Bank of Japan Diperkirakan Tahan Suku Bunga di Tengah Ketidakpastian Tarif

(Business Lounge – Global News) Bank of Japan diperkirakan akan mempertahankan kebijakan suku bunga dalam pertemuan berikutnya, saat ketidakpastian baru dari potensi tarif perdagangan membebani prospek ekonomi global. Langkah ini muncul di tengah tanda-tanda bahwa dunia usaha Jepang mulai menghadapi kesulitan nyata dalam menyusun rencana bisnis mereka di tengah volatilitas yang meningkat. Sebuah survei terbaru yang dilansir oleh Reuters menunjukkan bahwa banyak perusahaan, dari sektor manufaktur hingga layanan, mengaku semakin sulit memperkirakan permintaan dan menetapkan investasi akibat kekhawatiran akan lonjakan tarif internasional.

Sejak awal tahun, Bank of Japan telah bergerak secara hati-hati untuk menormalisasi kebijakan moneternya setelah bertahun-tahun mempertahankan suku bunga ultra-rendah. Pada bulan Maret lalu, bank sentral akhirnya menaikkan suku bunga dari wilayah negatif untuk pertama kalinya dalam hampir dua dekade, sebuah langkah bersejarah yang menandai pergeseran fundamental dalam pendekatannya terhadap stabilitas harga. Namun, seperti yang dilaporkan oleh Bloomberg, para pejabat Bank of Japan kini menghadapi kenyataan baru: gelombang proteksionisme global dapat menekan ekspor Jepang dan memperlambat pemulihan ekonomi yang masih rapuh.

Gubernur Bank of Japan, Kazuo Ueda, dalam beberapa pernyataan publik yang dikutip oleh The Wall Street Journal, menegaskan bahwa arah kebijakan moneter ke depan akan sangat bergantung pada data dan perkembangan eksternal. Ueda mengindikasikan bahwa bank sentral siap untuk menyesuaikan kebijakan jika diperlukan, namun dalam kondisi saat ini, pendekatan wait-and-see dinilai paling tepat. Para analis memperkirakan bahwa suku bunga acuan akan tetap pada kisaran 0 hingga 0,1 persen, setidaknya sampai tekanan terhadap pertumbuhan dan inflasi dapat dinilai lebih jelas.

Ketidakpastian terkait tarif dipicu oleh retorika proteksionis dari Amerika Serikat, yang telah mengumumkan rencana untuk menaikkan tarif terhadap sejumlah produk dari negara-negara Asia, termasuk Jepang. Financial Times mencatat bahwa sektor otomotif, semikonduktor, dan barang elektronik konsumen Jepang berpotensi terdampak secara signifikan. Dengan ekspor yang menyumbang sekitar 17 persen dari Produk Domestik Bruto Jepang, potensi gangguan perdagangan ini dapat mengubah seluruh jalur pemulihan ekonomi nasional.

Survei bisnis yang dirilis oleh Nikkei memperlihatkan bahwa sekitar 65 persen perusahaan Jepang kini merasa sulit membuat proyeksi penjualan untuk enam bulan ke depan. Faktor-faktor yang disebutkan meliputi ketidakpastian tarif, volatilitas nilai tukar yen, dan biaya input yang lebih tinggi akibat gangguan rantai pasok global. Kondisi ini membuat banyak perusahaan menunda investasi modal dan merevisi target pertumbuhan mereka. Beberapa bahkan mempertimbangkan untuk memindahkan sebagian produksi ke negara lain yang memiliki risiko tarif lebih rendah.

Di pasar tenaga kerja, ketidakpastian ini juga mulai terasa. Meski data resmi menunjukkan tingkat pengangguran Jepang tetap rendah di sekitar 2,6 persen, seperti dilaporkan oleh Bloomberg, pertumbuhan upah mulai melambat pada kuartal pertama tahun ini. Kenaikan upah yang moderat menjadi perhatian karena Bank of Japan mengandalkan peningkatan pendapatan rumah tangga untuk mendorong inflasi stabil di atas target 2 persen. Jika rumah tangga semakin menahan konsumsi karena kekhawatiran ekonomi, maka laju pertumbuhan domestik dapat tertekan lebih lanjut.

Dari sisi nilai tukar, yen telah menunjukkan volatilitas tajam dalam beberapa pekan terakhir, sebagian karena spekulasi tentang arah kebijakan moneter dan kekhawatiran tarif. CNBC melaporkan bahwa yen menguat terhadap dolar AS setelah pasar menilai Bank of Japan mungkin akan menahan diri dari kenaikan suku bunga tambahan dalam waktu dekat. Kenaikan yen, meskipun membantu mengurangi tekanan inflasi impor, berpotensi membebani daya saing ekspor Jepang, yang sangat sensitif terhadap fluktuasi nilai tukar.

Beberapa ekonom yang diwawancarai oleh Bloomberg Economics berpendapat bahwa dalam skenario seperti ini, Bank of Japan memiliki sedikit ruang untuk bermanuver. Mengetatkan kebijakan moneter di tengah ketidakpastian eksternal dapat memperburuk perlambatan ekonomi, sementara melonggarkan kebijakan secara agresif dapat memicu ketidakstabilan pasar keuangan. Oleh karena itu, mempertahankan suku bunga sambil memperkuat komunikasi tentang fleksibilitas kebijakan dianggap sebagai pilihan terbaik saat ini.

Peran pemerintah Jepang juga semakin penting dalam mengatasi tantangan ini. Menteri Keuangan Shunichi Suzuki, dalam konferensi pers yang dikutip oleh Reuters, menyatakan bahwa pemerintah memantau dengan ketat perkembangan tarif dan siap mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mendukung dunia usaha. Suzuki juga menggarisbawahi pentingnya koordinasi internasional untuk mencegah eskalasi ketegangan perdagangan yang dapat merusak pertumbuhan global.

Dalam konteks ini, fokus juga tertuju pada langkah-langkah diplomatik Jepang untuk meredam potensi dampak tarif. Perdana Menteri Fumio Kishida, menurut laporan Financial Times, telah mengintensifkan dialog bilateral dengan Amerika Serikat untuk mencari solusi atas isu perdagangan. Jepang berharap bahwa melalui negosiasi, beberapa produk ekspor utamanya dapat dikecualikan dari tarif baru atau diberi kelonggaran tertentu.

Sementara itu, para pelaku pasar memperkirakan bahwa volatilitas akan tetap tinggi dalam beberapa bulan mendatang. Morgan Stanley MUFG Securities dalam laporan terbarunya memperkirakan bahwa ketidakpastian perdagangan dapat memangkas pertumbuhan ekonomi Jepang sebesar 0,3 hingga 0,5 poin persentase pada tahun ini, tergantung pada skala dan cakupan tarif yang diberlakukan. Proyeksi ini menunjukkan betapa besarnya dampak potensial yang dihadapi Jepang jika ketegangan perdagangan meningkat.

Dari sudut pandang historis, pengalaman Jepang selama perang dagang AS-Tiongkok pada 2018–2019 memberikan pelajaran berharga. Saat itu, ekspor Jepang ke Tiongkok dan AS terkontraksi, memaksa perusahaan untuk mencari pasar baru di Asia Tenggara dan Eropa. Beberapa analis, seperti yang dikutip oleh Bloomberg, berpendapat bahwa perusahaan Jepang lebih siap kali ini, dengan rantai pasok yang lebih beragam dan strategi ekspor yang lebih fleksibel. Namun, skala ketidakpastian saat ini tetap menjadi tantangan besar.

Dalam jangka menengah, Bank of Japan diperkirakan akan tetap fokus pada stabilitas sistem keuangan dan kelancaran fungsi pasar. Seperti ditegaskan dalam pernyataan kebijakan terakhirnya, bank sentral berkomitmen untuk mendukung pertumbuhan ekonomi sambil memastikan bahwa inflasi tetap berada dalam jalur yang stabil dan berkelanjutan. Langkah apa pun, baik dalam bentuk perubahan suku bunga atau operasi pasar, akan diambil dengan sangat hati-hati dan berbasis pada bukti.

Prospek jangka panjang Jepang, meskipun menghadapi hambatan jangka pendek, tetap relatif stabil dibandingkan banyak negara maju lainnya. Jepang memiliki surplus transaksi berjalan yang kuat, tingkat utang luar negeri yang rendah, serta cadangan devisa yang besar. Faktor-faktor ini memberikan bantalan penting terhadap guncangan eksternal. Namun, seperti yang ditulis oleh Nikkei Asia, Jepang juga harus menghadapi tantangan struktural seperti populasi yang menua dan produktivitas yang stagnan.

Dalam waktu dekat, perhatian pasar dan pembuat kebijakan akan tetap terfokus pada beberapa faktor utama: perkembangan negosiasi tarif antara AS dan mitra dagangnya, data konsumsi domestik Jepang, tren pertumbuhan upah, serta dinamika pasar tenaga kerja dan ekspor. Semua elemen ini akan menjadi bahan pertimbangan penting bagi Bank of Japan dalam pertemuan-pertemuan mendatang.

Sebagai kesimpulan, Bank of Japan tampaknya akan memilih untuk mempertahankan suku bunga saat ini dalam upaya menjaga stabilitas di tengah ketidakpastian global yang meningkat. Dengan mengadopsi pendekatan yang fleksibel dan berbasis data, bank sentral berusaha memberikan dukungan optimal bagi ekonomi Jepang, sambil menjaga ruang kebijakan yang diperlukan untuk menghadapi guncangan yang mungkin terjadi. Dalam lingkungan global yang semakin tidak dapat diprediksi, kehati-hatian menjadi strategi paling rasional bagi bank sentral tertua di dunia ini.