(Business Lounge – Entrepreneursip) Pada masa ketika sebagian besar kantor di dunia masih sunyi dan hanya menyisakan suara pendingin ruangan, ada satu industri yang tiarap dan nyaris tak bersuara – katering korporat. Tanpa acara, tanpa rapat fisik, dan tanpa pertemuan tatap muka, perusahaan penyedia makanan untuk kebutuhan perusahaan kehilangan sumber nafkah utama mereka. Namun kini, setelah bertahun-tahun budaya kerja dari rumah menjadi norma, dunia kerja perlahan berubah arah lagi—dan para pelaku bisnis katering siap menyambutnya dengan tangan terbuka.
The Wall Street Journal melaporkan bahwa perusahaan-perusahaan katering di Amerika Serikat saat ini melihat gelombang permintaan baru yang menjanjikan, seiring dorongan dari berbagai perusahaan besar untuk mengembalikan karyawan mereka ke kantor. Fenomena ini bukan hanya kabar baik bagi HR dan pengelola properti kantor, tetapi juga menjadi penyelamat bagi ribuan bisnis katering yang sempat berjuang bertahan hidup selama pandemi.
EzCater, sebuah platform teknologi yang menghubungkan perusahaan dengan vendor katering di seluruh Amerika, mencatat lonjakan pemesanan yang signifikan sepanjang 2023 hingga paruh pertama 2024. CEO-nya, Stefania Mallett, menyebut bahwa pesanan katering untuk makan siang tim dan acara kantor kini hampir kembali ke tingkat pra-pandemi. Mallett menambahkan bahwa “makanan kini menjadi insentif nyata untuk membuat karyawan kembali datang ke kantor”
Pandemi dan Masa Kelam Katering Kantor
Pada tahun 2020, saat lockdown diberlakukan secara global, industri makanan dan minuman mengalami tekanan yang luar biasa. Data dari National Restaurant Association menunjukkan lebih dari 110.000 restoran dan penyedia layanan makanan di AS tutup secara permanen atau untuk jangka waktu panjang. Perusahaan katering yang sebelumnya mengandalkan kantor sebagai klien utama, seperti Feastly, ZeroCater, dan Platterz, mengalami penurunan omzet hingga 80 persen.
Sektor ini tidak hanya kehilangan pelanggan, tetapi juga kehilangan visibilitas. Sebab, tidak seperti restoran yang bisa beralih ke layanan pesan antar, bisnis katering korporat sangat bergantung pada acara kolektif. Konferensi, pelatihan, ulang tahun perusahaan, atau sekadar makan siang tim tidak lagi relevan ketika semua karyawan bekerja dari rumah.
Banyak yang mencoba bertahan dengan melakukan pivot menjual makanan beku, membuka layanan ke rumah tangga, atau memproduksi makanan kemasan. Namun hanya sedikit yang mampu bertahan dengan skala operasional besar. Ketika kantor-kantor mulai dibuka kembali secara bertahap pada akhir 2021 dan awal 2022, harapan baru mulai muncul meski dalam jumlah terbatas.
Kantor dan Strategi Makanan sebagai Magnet Sosial
Tahun 2023 menjadi titik balik. Saat perusahaan teknologi seperti Amazon, Meta, dan Google mulai mewajibkan sistem kerja hybrid (minimal tiga hari di kantor), permintaan katering ikut meningkat. Bukan semata untuk konsumsi, melainkan sebagai bagian dari strategi retensi dan keterlibatan karyawan.
Sebuah studi yang diterbitkan oleh SHRM (Society for Human Resource Management) menyatakan bahwa 47 persen manajer HR di AS menggunakan makanan gratis sebagai insentif bagi karyawan untuk datang ke kantor. Studi tersebut juga menunjukkan bahwa karyawan yang diberi makanan cenderung melaporkan tingkat kepuasan dan loyalitas yang lebih tinggi terhadap perusahaan.
“Makanan adalah bentuk komunikasi tak langsung antara perusahaan dan karyawan,” ujar analis tempat kerja dari CBRE kepada Bloomberg. “Memberikan makan siang bukan hanya soal logistik, tapi juga sinyal Anda dihargai”
Pola konsumsi pun berubah. Perusahaan kini tidak hanya memesan dalam jumlah besar untuk satu menu tunggal, tetapi mencari variasi, fleksibilitas, dan kepekaan terhadap pilihan gaya hidup. Permintaan terhadap menu vegetarian, vegan, bebas gluten, atau plant-based meningkat signifikan. Katering juga dituntut memiliki sertifikasi kesehatan yang lebih ketat pasca-Covid.
Katering Korporat dalam Era Hybrid dan Adaptasi Teknologi
Namun lonjakan permintaan tidak serta-merta memudahkan segalanya. Struktur kerja hybrid menimbulkan tantangan baru fluktuasi kehadiran karyawan yang sulit diprediksi. Pada hari-hari tertentu seperti Selasa dan Rabu, kantor bisa penuh sesak; namun pada Jumat, hampir kosong. Bagi penyedia katering, ini berarti pesanan menjadi sangat variatif dan tidak bisa lagi dirancang mingguan seperti sebelumnya.
Untuk menjawab masalah ini, teknologi menjadi solusi. EzCater, Forkable, dan Relish adalah contoh perusahaan yang mengembangkan algoritma prediktif untuk membantu perusahaan merencanakan pesanan makanan berdasarkan data kehadiran karyawan, cuaca, hari libur, dan jenis acara internal. Sistem ini membantu menghindari limbah makanan dan memastikan pengalaman makan tetap optimal.
Beberapa perusahaan juga menerapkan model virtual food court—platform digital di mana karyawan dapat memilih makanan dari berbagai vendor lokal, yang kemudian dikonsolidasikan dan dikirim bersama ke kantor. Model ini memudahkan logistik dan memberi karyawan lebih banyak pilihan tanpa menyulitkan tim procurement.
Tren Global Asia dan Eropa Mengikuti
Tren serupa juga muncul di Eropa dan Asia. Di Inggris, City Pantry (bagian dari Just Eat) melaporkan pertumbuhan 70 persen dalam pemesanan katering kantor pada semester pertama 2024. Di Jerman dan Prancis, perusahaan seperti Smunch dan Foodji menciptakan konsep kantin digital, di mana karyawan memesan dari aplikasi dan mengambil makanan di vending machine kantor yang diisi tiap pagi oleh vendor lokal.
Singapura menjadi pasar dinamis di Asia Tenggara. Grain dan WhyQ mencatatkan pertumbuhan dua digit dalam layanan katering berbasis perusahaan. Model langganan mingguan menjadi populer di kalangan startup dan perusahaan teknologi, yang ingin menyederhanakan proses sambil tetap memberikan pengalaman makan yang menyenangkan dan sehat.
Indonesia tidak tertinggal. Penyedia layanan seperti Yummybox, Gorry Gourmet, dan NasiKotakExpress mulai menawarkan paket kantor yang fleksibel, termasuk langganan harian dan mingguan untuk perusahaan yang menerapkan hybrid. Beberapa kantor bahkan menggunakan makanan sebagai benefit yang dibukukan sebagai tunjangan dalam slip gaji.
Laporan Euromonitor International menyebut bahwa pasar katering kantor di Asia Tenggara diproyeksikan tumbuh 5,6 persen per tahun hingga 2027, didorong oleh pertumbuhan sektor jasa, teknologi, dan coworking space.
Makanan Sebagai Budaya Kerja
Makanan bukan hanya soal kebutuhan fisik, melainkan juga cerminan budaya organisasi. Makan siang bersama menciptakan ruang informal yang memperkuat komunikasi, mengurangi isolasi, dan meningkatkan kolaborasi. Setelah bertahun-tahun interaksi terbatas pada kotak Zoom dan Slack, karyawan menginginkan koneksi nyata—dan makanan menjadi mediumnya.
Menurut Harvard Business Review, perusahaan yang merancang ulang pengalaman kantor dengan pendekatan hospitality—termasuk menghadirkan chef, dapur terbuka, dan rotasi menu mingguan—mampu meningkatkan tingkat kehadiran kantor secara signifikan. Beberapa perusahaan bahkan menyewa restoran lokal untuk membuka pop-up di lobi kantor sebagai bagian dari inisiatif employee experience.
CEO dari Relish menyebut tren ini sebagai keramahtamahan perusahaan (corporate hospitality)—di mana kantor tidak hanya berfungsi sebagai tempat kerja, tetapi juga sebagai pusat komunitas internal.
Bagaimana Indonesia?
Di Indonesia, tren pemulihan industri katering juga mulai terlihat, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Seiring lebih banyak perusahaan kembali ke kantor secara bertahap, permintaan terhadap layanan katering korporat menunjukkan kenaikan moderat sejak pertengahan 2023. Penyedia jasa seperti Gorry Gourmet, Yummybox, dan Nasi Kotak Express mencatat peningkatan volume pesanan dari segmen bisnis, terutama untuk paket makan siang dan snack box rapat.
Model langganan mingguan dan pemesanan fleksibel berbasis aplikasi mulai diadopsi oleh perusahaan startup, agensi digital, hingga lembaga keuangan yang ingin menjaga semangat tim tanpa mengabaikan efisiensi. Beberapa gedung perkantoran juga mulai menyediakan food court internal yang bekerja sama dengan vendor katering, memungkinkan tenant memesan makanan untuk seluruh divisi melalui satu platform digital.
Selain itu, ada kecenderungan perusahaan menggunakan makanan sebagai bentuk tunjangan non-gaji. Di beberapa perusahaan teknologi, makan siang gratis atau bersubsidi menjadi fasilitas standar dalam upaya meningkatkan retensi karyawan. Dengan biaya logistik yang kompetitif dan preferensi lokal terhadap makanan yang beragam, pelaku katering di Indonesia melihat peluang tumbuh bukan hanya dari volume, tetapi juga dari kemampuan mereka menyajikan menu yang relevan secara budaya dan fleksibel secara operasional.
Dengan dukungan ekosistem digital dan kebiasaan sosial masyarakat Indonesia yang menjadikan makan bersama sebagai bentuk interaksi utama, potensi pertumbuhan industri katering korporat dalam negeri diyakini akan berlanjut, terutama di tengah tren kembali ke kantor yang semakin nyata di tahun 2025.
Kantor Karyawan dan Makan Siang yang Tak Lagi Biasa
Pemulihan industri katering korporat bukan hanya cerita bisnis biasa. Ini adalah refleksi dari bagaimana dunia kerja sedang mencari keseimbangan baru. Ketika karyawan tidak lagi wajib datang setiap hari, kantor harus memberikan alasan emosional untuk tetap relevan. Makanan, yang selama ini mungkin dipandang remeh, kini tampil sebagai alat strategis untuk menciptakan pengalaman kerja yang hangat dan berkesan.
Sebagaimana digambarkan oleh The Wall Street Journal, katering tidak hanya ingin kembali ke kantor—mereka membutuhkan kantor untuk bisa bertahan. Namun di balik logistik, invoice, dan dapur yang sibuk, ada nilai yang lebih dalam mengembalikan sisi manusia dari kerja yang selama ini tergantikan oleh layar.
Dalam dunia kerja pascapandemi, mungkin jawaban atas tantangan keterlibatan karyawan tidak selalu ada pada teknologi canggih—tetapi pada sepiring makan siang yang disantap bersama.