kesadaran akan dampak lingkungan dari plastik telah meluas dan mulai memengaruhi perilaku belanja sehari-hari.

Lebih dari 82% responden mengatakan mereka bersedia membayar lebih untuk produk dengan kemasan yang berkelanjutan, naik dari 70% dua tahun lalu. Bahkan di kalangan konsumen Gen Z dan milenial, angka tersebut bisa melampaui 90%. Tren ini tampak mencolok mengingat banyak dari mereka menghadapi tekanan ekonomi seperti inflasi dan tingginya harga kebutuhan pokok. Namun preferensi mereka tetap condong pada produk yang lebih ramah lingkungan, meskipun harganya lebih mahal.

Di sisi lain, perusahaan-perusahaan besar mulai menyadari tekanan ini. Banyak dari mereka mengumumkan target ambisius untuk mengurangi jejak karbon dan limbah plastik. Nestlé, Unilever, dan Procter & Gamble misalnya, telah meluncurkan inisiatif untuk mendesain ulang kemasan dengan menggunakan bahan daur ulang atau alternatif berbasis tanaman. Beberapa juga mengadopsi sistem isi ulang dan kemasan yang bisa digunakan kembali.

Namun seperti dilaporkan Reuters, peralihan ke kemasan berkelanjutan tidak semudah membalik telapak tangan. Tantangan utama terletak pada biaya dan infrastruktur. Kemasan berbasis aluminium, kaca, atau bahan daur ulang sering kali lebih mahal dan tidak selalu tersedia dalam skala besar. Selain itu, sistem logistik dan daur ulang yang mendukung belum seragam di semua wilayah, bahkan di negara maju seperti AS dan Kanada.

Industri ritel juga berada dalam posisi sulit. Di satu sisi, mereka harus menanggapi permintaan konsumen akan produk yang lebih berkelanjutan. Di sisi lain, mereka juga dihadapkan pada kenyataan bahwa penghapusan kemasan plastik secara menyeluruh bisa berdampak pada margin keuntungan dan efisiensi distribusi. Banyak produk makanan dan minuman, misalnya, sangat bergantung pada plastik karena daya tahan dan keamanannya.

Menurut para ahli yang dikutip oleh Bloomberg, perusahaan harus berhati-hati agar upaya mereka tidak sekadar menjadi strategi pencitraan atau “greenwashing.” Konsumen kini semakin cerdas dalam memilah mana upaya yang tulus dan mana yang hanya sebatas klaim pemasaran. Transparansi dalam rantai pasok dan pelaporan kemajuan secara rutin menjadi kunci membangun kepercayaan.

Di Indonesia sendiri, meskipun belum ada survei berskala besar yang setara, tren serupa mulai terlihat. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bali telah melarang penggunaan kantong plastik sekali pakai di ritel modern. Beberapa startup lokal dan UKM mulai menawarkan produk dalam kemasan alternatif seperti kantong singkong, kemasan kertas, atau botol kaca. Supermarket tertentu bahkan mulai menyediakan stasiun isi ulang untuk produk rumah tangga.

Namun hambatan masih besar. Infrastruktur pengolahan sampah yang tidak merata, minimnya edukasi konsumen, serta belum adanya insentif fiskal dari pemerintah bagi pelaku usaha menjadi tantangan serius bagi transisi ini. Dalam banyak kasus, harga produk dalam kemasan berkelanjutan juga masih lebih tinggi dibandingkan versi konvensional, membuatnya sulit dijangkau oleh sebagian besar konsumen kelas menengah ke bawah.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sendiri telah menerbitkan regulasi tentang tanggung jawab produsen dalam pengelolaan sampah, namun pelaksanaannya masih terbatas. Beberapa inisiatif seperti Extended Producer Responsibility (EPR) dan ekosistem daur ulang masih dalam tahap awal. Diperlukan kolaborasi lebih erat antara regulator, pelaku industri, dan konsumen untuk mempercepat perubahan sistemik.

Kembali ke survei Trivium, ada satu fakta menarik: meskipun sebagian besar konsumen menyatakan kepedulian terhadap kemasan berkelanjutan, hanya sekitar 28% yang secara aktif memilih produk berdasarkan faktor tersebut. Artinya, meskipun kesadaran meningkat, perilaku nyata belum sepenuhnya mengikuti. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan kebiasaan konsumen masih membutuhkan dorongan struktural—baik melalui edukasi, insentif harga, maupun regulasi yang mendukung.

Para analis memprediksi bahwa kemasan berkelanjutan akan menjadi salah satu medan persaingan utama dalam lanskap merek global ke depan. Perusahaan yang mampu menawarkan solusi kemasan yang ramah lingkungan, terjangkau, dan fungsional akan memiliki keunggulan kompetitif di mata konsumen masa depan yang makin sadar iklim. Perubahan ini tidak hanya soal menyelamatkan lingkungan, tapi juga tentang masa depan reputasi dan loyalitas merek.

Dengan tekanan dari konsumen, investor, dan regulator yang terus meningkat, kemasan plastik tampaknya tak lagi memiliki masa depan jangka panjang di pasar global. Perubahan mungkin berjalan lambat, namun arah anginnya kini semakin jelas, dunia belanja yang tidak lagi dibungkus plastik sedang dalam perjalanan.

Di beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bali, pemerintah daerah telah menerapkan larangan penggunaan kantong plastik sekali pakai di pusat perbelanjaan modern sejak 2019–2020. Aturan ini mendorong ritel besar seperti Alfamart, Indomaret, dan Transmart untuk beralih ke kantong belanja berbahan daur ulang atau mengajak konsumen membawa tas belanja sendiri. Namun kebijakan ini belum merata ke seluruh Indonesia dan umumnya belum mencakup pasar tradisional, toko kelontong, dan sektor informal.

Menurut data KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), Indonesia menghasilkan sekitar 68 juta ton sampah per tahun, dan sekitar 17% di antaranya adalah sampah plastik. Dari jumlah itu, sebagian besar berasal dari kemasan sekali pakai—baik untuk makanan, minuman, maupun produk konsumen lainnya. Sistem pengumpulan dan daur ulang masih sangat terbatas. Hanya sekitar 11–12% sampah plastik yang berhasil didaur ulang, sisanya berakhir di TPA atau mencemari lingkungan.

Di sisi industri, beberapa perusahaan mulai mengambil langkah. Misalnya:

  • Danone Indonesia melalui Aqua telah menjalankan program Bijak Berplastik, memproduksi botol dari plastik daur ulang dan membangun pusat pengumpulan sampah.

  • Unilever Indonesia bekerja sama dengan startup pengelola sampah seperti Waste4Change untuk meningkatkan sistem daur ulang dan menawarkan isi ulang produk rumah tangga.

  • Indofood dan Wings Group mulai bereksperimen dengan kemasan sachet berbahan biodegradable, meski skalanya masih kecil.

Sektor ritel juga ikut berinovasi. Beberapa supermarket seperti The Bulkstore & Co., Green Habit, dan Saruga di Jakarta sudah menerapkan sistem isi ulang (refill station) untuk produk seperti sabun, sampo, dan bumbu dapur. Gerakan “tanpa kemasan” ini makin populer di kalangan konsumen sadar lingkungan, tetapi belum menjangkau pasar massal karena keterbatasan harga dan akses.

Namun realitasnya, sebagian besar konsumen Indonesia masih mengutamakan harga dan kenyamanan dibanding keberlanjutan. Produk dalam kemasan plastik—terutama sachet—masih dominan karena murah dan praktis, khususnya di kalangan masyarakat berpendapatan rendah. Ini menjadi tantangan besar bagi produsen, karena alternatif kemasan yang ramah lingkungan seperti kaca, logam, atau bioplastik masih lebih mahal.

Salah satu solusi potensial adalah sistem insentif dan tanggung jawab produsen. Indonesia sebenarnya sudah memiliki peraturan tentang Extended Producer Responsibility (EPR), di mana produsen diwajibkan mengelola limbah produk mereka sendiri. Namun pelaksanaannya masih minim, dan belum semua perusahaan patuh. Selain itu, belum ada sistem pengawasan dan sanksi yang memadai.

Dari sisi konsumen, gerakan-gerakan lokal seperti Diet Kantong Plastik, Zero Waste Indonesia, dan kampanye #BijakBerplastik terus mendorong perubahan perilaku. Banyak generasi muda kini mulai membawa botol minum sendiri, menolak sedotan plastik, atau memilih produk dengan kemasan yang dapat didaur ulang. Perubahan kecil ini lambat, tapi penting sebagai awal pergeseran budaya konsumsi.

Pemerintah pusat melalui KLHK menargetkan pengurangan sampah plastik laut sebesar 70% pada 2025, namun target ini masih jauh dari tercapai. Tanpa intervensi lebih agresif seperti insentif fiskal bagi produsen yang menggunakan kemasan ramah lingkungan, subsidi untuk infrastruktur daur ulang, dan edukasi publik yang lebih masif, kemasan plastik sekali pakai masih akan mendominasi pasar Indonesia.

Singkatnya, Indonesia sudah berada di jalur yang sama dengan tren global dalam mengurangi ketergantungan pada plastik. Tapi kecepatannya tertahan oleh faktor ekonomi, logistik, dan kebijakan yang belum menyeluruh. Untuk benar-benar menciptakan pasar yang menghargai keberlanjutan, dibutuhkan dorongan sistemik—dari regulator, bisnis, hingga konsumen. Dan meski jalan menuju “bebas plastik” masih panjang, kesadaran yang tumbuh saat ini menjadi fondasi penting untuk perubahan yang lebih besar di masa depan.