(Business Lounge – Global News) Di tengah ketegangan politik yang kian mengental menjelang pemilu presiden Amerika Serikat, sebuah firma hukum kecil di California menjadikan nasionalisme ekonomi sebagai senjata hukum. Menurut laporan The Wall Street Journal, firma bernama Richman Law & Policy telah melayangkan gelombang gugatan terhadap sejumlah merek besar seperti Unilever, Goya Foods, dan Procter & Gamble karena diduga memberikan label “Made in USA” yang menyesatkan.
Menurut Bloomberg, firma hukum Richman mengandalkan peraturan ketat dari Federal Trade Commission (FTC) yang menyatakan bahwa label “Made in USA” hanya sah digunakan jika “semua atau hampir semua” komponen produk diproduksi dan dirakit di Amerika. Namun dalam praktiknya, banyak perusahaan multinasional menambahkan label tersebut secara longgar, meskipun bahan baku atau proses produksi utama dilakukan di luar negeri.
Gugatan terbaru, misalnya, menargetkan produk perawatan pribadi dari Unilever dan P&G yang dilabeli buatan AS, padahal komponen penting seperti botol plastik, bahan aktif, atau bahkan proses pengemasan dilakukan di negara lain. Dalam salah satu kasus terhadap Goya Foods, firma hukum itu menyoroti penggunaan bendera Amerika dan bahasa patriotik di kemasan produk kacang-kacangan yang sesungguhnya berasal dari Amerika Latin.
Dikutip oleh Reuters, perwakilan Richman Law menyatakan bahwa praktik semacam ini merugikan konsumen yang secara sadar memilih produk berdasarkan asal-usul nasional. “Ini bukan hanya soal label, ini soal kepercayaan dan integritas pasar,” ujar penasehat hukum utama firma tersebut.
Kampanye hukum ini telah menyebabkan gelombang kecemasan di kalangan pemasar dan perusahaan barang konsumen. Bukan hanya karena biaya litigasi yang mahal, tetapi juga karena reputasi merek yang bisa rusak akibat citra menyesatkan. Beberapa pengamat menyebut bahwa gelombang gugatan ini memaksa perusahaan untuk meninjau ulang praktik pelabelan dan rantai pasok mereka secara menyeluruh.
Menurut The Wall Street Journal, ini bukan pertama kalinya FTC atau firma hukum swasta mempermasalahkan label asal produk. Namun, volume gugatan yang dilayangkan dalam beberapa bulan terakhir mencerminkan tren baru yang mengaitkan etika pemasaran dengan sentimen nasionalis.
Di saat yang sama, fenomena ini juga menunjukkan bagaimana retorika politik dapat diterjemahkan menjadi tekanan hukum. Donald Trump, yang kembali mencalonkan diri sebagai presiden pada 2024, dalam pidato-pidatonya sering menyebut bahwa perusahaan harus memproduksi di dalam negeri dan diberi sanksi jika menyesatkan publik soal asal produk mereka.
Beberapa analis menyebut bahwa gelombang gugatan ini berakar dari celah dalam peraturan pelabelan yang tidak sepenuhnya seragam antar lembaga. Misalnya, sementara FTC mengatur penggunaan label “Made in USA” untuk keperluan iklan dan kemasan, Departemen Perdagangan memiliki pendekatan yang lebih longgar untuk ekspor. Celah inilah yang kemudian dieksploitasi oleh pengacara untuk membangun argumen hukum.
Bloomberg melaporkan bahwa firma Richman juga menargetkan perusahaan-perusahaan kecil yang menggunakan simbol bendera AS atau frasa seperti “proudly American” sebagai bagian dari strategi pemasaran, meskipun produk mereka sebagian besar diimpor. Beberapa di antaranya telah memilih untuk menyelesaikan perkara di luar pengadilan, sementara yang lain terpaksa mengganti kemasan mereka secara massal.
Salah satu perusahaan yang memilih berdamai, menurut Reuters, adalah produsen alat dapur yang berbasis di Texas. Mereka sepakat membayar denda dan menghapus label “Made in USA” dari seluruh lini produknya, setelah terbukti bahwa sekrup dan bahan logam utama berasal dari Taiwan dan Korea Selatan.
Sementara itu, Asosiasi Nasional Pemasar Konsumen (National Association of Consumer Marketers) menyuarakan keprihatinan bahwa litigasi semacam ini bisa menciptakan iklim ketakutan yang kontraproduktif. Dalam pernyataan resmi mereka, asosiasi itu menyebut bahwa perusahaan beroperasi dalam rantai pasok global yang kompleks, dan tidak realistis jika harus memenuhi kriteria asal-usul absolut.
Namun, dari sudut pandang firma hukum Richman dan para pendukungnya, tekanan hukum ini merupakan alat untuk mendorong transparansi dan integritas pasar. Konsumen Amerika, menurut mereka, berhak tahu dengan jujur dari mana produk yang mereka beli berasal.
“Kalau sebuah perusahaan menyatakan bahwa produk mereka buatan Amerika, maka itu harus benar-benar berarti begitu, bukan sekadar strategi pemasaran,” tegas Richman dalam wawancara yang dikutip oleh The Wall Street Journal.
Secara ekonomi, dampak dari litigasi ini mungkin belum terlalu besar dalam skala nasional, tetapi sinyalnya jelas: dalam era di mana politik, merek, dan kesadaran konsumen bersinggungan, keakuratan klaim pemasaran menjadi medan konflik hukum baru.