(Business Lounge – Global News) Ketika teknologi kecerdasan buatan generatif semakin merasuk ke dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari, muncul pertanyaan besar mengenai bagaimana data pengguna dikumpulkan, diproses, dan digunakan oleh sistem-sistem canggih tersebut. Dalam podcast Chatbot Confidential yang diproduksi oleh The Wall Street Journal, berbagai risiko dan potensi pelanggaran privasi oleh chatbot seperti ChatGPT, Bard, dan Claude menjadi sorotan utama yang membuka diskusi luas tentang etika penggunaan AI dan hak pengguna.
Dalam beberapa tahun terakhir, chatbot bertenaga AI telah menjadi semakin pintar dan mampu meniru percakapan manusia dengan tingkat akurasi dan relevansi yang mengesankan. Kemampuannya yang luar biasa dalam memahami konteks, menjawab pertanyaan kompleks, hingga menyusun teks panjang secara alami, telah menjadikannya alat populer untuk berbagai keperluan — mulai dari pencarian informasi, bantuan akademik, interaksi layanan pelanggan, hingga konsultasi pribadi. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh para pakar dalam podcast Chatbot Confidential, kecanggihan ini juga membawa konsekuensi serius, khususnya dalam aspek perlindungan data pribadi.
Salah satu kekhawatiran terbesar yang mengemuka adalah sejauh mana chatbot mengumpulkan dan menyimpan informasi pengguna. Dalam laporan investigasi oleh The Wall Street Journal, diungkapkan bahwa perusahaan-perusahaan di balik pengembangan AI sering kali menggunakan data interaksi pengguna sebagai bagian dari pelatihan ulang model. Artinya, informasi pribadi yang dibagikan dalam percakapan dengan chatbot berpotensi menjadi bagian dari dataset yang lebih besar yang digunakan untuk meningkatkan akurasi dan respons sistem. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: Apakah percakapan kita benar-benar privat atau sekadar bahan bakar untuk algoritma?
Dalam salah satu episodenya, podcast tersebut menyoroti kasus di mana data sensitif dari percakapan pengguna bocor dan secara tidak sengaja dapat diakses oleh pihak ketiga. Bloomberg melaporkan bahwa beberapa insiden semacam itu memaksa perusahaan teknologi untuk menonaktifkan sementara fungsi chatbot mereka guna menyelidiki pelanggaran keamanan dan memperbarui protokol privasi mereka. Meskipun perusahaan-perusahaan ini berupaya menambal celah keamanan secara proaktif, pertanyaan soal transparansi, akuntabilitas, dan komitmen terhadap perlindungan data tetap menggantung tanpa jawaban yang memuaskan.
Privasi bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga persoalan etis yang mendalam. Menurut wawancara dalam Chatbot Confidential dengan profesor hukum dari Stanford, penggunaan chatbot dalam konteks kesehatan mental, konsultasi hukum, bahkan pendidikan berisiko mengekspos data sangat sensitif tanpa adanya pengawasan ketat. Banyak pengguna yang tidak menyadari bahwa apapun yang mereka tuliskan—entah curhatan pribadi, informasi medis, atau opini sensitif—dapat dianalisis, disimpan, bahkan digunakan untuk melatih model lebih lanjut tanpa pemberitahuan eksplisit.
Tak hanya individu, perusahaan pun menghadapi ancaman yang tak kalah serius. Dalam laporan CNBC, disebutkan bahwa sejumlah perusahaan teknologi besar kini melarang karyawan mereka menggunakan chatbot AI untuk urusan pekerjaan, terutama untuk mencegah kebocoran informasi sensitif perusahaan seperti strategi bisnis, laporan keuangan internal, atau rincian produk baru. Hal ini menandakan bahwa bahkan pelaku industri teknologi pun mengakui adanya risiko laten dari penggunaan chatbot dalam lingkungan profesional.
Meski begitu, meningkatnya kesadaran akan risiko privasi tidak serta merta berarti bahwa pengguna harus berhenti menggunakan teknologi AI. Podcast Chatbot Confidential juga memberikan sejumlah langkah praktis yang dapat diambil oleh pengguna untuk menjaga privasi mereka saat menggunakan chatbot. Pertama, hindari membagikan informasi pribadi seperti nomor identitas, alamat rumah, informasi rekening bank, atau data medis saat berbicara dengan chatbot. Kedua, pahami dengan saksama kebijakan privasi dari platform yang digunakan. The New York Times menyoroti bahwa mayoritas pengguna tidak pernah membaca syarat dan ketentuan yang mencantumkan bagaimana data mereka akan disimpan dan digunakan.
Langkah berikutnya adalah memilih platform yang menawarkan mode “tanpa jejak” atau “incognito mode”. Beberapa penyedia layanan chatbot kini menyediakan fitur yang memungkinkan pengguna untuk tidak menyimpan riwayat percakapan mereka. Meskipun fitur ini tidak sepenuhnya menjamin anonimitas, setidaknya dapat mengurangi kemungkinan data digunakan dalam pelatihan ulang. Selain itu, pengguna juga bisa memanfaatkan ekstensi peramban atau alat pelindung privasi digital untuk mengurangi pelacakan selama interaksi daring berlangsung.
Sebagaimana dikatakan oleh salah satu narasumber dalam Chatbot Confidential, masyarakat saat ini menghadapi dilema yang kompleks antara kenyamanan teknologi dan pelindungan privasi. Chatbot menawarkan solusi instan yang menghemat waktu dan tenaga, tetapi di balik kemudahannya terdapat sistem data besar yang tidak selalu transparan. Tantangannya adalah menciptakan lingkungan regulatif dan etis yang mampu menyeimbangkan inovasi dengan penghormatan terhadap hak-hak digital pengguna.
Pemerintah di berbagai negara kini mulai menyusun kerangka hukum untuk mengawasi perkembangan AI. Reuters melaporkan bahwa Uni Eropa melalui Digital Services Act dan AI Act tengah berupaya menciptakan regulasi komprehensif yang mengatur penggunaan AI, termasuk kewajiban transparansi algoritma dan perlindungan data pengguna. Di Amerika Serikat, meskipun prosesnya lebih lambat, Kongres telah mulai mengadakan serangkaian dengar pendapat publik dan pembentukan gugus tugas untuk mengevaluasi dampak sosial dari penggunaan AI generatif.
Dalam konteks Indonesia, pembahasan mengenai regulasi kecerdasan buatan masih berada pada tahap awal. Namun, dengan jumlah pengguna internet dan layanan digital yang terus meningkat secara eksponensial, penting bagi para pemangku kepentingan untuk segera mengambil langkah antisipatif. Peneliti keamanan siber dari Universitas Indonesia yang dikutip oleh Kompas menyebut bahwa tingkat kesadaran publik terhadap privasi digital di Indonesia masih rendah, yang membuat pengguna cenderung membagikan informasi pribadi tanpa pertimbangan matang.
Selain regulasi dan edukasi, tekanan dari masyarakat sipil juga menjadi faktor penting dalam mendorong perubahan. Kampanye-kampanye publik yang menyerukan transparansi dalam penggunaan AI dan pentingnya etika digital mulai bermunculan di berbagai negara. The Guardian mencatat bahwa organisasi-organisasi nonpemerintah kini aktif menyerukan audit algoritma dan pemberian label yang jelas pada chatbot yang mengumpulkan data pengguna.
Yang tak terbantahkan adalah bahwa chatbot dan sistem AI lainnya akan terus berkembang dan menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Mereka akan semakin pintar, semakin kontekstual, dan semakin personal. Namun, seiring dengan penetrasi teknologi ini, pengguna harus menyadari bahwa setiap interaksi adalah pertukaran data yang memiliki implikasi jangka panjang. Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk memahami risiko yang ada dan mengambil langkah-langkah proaktif dalam menjaga kendali atas informasi pribadi mereka.
Tanpa kepercayaan, adopsi teknologi akan menemui hambatan besar. Namun dengan pendekatan yang etis, regulasi yang adil, serta literasi digital yang tinggi, masyarakat bisa meraih manfaat dari revolusi AI tanpa harus mengorbankan privasi dan hak digital mereka.