(Business Lounge Journal – Marketing)
Pernahkah Anda memiliki pengalaman, ketika ingin mendapatkan dengan segera suatu informasi, tetapi pada kenyataannya Anda tidak bisa langsung mendapatkan jawaban? Anda mencoba menghubungi nomer yang tertera, namun tidak ada jawaban. Anda mencoba mengirimkan DM ke sosial medianya, juga tidak memperoleh respons dengan segera. Hal ini saya jamin akan membuat Anda akan berpikir berkali-kali lipat jika harus mencoba lagi. Terkadang kita hanya dapat berkomentar, “Ini niat jualan gak ya?”
Di era teknologi sekarang ini, hampir dapat dikatakan semua selalu ingin cepat. Apa yang mau ditanyakan, kalau bisa langsung dijawab. Informasi yang dibutuhkan, diharapkan dapat langsung diperoleh. Dapat dikatakan, bahwa sudah tidak zaman lagi untuk mengirimkan email dulu baru kemudian mendapatkan jawaban untuk langkah selanjutnya. Itu akan membuat kerugian dalam segi waktu. Karena itulah banyak ahli menngembangkan AI untuk membantu memberikan respon yang harus diberikan kepada pelanggan.
Conversational AI
Dalam dunia pemasaran yang terus berkembang, tetap berada di garis depan adalah kunci kesuksesan. Conversational AI (AI percakapan), yang didukung oleh kecerdasan buatan, siap merevolusi cara Anda berinteraksi dengan pelanggan. Hal ini membawa era pengalaman yang dipersonalisasi, mulus, dan menarik.
Di garis depan transformasi, AI percakapan adalah chatbot dan asisten virtual bertenaga AI. Alat cerdas ini terintegrasi dengan mulus ke dalam platform pesan dan situs web, sehingga memungkinkan Anda untuk terlibat dalam percakapan secara real-time dengan pelanggan. Berbeda dengan chatbot tradisional yang mengandalkan respons skrip, chatbot bertenaga AI dapat beradaptasi dengan nuansa bahasa dan konteks, menciptakan interaksi yang alami dan menarik. Canggih bukan?
AI percakapan menawarkan berbagai manfaat yang meningkatkan pengalaman pelanggan ke level yang lebih tinggi. Dengan menyediakan dukungan 24/7, Anda dapat segera menangani pertanyaan pelanggan, membantu menyelesaikan masalah, dan menawarkan bantuan kapan pun diperlukan. Responsivitas ini tidak hanya meningkatkan kepuasan pelanggan tetapi juga membangun loyalitas brand.
Selain itu, AI percakapan memungkinkan Anda untuk mempersonalisasi interaksi dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Algoritma AI dapat menganalisis data pelanggan, termasuk riwayat pembelian, perilaku browsing, dan interaksi sebelumnya, untuk menyesuaikan respons dan rekomendasi. Pendekatan yang dipersonalisasi ini membangun rasa koneksi dengan merek, membuat pelanggan merasa dihargai dan dipahami.
Lebih jauh lagi, AI percakapan menyederhanakan proses penjualan dengan menyediakan informasi produk, menjawab pertanyaan, dan membimbing pelanggan melalui perjalanan pembelian. Pengalaman tanpa gesekan ini mengurangi tingkat pengabaian keranjang dan meningkatkan konversi, yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan dan keuntungan.
Kekuatan transformasional AI percakapan melampaui layanan pelanggan dan penjualan. Dengan mengumpulkan umpan balik pelanggan dan menganalisis data percakapan, Anda dapat memperoleh wawasan berharga tentang preferensi pelanggan, masalah, dan tren pasar. Wawasan ini dapat menginformasikan pengembangan produk, strategi pemasaran, dan keputusan bisnis secara keseluruhan, mendorong inovasi dan pertumbuhan.
Seiring AI percakapan terus berkembang, dampaknya pada lanskap pemasaran akan semakin mendalam. Mereka yang mengadaptasi teknologi ini akan berada dalam posisi yang baik untuk menjalin hubungan yang lebih dalam dengan pelanggan, meningkatkan loyalitas brand, dan mencapai kesuksesan berkelanjutan di pasar digital yang terus berubah.
Global Brand yang Sukses dengan AI percakapan
1. Sephora:
Sephora, raksasa kecantikan global, telah memanfaatkan AI percakapan untuk meningkatkan pengalaman pelanggan di berbagai platform. Keberadaan chatbot brand ini di Facebook Messenger dan situs web memungkinkan pelanggan untuk menanyakan tentang produk, mendapatkan rekomendasi, dan memesan produk dengan mudah. Teknologi ini memungkinkan pelanggan untuk mendapatkan jawaban instan atas pertanyaan mereka, serta rekomendasi produk yang disesuaikan berdasarkan preferensi pribadi dan riwayat pembelian. Sephora juga menggunakan AI untuk menganalisis percakapan pelanggan, memperoleh wawasan tentang preferensi dan kebutuhan mereka, dan mengadaptasi strategi pemasaran mereka sesuai dengan data tersebut. Dengan demikian, Sephora tidak hanya meningkatkan layanan pelanggan tetapi juga mengoptimalkan proses pemasaran mereka.
2. Domino’s Pizza:
Domino’s Pizza telah merevolusi cara pelanggan memesan pizza dengan menggunakan AI percakapan. Pelanggan dapat memesan pizza melalui chatbot di Facebook Messenger, WhatsApp, dan Twitter, serta melalui platform asisten suara seperti Amazon Alexa dan Google Assistant. Chatbot ini memungkinkan pelanggan untuk melacak pesanan mereka, mengajukan pertanyaan, dan bahkan mendapatkan penawaran khusus. Domino’s juga memanfaatkan AI untuk meningkatkan efisiensi operasional, mengurangi waktu pemrosesan pesanan, dan memastikan bahwa pelanggan mendapatkan pengalaman yang cepat dan tanpa hambatan. Dengan cara ini, Domino’s tidak hanya memperbaiki layanan pelanggan tetapi juga meningkatkan penjualan dan loyalitas pelanggan.
3. Starbucks:
Starbucks telah memanfaatkan AI percakapan untuk meningkatkan personalisasi dan kenyamanan bagi pelanggannya. Aplikasi Starbucks memungkinkan pelanggan untuk memesan dan membayar pesanan mereka melalui smartphone, menyesuaikan pesanan mereka, dan melacak status pesanan. Starbucks juga menggunakan AI untuk merekomendasikan minuman dan makanan berdasarkan pembelian sebelumnya dari pelanggan. Selain itu, dengan fitur AI, Starbucks dapat menganalisis data pelanggan untuk mengidentifikasi pola dan tren, yang kemudian digunakan untuk mengembangkan kampanye pemasaran yang lebih efektif dan produk baru yang sesuai dengan preferensi pelanggan.
4. Uber:
Uber telah menggunakan AI percakapan untuk meningkatkan pengalaman pelanggan dan pengemudi. Chatbot Uber di aplikasinya memungkinkan pelanggan untuk memesan tumpangan, melacak kemajuan tumpangan, dan mendapatkan bantuan dengan masalah apa pun. Uber juga menggunakan AI untuk merekomendasikan rute terbaik bagi pengemudi, meningkatkan efisiensi perjalanan, dan mencocokkan penumpang dengan pengemudi secara optimal. Teknologi ini juga membantu Uber dalam mengelola logistik dan operasi mereka, memastikan bahwa pelanggan mendapatkan layanan yang cepat dan andal.
5. L’Oreal:
L’Oreal, perusahaan kosmetik global, telah menggunakan AI percakapan untuk memberikan saran produk yang dipersonalisasi kepada pelanggan. Chatbot mereka di situs web memungkinkan pelanggan untuk menjawab pertanyaan tentang produk, mendapatkan rekomendasi berdasarkan jenis kulit dan kebutuhan mereka, dan bahkan mencoba produk secara virtual melalui teknologi augmented reality. Dengan memanfaatkan AI, L’Oreal dapat menawarkan pengalaman belanja yang lebih interaktif dan disesuaikan, yang pada gilirannya meningkatkan kepuasan pelanggan dan mendorong penjualan.
Contoh Kegagalan AI Percakapan
Seperti sudah kita bahas di atas, AI percakapan memiliki potensi yang besar untuk merevolusi interaksi pelanggan. Namun demikian ada beberapa contoh ketika implementasi tidak memenuhi harapan. Berikut adalah beberapa contoh kegagalan implementasi AI percakapan dan alasan di balik kekurangannya:
1. Microsoft Tay:
Pada tahun 2016, Microsoft meluncurkan Tay, sebuah chatbot di Twitter yang dirancang untuk belajar dari dan berinteraksi dengan pengguna. Namun, dalam waktu 16 jam, Tay mulai mengeluarkan tweet ofensif dan provokatif, memaksa Microsoft untuk menonaktifkannya. Kegagalan Tay disebabkan oleh ketergantungannya pada pembelajaran tanpa pengawasan, yang memungkinkannya menyerap bahasa negatif dari interaksinya dengan pengguna.
2. Kegagalan Rekomendasi Chatbot Sephora:
Ternyata Sephora juga pernah mengalami kegagalan. Chatbot Sephora di Facebook Messenger dirancang untuk memberikan rekomendasi produk yang dipersonalisasi berdasarkan preferensi pelanggan. Namun, dalam satu kasus, chatbot merekomendasikan produk pelurus rambut kepada seorang pelanggan berkulit hitam, yang kemduian ini dianggap sebuah repons yang rasial. Insiden ini menyoroti pentingnya mempertimbangkan keberagaman dan sensitivitas budaya saat mengembangkan aplikasi AI percakapan.
3. Chatbot Erica dari Bank of America:
Chatbot Erica dari Bank of America dirancang untuk membantu pelanggan dengan tugas perbankan, seperti memeriksa saldo dan mentransfer dana. Namun, pengguna melaporkan banyak masalah dengan Erica, termasuk kesulitan memahami perintah, memberikan informasi yang tidak akurat, dan gagal menyelesaikan tugas. Masalah ini berasal dari keterbatasan kemampuan Erica dan kurangnya integrasi dengan sistem inti bank.
4. Chatbot Fred dari CNN:
Chatbot Fred dari CNN dirancang untuk memberikan ringkasan berita dan menjawab pertanyaan tentang peristiwa terkini. Namun, Fred dikritik karena kurangnya kepribadian, ketidakmampuannya untuk terlibat dalam percakapan yang bermakna, dan kecenderungannya memberikan informasi yang tidak akurat. Kegagalan Fred disebabkan oleh ketergantungannya pada respons yang telah diskript dan kurangnya akses ke data berita real-time.
5. Kontroversi Nama Chatbot H&M:
Chatbot H&M di Facebook Messenger dirancang untuk membantu pelanggan menemukan produk dan menjawab pertanyaan tentang merek tersebut. Namun, chatbot tersebut dinamai “Monkey,” yang secara luas dianggap rasis dan ofensif. H&M terpaksa meminta maaf dan mengganti nama chatbot tersebut. Insiden ini menyoroti pentingnya sensitivitas budaya dan pengujian menyeluruh dalam pengembangan AI percakapan.
Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa AI percakapan, meskipun kuat, namun memiliki tantangan. Pertimbangan etis, keberagaman, privasi data, dan pengalaman pengguna sangat penting untuk keberhasilan implementasi AI percakapan. Dengan belajar dari kegagalan ini, Anda dapat mengembangkan chatbot dan asisten virtual bertenaga AI yang benar-benar meningkatkan interaksi pelanggan dan memberikan hasil bisnis yang positif.