(Business Lounge – Global News) Victoria’s Secret kembali menjadi sorotan bukan karena lini produknya, melainkan karena tekanan besar dari investor aktivis yang mempertanyakan arah bisnis dan tata kelola perusahaan. Barington Capital Group, investor yang dikenal agresif dalam mendesak perubahan struktural, telah mengakumulasi lebih dari 1% saham Victoria’s Secret & Co. dan tengah mempersiapkan langkah besar untuk mendesak reformasi internal perusahaan, termasuk pembaruan total terhadap dewan direksi.
Menurut laporan dari The Wall Street Journal dan Reuters, Barington menyatakan bahwa performa Victoria’s Secret sejak dipisahkan dari L Brands pada tahun 2021 sangat mengecewakan. Setelah spin-off tersebut, nilai pasar perusahaan telah menurun lebih dari 55%, menjadi sekitar USD 1,45 miliar. Investor menilai bahwa penurunan tersebut bukan hanya disebabkan oleh tekanan eksternal seperti inflasi dan perubahan pola konsumsi, tetapi juga oleh lemahnya kepemimpinan dan kurangnya strategi yang jelas dari manajemen dan dewan direksi.
Barington secara terbuka menyampaikan niatnya untuk mendorong pergantian menyeluruh di tubuh dewan, dengan mengangkat direktur independen yang memiliki pengalaman kuat dalam sektor ritel, digital commerce, dan manajemen merek global. Langkah ini, menurut mereka, penting untuk menghidupkan kembali daya saing Victoria’s Secret yang dulu pernah mendominasi pasar pakaian dalam wanita dengan ikon seperti kampanye “Angels” dan pertunjukan fesyen tahunan yang prestisius.
Selain mendorong restrukturisasi dewan, Barington juga menentang adopsi “poison pill” atau rights plan yang baru-baru ini diterapkan oleh perusahaan. Strategi tersebut dianggap menghalangi hak pemegang saham lain, terutama setelah munculnya pemain besar seperti BBRC milik pengusaha asal Australia Brett Blundy, yang kini memiliki sekitar 13% saham Victoria’s Secret. Barington menganggap tindakan protektif itu sebagai bentuk ketakutan manajemen terhadap intervensi dari pemegang saham aktif dan menilai langkah itu hanya memperburuk nilai perusahaan di mata pasar.
Barington juga mendesak agar Victoria’s Secret lebih fokus pada kekuatan inti bisnisnya. Mereka menilai perusahaan terlalu menyebar sumber daya ke berbagai inisiatif dan kolaborasi yang tidak memberikan hasil signifikan. Salah satu rekomendasi utama adalah menghidupkan kembali kekuatan historis Victoria’s Secret melalui lini produk utama seperti bra, pakaian tidur, dan parfum. Mereka juga meminta agar manajemen mempercepat strategi ekspansi digital serta pertumbuhan internasional, yang dianggap memiliki potensi besar tetapi belum dikelola dengan baik sejauh ini.
Salah satu sorotan tajam dari Barington adalah divisi produk kecantikan (Beauty) milik Victoria’s Secret, yang selama ini tidak banyak dibicarakan dalam diskusi publik perusahaan. Menurut penilaian Barington, divisi tersebut memiliki nilai intrinsik yang sangat besar dan bisa saja memiliki valuasi setara dengan nilai seluruh perusahaan jika dipisahkan atau diposisikan ulang secara strategis. Dengan kata lain, investor melihat peluang besar untuk unlocking value dari aset-aset yang selama ini kurang dimaksimalkan.
Menanggapi tekanan dari Barington, Victoria’s Secret menyatakan bahwa mereka belum secara langsung menerima komunikasi formal dari pihak investor tersebut. Namun, perusahaan menyambut baik masukan dari pemegang saham dan percaya bahwa strategi transformasi yang tengah dijalankan, termasuk perubahan kepemimpinan dan efisiensi operasional, akan menghasilkan nilai jangka panjang yang signifikan. Perusahaan juga menekankan bahwa kinerja mereka pada kuartal pertama tahun ini telah melampaui ekspektasi analis dan menunjukkan bahwa arah yang diambil sudah berada di jalur yang benar.
Kepemimpinan Victoria’s Secret saat ini berada di tangan Hillary Super, CEO yang diangkat pada September 2024 setelah sebelumnya menjabat di Savage X Fenty, brand lingerie milik penyanyi dan pengusaha Rihanna. Penunjukannya sempat menimbulkan optimisme pasar karena dinilai membawa energi baru dan pemahaman terhadap konsumen muda. Namun, menurut Barington, Hillary Super memiliki pengalaman terbatas dalam memimpin perusahaan publik dan belum menunjukkan visi strategis yang kuat untuk membawa Victoria’s Secret keluar dari masa stagnasi.
Persaingan di industri lingerie dan pakaian dalam kini makin ketat. Banyak brand baru muncul dengan pendekatan inklusif, digital-native, dan dekat dengan nilai-nilai generasi muda seperti body positivity dan sustainability. Victoria’s Secret yang dulu menjadi simbol kecantikan arketipal kini harus bertransformasi di tengah perubahan nilai pasar. Sayangnya, menurut investor, transformasi tersebut berjalan lambat dan tidak efektif.
Selain faktor eksternal, dinamika internal perusahaan juga menjadi perhatian. Barington menyoroti bahwa komposisi dewan saat ini tidak mencerminkan kebutuhan strategis perusahaan modern. Mereka menginginkan hadirnya tokoh-tokoh dengan pengalaman operasional nyata di industri digital, pemasaran global, serta manajemen rantai pasok yang efisien. Investor juga menyayangkan minimnya transparansi dari perusahaan terkait rencana jangka panjang mereka, baik dalam ekspansi internasional maupun pengelolaan portofolio merek.
Salah satu hal yang bisa menjadi titik perubahan besar adalah jika unit Beauty, yang kini menjadi andalan pendapatan stabil, dipisahkan atau difokuskan ulang menjadi entitas mandiri. Dalam strategi korporat, langkah seperti ini sering digunakan untuk membuka nilai aset (asset unlocking), terutama ketika bagian tertentu dari bisnis memiliki performa jauh lebih baik dibanding keseluruhan perusahaan.
Namun tentu saja, langkah semacam ini membutuhkan dewan yang kuat, CEO dengan visi strategis jangka panjang, dan keberanian untuk mengambil keputusan besar. Dalam konteks ini, tekanan dari Barington bisa menjadi katalis yang mendorong perubahan-perubahan itu, atau justru membuka konflik panjang antara manajemen dan pemegang saham.
Bagi publik investor, saga ini menjadi ujian penting terhadap arah Victoria’s Secret pasca-spin-off. Akankah perusahaan ini kembali berjaya dengan model bisnis baru dan tata kelola modern, atau justru tersingkir di tengah transformasi industri yang begitu cepat? Di sisi lain, bagi manajemen perusahaan, tekanan dari investor aktivis seperti Barington bukan sekadar gangguan jangka pendek, melainkan sinyal kuat bahwa pasar menuntut transparansi, inovasi, dan hasil nyata.
Jika dewan dan CEO gagal merespons tekanan ini secara konstruktif, bukan tidak mungkin investor besar lainnya ikut menyuarakan ketidakpuasan mereka. Dan bila hal itu terjadi, masa depan Victoria’s Secret bisa berubah drastis, tidak hanya dalam struktur kepemilikan, tapi juga dalam identitas merek dan strategi bisnisnya. Saat ini, seluruh mata pelaku pasar sedang tertuju pada langkah selanjutnya dari Barington, dewan direksi, dan manajemen puncak Victoria’s Secret.