Nike

Nike Kembali ke Amazon Setelah Lima Tahun

(Business Lounge – Global News) Setelah lima tahun memutuskan hubungan langsung dengan Amazon, Nike Inc. akhirnya kembali menjual produk-produk resminya di platform e-commerce terbesar dunia itu. Keputusan ini menandai pergeseran penting dalam strategi distribusi digital perusahaan olahraga terbesar di dunia dan menunjukkan bagaimana tekanan pasar serta perubahan perilaku konsumen mendorong perusahaan untuk merevisi kebijakan eksklusivitasnya.

Menurut juru bicara Amazon yang dikutip oleh The Wall Street Journal, kerja sama ini akan memperluas pilihan produk Nike bagi konsumen di Amerika Serikat, melampaui stok yang selama ini ditawarkan oleh penjual pihak ketiga. Dalam lima tahun terakhir, meskipun Nike secara resmi menarik diri dari Amazon, ribuan produk Nike tetap tersedia di platform tersebut melalui penjual tidak resmi, yang seringkali menjual dengan harga tidak konsisten dan tanpa jaminan keaslian produk. Kembalinya Nike ke Amazon akan memungkinkan kontrol kualitas dan harga yang lebih terjaga, sekaligus memberi perlindungan terhadap pembeli dari produk palsu.

Seperti dilaporkan oleh Bloomberg, alasan utama Nike hengkang dari Amazon pada tahun 2019 adalah untuk fokus pada strategi penjualan langsung ke konsumen atau DTC (direct-to-consumer), yang terbukti sangat menguntungkan selama puncak pandemi. Strategi ini memungkinkan Nike menjual melalui aplikasi SNKRS, situs web resmi, serta gerai Nike Store dengan margin lebih tinggi dan kendali penuh atas data konsumen. Namun dalam beberapa kuartal terakhir, pertumbuhan penjualan dari kanal DTC mulai melambat, dan tekanan dari persaingan digital—termasuk dari merek-merek seperti On Running, Hoka, hingga Lululemon—membuat Nike harus meninjau ulang kebijakannya.

Menurut analisis dari CNBC, kerja sama baru dengan Amazon dilakukan saat Nike menghadapi tantangan dalam mempertahankan pertumbuhan di pasar domestik dan global. Penjualan perusahaan di Amerika Utara turun tipis pada kuartal terakhir, sementara persediaan barang meningkat. Kembalinya Nike ke Amazon dipandang sebagai cara cepat untuk memperluas jangkauan distribusi tanpa harus menambah biaya operasional atau membuka kanal distribusi baru.

Selain soal efisiensi, langkah ini juga berkaitan erat dengan kekuatan algoritma pencarian konsumen modern. Dalam riset dari Morgan Stanley yang dikutip oleh Financial Times, lebih dari 60% pencarian produk konsumen di AS dimulai langsung di Amazon, bukan di Google atau situs resmi merek. Ini berarti absennya Nike dari Amazon membuat mereka kehilangan peluang visibilitas yang sangat besar. Dengan kembali hadir secara resmi, Nike dapat memastikan bahwa produk-produk unggulannya tampil di hasil pencarian utama dan menawarkan pengalaman belanja yang lebih aman dan konsisten.

Di sisi Amazon, kerja sama ini memperkuat posisinya sebagai mitra utama bagi merek-merek besar yang dulu ragu bekerja sama karena masalah pemalsuan dan kontrol merek. Menurut laporan dari Reuters, Amazon dalam beberapa tahun terakhir telah meningkatkan sistem verifikasi penjual, memperketat kebijakan terhadap pihak ketiga, dan menawarkan layanan seperti Brand Registry untuk membantu pemilik merek melindungi hak kekayaan intelektual mereka. Dengan kehadiran Nike, Amazon berharap bisa menarik kembali merek-merek besar lain yang masih enggan membuka toko resmi di platform mereka.

Namun, ada juga tantangan yang menyertai langkah ini. Kembalinya Nike ke Amazon bisa menciptakan ketegangan dengan mitra distribusi eksklusifnya dan dengan kanal DTC internalnya. Meskipun Nike diperkirakan akan tetap menawarkan produk eksklusif tertentu hanya melalui aplikasinya sendiri, keberadaan produk yang sama di Amazon berisiko mengkanibalisasi traffic ke toko digital mereka sendiri. Dalam jangka pendek, ini bisa menekan margin keuntungan, namun secara strategis, Nike tampaknya bersedia mengorbankan sebagian kendali demi jangkauan pasar yang lebih luas.

Lebih jauh, keputusan ini juga menjadi cerminan dari tekanan investor terhadap efisiensi biaya dan pertumbuhan top-line yang lebih stabil. Menurut Barron’s, saham Nike sempat mengalami tekanan pada 2024 akibat pertumbuhan yang stagnan dan biaya pemasaran yang tinggi. Dengan menjual kembali di Amazon, Nike bisa mempercepat rotasi stok dan memperbaiki arus kas tanpa harus menambah investasi besar dalam infrastruktur digital mereka sendiri.

Sementara itu, konsumen menjadi pihak yang paling diuntungkan. Hadirnya Nike secara resmi di Amazon berarti mereka dapat membeli produk dengan harga transparan, kebijakan pengembalian yang jelas, dan keyakinan bahwa barang tersebut asli. Ini juga bisa memperbaiki pengalaman pelanggan, terutama bagi mereka yang tidak akrab dengan aplikasi SNKRS yang sering dikritik karena terlalu eksklusif dan rawan kekecewaan akibat sistem undian.

Fenomena ini juga menandai gelombang revisi strategi dari banyak merek global yang sebelumnya menolak bekerja sama dengan platform raksasa. Selain Nike, merek seperti Birkenstock dan Vans juga sedang mempertimbangkan kembali posisi mereka terhadap Amazon, setelah bertahun-tahun menjaga jarak. Dalam sebuah analisis oleh The Information, perusahaan yang terlalu mengandalkan model DTC ternyata menghadapi batas pertumbuhan lebih cepat dari yang diperkirakan, terutama ketika biaya akuisisi pelanggan digital (digital customer acquisition cost) semakin mahal dan persaingan iklan online makin sengit.

Nike sendiri tidak mengumumkan detail produk mana saja yang akan tersedia di Amazon, atau apakah akan membuka toko flagship digital seperti merek-merek besar lain. Namun menurut beberapa analis pasar, produk-produk seperti sepatu lari generasi sebelumnya, perlengkapan olahraga standar, serta pakaian aktif yang memiliki margin besar kemungkinan besar akan masuk lebih dulu. Produk premium dan edisi terbatas tetap dijaga untuk kanal eksklusif.

Dari sudut pandang logistik, kemitraan ini juga memperkuat rantai distribusi Amazon. Dengan jaringan gudang yang tersebar luas dan kemampuan pengiriman satu hari atau bahkan di hari yang sama, Nike akan mampu memanfaatkan infrastruktur logistik Amazon untuk meningkatkan pengalaman pelanggan. Dalam jangka panjang, ini bisa menciptakan model hibrida yang memadukan kecepatan Amazon dengan loyalitas merek Nike.

Jika tren ini terus berkembang, industri ritel global bisa memasuki fase baru di mana batas antara direct-to-consumer dan marketplace semakin kabur. Merek tak lagi memilih satu saluran secara eksklusif, melainkan menciptakan kombinasi yang paling efisien dan menguntungkan secara dinamis. Di tengah ekonomi yang lebih pragmatis, fleksibilitas kini lebih bernilai daripada kendali mutlak.

Dalam hal ini, kembalinya Nike ke Amazon bukan hanya soal kanal distribusi, tetapi juga pertanda bahwa bahkan merek paling kuat pun tidak kebal terhadap dinamika pasar. Dengan keputusan ini, Nike menyampaikan pesan bahwa adaptasi—bukan hanya inovasi—adalah kunci untuk bertahan dalam lanskap konsumen yang terus berubah.