continuous glucose monitor CGM

Tren Alat Continuous Glucose Monitor (CGM)

(Business Lounge- Draft) Dalam beberapa tahun terakhir, muncul tren baru di kalangan masyarakat sehat dan para penggiat kebugaran – memakai continuous glucose monitor (CGM) meskipun mereka tidak menderita diabetes. CGM adalah alat kecil yang ditempelkan pada kulit dan secara otomatis mengukur kadar glukosa setiap beberapa menit sepanjang hari. Alat ini awalnya dikembangkan untuk penderita diabetes guna memantau kadar gula darah secara real-time dan menghindari komplikasi berbahaya. Namun, kini alat yang dulunya hanya digunakan secara medis ini mulai dipakai oleh atlet, selebritas, dan bahkan profesional teknologi yang sehat, dengan alasan ingin “mengoptimalkan metabolisme”.

Seperti dilaporkan The Wall Street Journal, meningkatnya minat pada penggunaan CGM di kalangan orang tanpa diabetes telah melahirkan pasar baru bernilai miliaran dolar. Perusahaan rintisan seperti Levels Health dan Nutrisense telah merancang platform pelengkap CGM dengan tampilan aplikasi yang memberikan interpretasi data serta rekomendasi nutrisi atau pola hidup berdasarkan fluktuasi kadar gula darah. Ide dasarnya: setiap individu merespons makanan secara berbeda, dan dengan CGM, seseorang dapat menemukan pola makan paling ideal bagi tubuhnya sendiri.

Pendukung penggunaan CGM di kalangan non-diabetik mengklaim bahwa alat ini memberi pandangan lebih akurat tentang bagaimana makanan tertentu, olahraga, stres, atau pola tidur memengaruhi metabolisme tubuh. Sebagai contoh, seseorang mungkin menemukan bahwa oatmeal yang selama ini dianggap sarapan sehat ternyata menyebabkan lonjakan gula darahnya, sementara telur atau alpukat tidak. Dengan informasi ini, mereka dapat menyesuaikan diet untuk menjaga kadar glukosa tetap stabil — sebuah kondisi yang, menurut beberapa penelitian, dapat mengurangi risiko penyakit jantung, obesitas, dan bahkan demensia.

Namun, muncul pula pertanyaan besar: apakah memakai monitor glukosa sepanjang hari bagi orang tanpa diabetes adalah langkah cerdas atau hanya bentuk biohacking berlebihan yang dibungkus dengan teknologi mahal dan bahasa sains?

Menurut Harvard Health Publishing, tidak ada bukti kuat bahwa CGM memberikan manfaat kesehatan jangka panjang bagi orang sehat. Faktanya, kadar glukosa seseorang secara alami naik dan turun sepanjang hari — respons normal terhadap makanan, olahraga, atau stres. Menginterpretasikan setiap fluktuasi sebagai “masalah” bisa menimbulkan kecemasan atau perubahan perilaku makan yang tidak sehat. Dr. Pieter Cohen, seorang profesor di Harvard Medical School, menyebut tren ini sebagai “medicalization of the normal,” yakni ketika perilaku atau kondisi tubuh normal diubah menjadi masalah medis yang perlu ditangani.

Bahkan Asosiasi Diabetes Amerika (ADA) menyarankan kehati-hatian dalam penggunaan CGM oleh populasi non-diabetik. Dalam sebuah makalah reflektif yang dikutip oleh Nature Medicine, para peneliti menyebut bahwa data dari CGM sangat kompleks dan tidak dirancang untuk interpretasi awam. Risiko terbesarnya adalah orang mulai membuat keputusan gaya hidup yang radikal berdasarkan data yang tidak sepenuhnya mereka pahami — seperti membatasi makanan tertentu secara ekstrem atau menghindari aktivitas fisik karena “takut lonjakan gula”.

Namun industri CGM non-diabetik tetap berkembang pesat. Bloomberg mencatat bahwa pasar global perangkat CGM diperkirakan akan mencapai lebih dari $12 miliar pada 2028, sebagian besar didorong oleh permintaan dari individu non-diabetik. Bahkan raksasa teknologi seperti Apple dan Samsung tengah berlomba-lomba mengembangkan teknologi pemantauan glukosa non-invasif yang suatu hari bisa disematkan dalam jam tangan pintar mereka.

Sebagian ahli menyambut baik tren ini sebagai bentuk peningkatan kesadaran kesehatan, tetapi juga menekankan pentingnya edukasi. Dr. Casey Means, mantan dokter dan salah satu pendiri Levels, mengatakan bahwa CGM bisa menjadi “mikroskop metabolisme” yang membuka wawasan bagi masyarakat tentang bagaimana gaya hidup memengaruhi tubuh mereka secara langsung. Dalam podcast Peter Attia, ia mengklaim bahwa penggunaan CGM bisa membantu mencegah terjadinya sindrom metabolik jauh sebelum gejalanya muncul — semacam “deteksi dini untuk pola makan buruk”.

Namun argumen ini tidak sepenuhnya disetujui oleh semua pakar. Dr. David Ludwig dari Boston Children’s Hospital mengingatkan bahwa banyak dari data CGM bersifat contextual dan sangat individual, sehingga bisa dengan mudah disalahpahami. Lonjakan glukosa setelah makan, misalnya, tidak selalu berarti hal buruk. “Tubuh yang sehat dirancang untuk menangani lonjakan itu. Justru terlalu terobsesi dengan kestabilan bisa memicu disfungsi makan atau orthorexia,” ujarnya dalam wawancara dengan The Atlantic.

Masalah harga juga menjadi perhatian. Biaya langganan CGM dan aplikasi pelacak bisa mencapai $300–$400 per bulan, jumlah yang signifikan untuk kebanyakan orang. Karena itu, muncul kritik bahwa tren ini hanya memperlebar jurang antara mereka yang mampu membeli “gadget kesehatan” dan mereka yang hanya bisa mengandalkan pola hidup sehat konvensional.

Selain itu, terdapat kekhawatiran bahwa perusahaan teknologi yang mengelola data CGM memiliki potensi untuk menyalahgunakan informasi kesehatan sensitif. Dalam laporan investigatif MIT Technology Review, disebutkan bahwa sejumlah perusahaan rintisan CGM non-medis belum memiliki protokol perlindungan data setara dengan penyedia layanan kesehatan konvensional. Artinya, data glukosa pribadi pengguna bisa saja dipakai untuk kepentingan iklan, analisis pasar, atau bahkan asuransi.

Pada akhirnya, apakah penggunaan CGM oleh orang sehat adalah langkah bijak tergantung pada tujuan, pemahaman, dan konteks penggunaannya. Jika dipakai sebagai alat eksploratif untuk memahami bagaimana tubuh bereaksi terhadap makanan atau gaya hidup, dan dipandu dengan edukasi yang tepat, CGM mungkin bisa menawarkan manfaat. Namun jika digunakan tanpa pemahaman, dipenuhi ketakutan, atau dijadikan dasar keputusan ekstrim, maka penggunaannya bisa kontraproduktif — bahkan berisiko merusak hubungan seseorang dengan makan dan tubuhnya sendiri.

Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi dan terobsesi dengan data, muncul dilema baru: kapan data kesehatan memberi kita kekuatan, dan kapan ia malah menciptakan kecemasan yang tidak perlu? Seperti banyak tren kesehatan modern lainnya, jawaban untuk pertanyaan ini mungkin terletak bukan pada teknologinya, tetapi pada cara kita menggunakannya.