Hapag-Lloyd

Hapag-Lloyd Pertahankan Rencana 2025

(Business Lounge – Global News) Perusahaan pelayaran Jerman Hapag-Lloyd menyatakan tetap mempertahankan panduan keuangannya untuk tahun 2025, meskipun manajemen mengakui bahwa ketegangan geopolitik, konflik dagang, dan gangguan logistik di Laut Merah berpotensi menekan kinerja dalam bulan-bulan mendatang. Pernyataan tersebut disampaikan dalam laporan keuangan kuartal pertama yang dirilis pada awal Mei, yang mencerminkan posisi Hapag-Lloyd sebagai salah satu pemain penting dalam industri pelayaran global yang sedang menghadapi gejolak geopolitik dan ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut.

Dalam laporan yang dikutip oleh Reuters, CEO Hapag-Lloyd, Rolf Habben Jansen, menegaskan bahwa meskipun perusahaan masih beroperasi sesuai target, tekanan dari faktor eksternal tidak dapat diabaikan. Ia menyatakan bahwa “kami tetap pada jalur yang telah ditetapkan, namun dengan kewaspadaan tinggi terhadap ketegangan internasional yang bisa berdampak pada arus barang global.” Ia juga menambahkan bahwa perusahaan tetap fleksibel dan siap menyesuaikan strategi jika kondisi pasar berubah secara drastis.

Menurut laporan keuangan perusahaan yang dilihat oleh Bloomberg, Hapag-Lloyd mencatat EBITDA sebesar 942 juta euro pada kuartal pertama 2025, turun dibandingkan periode yang sama tahun lalu namun masih di atas ekspektasi analis. Laba bersih mencapai sekitar 470 juta euro, menunjukkan ketahanan yang relatif baik di tengah pasar pelayaran global yang mengalami penyesuaian tajam setelah ledakan permintaan pasca-pandemi.

Namun, dalam pernyataannya, manajemen juga menggarisbawahi bahwa perang di Ukraina yang masih berlangsung, konflik antara Israel dan kelompok Houthi di Yaman, serta ketegangan dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat menjadi risiko utama. “Ketegangan geopolitik berdampak langsung pada rantai pasok global,” ujar Jansen, seperti dikutip oleh Financial Times. Ia menyoroti khususnya gangguan di Laut Merah, yang memaksa banyak kapal untuk menghindari rute melalui Terusan Suez dan mengambil jalur yang lebih panjang melalui Tanjung Harapan.

Sejak akhir 2023, kelompok bersenjata Houthi yang berbasis di Yaman telah menargetkan kapal-kapal komersial yang mereka tuduh memiliki koneksi dengan negara-negara Barat atau Israel. Ini menyebabkan banyak perusahaan pelayaran besar, termasuk Hapag-Lloyd, Maersk, dan CMA CGM, mengalihkan rute kapal mereka. Dampaknya, waktu pengiriman menjadi lebih lama dan biaya logistik melonjak. Dalam laporan internal yang dikutip oleh Bloomberg, Hapag-Lloyd menyebut bahwa durasi pengiriman dari Asia ke Eropa kini rata-rata meningkat 10 hingga 12 hari.

Tak hanya konflik, perusahaan juga mencermati volatilitas pasar dagang. Sejak awal tahun, muncul kekhawatiran akan terjadinya gelombang baru proteksionisme, seiring meningkatnya retorika kampanye pemilu di Amerika Serikat dan tekanan pada Tiongkok untuk mengurangi kelebihan kapasitas produksinya. Reuters mencatat bahwa tarif tambahan yang direncanakan terhadap produk elektronik dan kendaraan listrik dari Tiongkok bisa berdampak pada volume kontainer lintas Samudera Pasifik, yang selama ini menjadi salah satu jalur kunci bagi Hapag-Lloyd.

Meski demikian, perusahaan tetap menegaskan kembali proyeksi keuangan untuk tahun 2025, dengan EBITDA diperkirakan berada pada kisaran 3 hingga 5 miliar euro. Hapag-Lloyd juga tetap berkomitmen terhadap rencana investasinya, termasuk pengembangan terminal pelabuhan dan digitalisasi rantai logistik. Dalam wawancara dengan Financial Times, CFO Mark Frese menyebut bahwa “fokus kami tetap pada efisiensi operasional dan kelincahan dalam menghadapi dinamika pasar yang cepat berubah.”

Industri pelayaran memang tengah berada pada masa transisi. Setelah mengalami lonjakan tarif kontainer dan keuntungan luar biasa selama pandemi COVID-19, banyak perusahaan kini harus menyesuaikan diri dengan normalisasi pasar. Data dari Drewry Maritime Research menunjukkan bahwa tarif pengiriman kontainer pada April 2025 telah turun sekitar 40 persen dari puncaknya pada tahun 2022, meskipun masih di atas rata-rata historis.

Dalam konteks ini, pendekatan hati-hati Hapag-Lloyd dinilai sebagai langkah yang realistis. Analis dari JP Morgan dalam laporan yang dikutip oleh Bloomberg menilai bahwa “perusahaan memiliki posisi keuangan yang kuat dan mampu bertahan dalam kondisi pasar yang menantang, namun risiko geopolitik yang meningkat bisa membuat margin keuntungan tergerus.” Laporan tersebut juga menyoroti bahwa diversifikasi rute dan investasi dalam keamanan logistik akan menjadi kunci keberhasilan ke depan.

Selain itu, Hapag-Lloyd juga mengarahkan perhatiannya pada isu keberlanjutan. Dalam laporan keberlanjutan tahunannya, perusahaan menyebut komitmennya untuk mencapai net-zero emisi karbon pada 2045 dan mempercepat adopsi bahan bakar alternatif. Beberapa kapal baru yang akan dikirim pada akhir 2025 telah dirancang untuk menggunakan metanol dan LNG sebagai bahan bakar, sebagai bagian dari transisi menuju armada yang lebih ramah lingkungan.

Langkah ini mencerminkan tekanan yang meningkat dari regulator dan pelanggan terhadap sektor pelayaran untuk mengurangi jejak karbon mereka. Financial Times mencatat bahwa Uni Eropa telah mulai menerapkan sistem perdagangan emisi (ETS) bagi sektor pelayaran, dan regulasi serupa sedang dibahas di tingkat IMO (International Maritime Organization). Hapag-Lloyd menyatakan bahwa mereka “menyambut baik regulasi yang memberikan kerangka kerja yang jelas untuk dekarbonisasi” namun meminta agar implementasi dilakukan secara bertahap dan adil.

Dalam waktu dekat, fokus utama perusahaan tetap pada pengelolaan rute yang terkena dampak gangguan di Laut Merah. Untuk itu, Hapag-Lloyd telah menyesuaikan jadwal operasional dan menambah kapasitas pada rute lintas Samudera Atlantik sebagai kompensasi. Menurut Bloomberg, strategi ini sejauh ini cukup berhasil menstabilkan arus kas perusahaan meski menimbulkan biaya tambahan logistik.

Perusahaan juga terus memperluas jaringan logistiknya di Afrika dan Asia Selatan, dengan akuisisi terminal dan kerjasama dengan operator pelabuhan lokal. Hal ini merupakan bagian dari strategi jangka panjang untuk mengurangi ketergantungan pada jalur perdagangan tradisional yang semakin terpapar risiko geopolitik.

Namun, dengan ketidakpastian yang masih tinggi, termasuk potensi eskalasi di Timur Tengah atau perubahan drastis kebijakan perdagangan global pascapemilu AS, banyak pihak menilai bahwa Hapag-Lloyd dan pemain industri lain harus terus menjaga kelincahan operasional dan memperkuat sistem mitigasi risiko mereka.

Dalam pernyataan penutupnya kepada media, CEO Rolf Habben Jansen menegaskan bahwa “kami tidak bisa mengendalikan dunia, tetapi kami bisa mengendalikan cara kami beradaptasi terhadapnya.” Pernyataan tersebut mencerminkan filosofi manajemen Hapag-Lloyd yang pragmatis di tengah dunia yang semakin kompleks dan tidak pasti.

Dalam industri pelayaran global yang selalu menjadi cerminan dinamika ekonomi dan geopolitik dunia, langkah-langkah seperti yang dilakukan Hapag-Lloyd akan terus menjadi sorotan. Di tengah ancaman yang tidak dapat diprediksi, ketegasan untuk tetap pada jalur strategi sambil menjaga fleksibilitas bisa menjadi satu-satunya cara untuk bertahan dan tetap relevan.