Air India

Air India Dikepung Krisis Lama Jauh Sebelum Tragedi Dreamliner

(Business Lounge – Global News) Kecelakaan Boeing 787 Air India pada pertengahan Juni 2025 yang menewaskan lebih dari 240 orang menjadi pukulan besar bagi maskapai penerbangan nasional India yang telah berjuang memperbaiki citranya selama dua dekade terakhir. Namun, tragedi ini bukanlah insiden tunggal yang berdiri sendiri. Justru, insiden tersebut menyingkap lapisan demi lapisan masalah kronis yang telah membayangi Air India jauh sebelum pesawat itu kehilangan daya dan jatuh di Ahmedabad.

Sebagaimana dilaporkan oleh The Wall Street Journal, Reuters, dan media internasional lainnya, kondisi fisik dan operasional Air India sudah menjadi sorotan sejak lama. Penumpang kerap melaporkan pengalaman yang mengecewakan, mulai dari kabin yang usang, AC yang tidak berfungsi, toilet yang rusak, hingga pelayanan yang tidak setara dengan maskapai besar lainnya. Banyak keluhan muncul dari rute-rute jarak jauh seperti dari Chicago dan London ke Delhi, di mana pesawat kerap mengalami gangguan teknis ringan namun kronis, seperti pencahayaan kabin yang berkedip dan layar hiburan yang mati total selama penerbangan panjang.

Keluhan tentang toilet menjadi salah satu simbol keterpurukan layanan Air India. Pada bulan Maret 2025, sebuah penerbangan dari Chicago ke Delhi terpaksa berbalik arah setelah 11 dari 12 toilet di pesawat Boeing 777 tidak bisa digunakan. Investigasi menunjukkan bahwa saluran pembuangan tersumbat oleh benda-benda yang tidak seharusnya dibuang ke toilet pesawat, termasuk plastik dan pakaian. Namun, insiden ini dianggap bukan semata-mata karena perilaku penumpang, tetapi juga karena kegagalan manajemen dalam mengedukasi serta menjaga pemeliharaan armada secara berkala.

Maskapai yang dulunya dimiliki negara itu memang telah mengalami perubahan kepemilikan sejak diakuisisi oleh Tata Sons pada tahun 2022. Di bawah kepemilikan baru, Air India mengumumkan rencana ambisius untuk mengubah dirinya menjadi maskapai kelas dunia, termasuk dengan memesan lebih dari 400 pesawat baru dari Boeing dan Airbus, serta merekrut CEO baru, Campbell Wilson, yang sebelumnya menjabat di Singapore Airlines. Namun, modernisasi armada ternyata tidak cukup cepat untuk menghapus kesan kumuh dan tertinggal yang melekat kuat di benak publik.

Menurut laporan Reuters, hingga awal 2025 hanya sebagian kecil dari pesawat baru yang sudah beroperasi, sementara sebagian besar armada lama tetap digunakan dengan tingkat keandalan yang semakin menurun. Kabin yang sudah tua dengan interior usang, kursi rusak, dan hiburan dalam penerbangan yang sering gagal menjadi gambaran nyata dari keterbatasan yang belum tertangani. Upaya rebranding yang digalakkan sejak 2023 belum cukup kuat untuk menyeimbangkan kenyataan operasional yang tetap diwarnai masalah dasar.

Tragedi kecelakaan Dreamliner rute Frankfurt–Ahmedabad menjadi klimaks dari akumulasi tekanan tersebut. Laporan awal dari pihak berwenang India dan AS menunjukkan bahwa pesawat kehilangan daya dalam 20 menit terakhir penerbangan, membuat pilot tidak dapat mengontrol pesawat saat mendekati landasan. Meskipun penyebab pasti kecelakaan masih diselidiki, beberapa analis menyebut adanya kemungkinan kombinasi antara gangguan teknis dan kelelahan kru akibat rotasi jadwal yang padat dan sistem manajemen operasional yang lemah.

Lebih jauh, laporan dari Skytrax menyatakan bahwa meskipun sistem keselamatan dasar di maskapai ini masih mengikuti regulasi internasional, namun praktik pelaksanaan dan pemeliharaan sering tidak memadai. Banyak bagian dari armada Air India belum menjalani retrofit penting untuk keamanan dan efisiensi bahan bakar. Selain itu, dokumentasi pemeliharaan juga disebut tidak konsisten di beberapa armada long haul.

Transformasi Air India menjadi maskapai modern kini berada di persimpangan. Di satu sisi, Tata telah menjanjikan investasi besar dan merancang strategi lima tahun yang agresif untuk menjadikan Air India sebagai pemain global. Namun di sisi lain, tekanan publik, pemerintah, dan regulator pascakecelakaan sangat besar. Pemerintah India bahkan dilaporkan tengah mempertimbangkan intervensi lebih luas untuk memastikan bahwa keselamatan menjadi prioritas mutlak, bukan hanya ambisi pasar.

Para penumpang setia dan analis industri menggarisbawahi bahwa tata kelola internal Air India harus direformasi secara menyeluruh. Tidak hanya soal memperbarui pesawat, tetapi juga menata ulang sistem rotasi kru, prosedur pelaporan masalah teknis, serta pelatihan ulang untuk pramugari dan teknisi pemeliharaan. Tanpa langkah-langkah ini, Air India akan terus memikul reputasi buruk meskipun armadanya diperbarui.

Kerugian operasional Air India pada tahun fiskal 2023–2024 diperkirakan mencapai lebih dari 520 juta dolar AS, menandakan bahwa secara finansial, perusahaan masih jauh dari titik impas. Biaya modernisasi yang besar, ditambah tekanan untuk menjaga tarif tetap kompetitif, membuat maskapai ini berada dalam tekanan ganda. Jika manajemen gagal menyeimbangkan reformasi layanan dengan efisiensi bisnis, Air India bisa kehilangan daya saing bahkan di pasar domestik India, yang kini semakin padat oleh pemain swasta seperti IndiGo dan Vistara.

Lebih dari segalanya, tragedi Boeing 787 ini telah mengubah narasi transformasi Air India dari sebuah “kisah kebangkitan” menjadi pertanyaan serius tentang prioritas dan kapabilitas manajemen maskapai. Investasi tidak akan cukup jika budaya kerja, disiplin teknis, dan fokus pada penumpang tidak dibangun kembali dari dasar.

Air India kini berdiri di tepi jurang kepercayaan publik. Satu langkah salah bisa membuat maskapai ini kembali terpuruk dalam citra lama sebagai simbol stagnasi dan birokrasi. Namun jika digunakan sebagai momen refleksi dan reformasi nyata, tragedi ini juga bisa menjadi titik awal bagi kelahiran kembali Air India sebagai maskapai yang benar-benar mampu bersaing di panggung global dengan standar pelayanan dan keselamatan terbaik.