(Business Lounge – Technology) Kemajuan kecerdasan buatan generatif tengah memasuki fase baru yang menjanjikan—dan sekaligus menantang—bagi perusahaan di seluruh dunia. Para peneliti dan pengembang kini tidak lagi hanya menciptakan AI individual yang mampu menulis, menjawab pertanyaan, atau membuat kode. Fokus kini bergeser ke sistem multiagen, di mana beberapa agen AI bekerja bersama, saling berbagi tugas, dan berkoordinasi layaknya tim manusia. Evolusi ini tidak hanya mempercepat inovasi, tetapi juga mendorong perusahaan untuk mulai menyesuaikan cara mereka bekerja, berorganisasi, dan mengambil keputusan.
Di balik tren ini adalah kemajuan dalam agentic AI, yaitu sistem yang tidak hanya menerima perintah langsung, tetapi juga mampu menyusun rencana, membuat keputusan sendiri, dan berkomunikasi dengan agen lain untuk menyelesaikan tugas kompleks. Di laboratorium OpenAI, Google DeepMind, dan Anthropic, eksperimen menunjukkan bahwa beberapa agen AI dapat menyelesaikan simulasi ekonomi kecil, mengelola proyek fiksi, bahkan menciptakan struktur kerja organisasi sederhana tanpa campur tangan manusia. Mereka membentuk peran seperti manajer, analis, dan pelaksana, lalu menyusun strategi untuk mencapai target bersama.
Sistem seperti ini disebut multiagent systems—dan implikasinya besar. Jika satu AI sudah mampu menggantikan beberapa tugas administratif, bagaimana bila lima AI saling terkoordinasi untuk menyusun strategi pemasaran, mengelola proyek logistik, dan memantau risiko keuangan sekaligus? Kemampuan koordinasi ini membuat AI tidak lagi hanya menjadi alat bantu, tetapi mitra kerja virtual yang aktif mengambil keputusan.
Namun di sinilah tantangan muncul. Kecepatan inovasi teknologi sering kali jauh lebih tinggi dibanding kemampuan organisasi untuk beradaptasi. Banyak perusahaan masih berjuang dengan implementasi AI konvensional, seperti chatbot atau otomatisasi layanan pelanggan. Di sisi lain, sistem multiagen membutuhkan infrastruktur teknis, kebijakan data, dan kerangka tata kelola yang jauh lebih matang. Risiko etika, keputusan yang tidak transparan, dan ketergantungan yang terlalu besar terhadap agen digital juga menjadi perhatian serius.
Beberapa perusahaan teknologi terkemuka mulai menguji penerapan sistem ini dalam konteks terbatas. Contohnya, di sektor logistik, agen AI digunakan untuk mensimulasikan distribusi barang secara optimal dengan mempertimbangkan cuaca, biaya bahan bakar, dan permintaan regional. Di sektor keuangan, agen dapat menganalisis laporan tahunan perusahaan, mendeteksi anomali, dan menyarankan perubahan portofolio investasi secara kolektif. Bahkan dalam pengembangan perangkat lunak, tim agen AI bisa menulis kode, menguji, dan mendokumentasikan hasilnya dengan produktivitas yang melampaui tim manusia.
Namun kunci keberhasilan bukan hanya pada teknologinya, melainkan pada kesiapan organisasi untuk berinteraksi dengan sistem tersebut. Perusahaan perlu membangun AI literacy di seluruh lapisan, dari level manajemen hingga operasional. Mereka harus memahami bahwa agen AI bukan hanya alat, tetapi mitra berpikir yang memerlukan konteks, batasan, dan interaksi manusia yang tepat. Interoperabilitas antara sistem AI dan sistem kerja manusia harus menjadi perhatian utama, agar kolaborasi terjadi secara sinergis, bukan saling meniadakan.
Dalam jangka panjang, sistem multiagen berpotensi mengubah cara perusahaan menjalankan strategi, mengelola SDM, dan bahkan membentuk struktur organisasi. Kita mungkin akan melihat munculnya “departemen digital” yang sepenuhnya dijalankan oleh agen AI, yang bekerja 24 jam tanpa istirahat, menyusun laporan, memberikan analisis, dan menindaklanjuti tugas tanpa perlu rapat Zoom. Di saat bersamaan, peran manusia akan lebih fokus pada pengambilan keputusan strategis, supervisi etis, dan pengelolaan hubungan antarmanusia.
Indonesia, seperti banyak negara berkembang lainnya, memiliki tantangan tersendiri. Infrastruktur digital, literasi teknologi, serta kesiapan regulasi menjadi kunci jika ingin memanfaatkan peluang ini. Perusahaan besar mungkin bisa mulai bereksperimen dengan agen AI di area terbatas, seperti manajemen proyek atau layanan pelanggan, tetapi adopsi yang luas masih membutuhkan investasi dan dukungan kebijakan publik. Kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan sektor swasta penting untuk memastikan bahwa transformasi ini tidak menciptakan kesenjangan baru dalam dunia kerja.
Seiring berkembangnya teknologi ini, pertanyaan besar akan terus muncul: siapa yang bertanggung jawab jika keputusan agen AI berdampak negatif? Bagaimana hak-hak pekerja dilindungi jika beberapa tugas mereka diambil alih agen digital? Bagaimana memastikan bahwa sistem multiagen tetap transparan dan dapat diaudit?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak hanya akan menentukan bagaimana AI digunakan, tetapi juga bagaimana masa depan dunia kerja, bisnis, dan pengambilan keputusan dibentuk. Untuk saat ini, pelajaran paling penting bagi perusahaan adalah: jangan menunggu sampai sistem multiagen sudah matang sepenuhnya. Adaptasi dimulai sekarang, dari pemahaman, eksperimen kecil, hingga pengembangan strategi jangka panjang. Seperti revolusi industri sebelumnya, mereka yang bersiap lebih awal akan menjadi pemimpin gelombang baru ini.