(Business Lounge – Global News) Pernahkah Anda berpikir sampah jenis apa saja yang tertumpuk setiap harinya? Tentu, banyak jenis sampah yang tertumpuk di pembuangan sampah tiap harinya dan yang paling mendominasi adalah sampah plastik atau makanan. Tetapi bagaimana dengan sampah elektronik? Apakah pernah terpikir di benak Anda bagaimana nantinya ketika sampah elektronik membendung?
Sampah-sampah elektronik – keyboard sisaan yang tidak terpakai dan dibuang ke pinggir jalan, layar komputer lama, ponsel kuno, peralatan audio, printer – itu semua merupakan limbah yang dianggap sampah elektronik atau e-waste. Faktanya, di dalam perkembangan teknologi sekarang ini jenis limbah inilah yang sedang berkembang dan menumpuk dan pada akhirnya menghasilkan konsekuensi.
Seberapa Banyakkah e-waste yang Dihasilkan Seluruh Dunia?
Menurut perhitungan PBB, ada 41,8 juta metrik ton e-waste yang dihasilkan di seluruh dunia pada tahun 2014. Dari jumlah total tersebut, sebagian 725 metrik ton dihasilkan oleh Kanada.
Angka ini juga telah termasuk 12,8 juta ton peralatan kecil seperti pembersih vakum, oven microwave, dan toaster; 11,8 juta ton peralatan besar seperti mesin cuci dan mesin pencuci piring; 6,3 juta ton layar tv dan 3 juta ton alat teknologi informasi dan komunikasi kecil.
Tetapi angka-angka tersebut belum pasti, karena PBB memperkirakan jumlah tersebut berdasarkan jumlah barang elektronik yang diletakkan di pasar setiap tahun dan rata-rata umurnya. Sehingga menghasilkan angka yang belum pasti: angkat itu bisa lebih tinggi atau rendah. Namun bagaimanapun juga, Anda perlu memperhatikan kebiasaan Anda sendiri untuk melihat berapa banyak e-waste yang Anda hasilkan sendiri dan dampaknya terhadap lingkungan sekitar.
Ke Manakah Limbah-limbah Elektronik Tersebut Dibuang?
Negara pertama yang menampung pembuangan e-waste adalah Afrika. Namun, pada tahun 1998, beberapa negara Afrika mengikuti Konvensi Bamako, sebuah perjanjian yang melarang pengimporan limbah berbahaya ke Afrika. Komputer dan peralatan elektronik merupakan jenis barang yang termasuk dalam daftar konvensi tersebut.
Akan tetapi, banyak negara-negara barat yang menyumbangkan alat-alat elektronik tua yang pada akhirnya akan berakhir di Afrika. Sehingga akan ada banyak e-waste yang sekali lagi berakhir dengan menumpuk di daerah tersebut.
Kemudian pada Mei 1992, Konvensi Basel diberlakukan. Perjanjian ini dirancang untuk mengurangi pengangkutan limbah berbahaya – termasuk e-waste – ke negara-negara lain, salah satunya adalah Kanada.
Tapi sekarang ada penampung baru untuk semua limbah elektronik yang akan dibuang, yaitu Tiongkok.
Cina sebagai Penampung e-waste
Menurut laporan The Global e-Waste Monitor yang diterbitkan oleh United Nations University, Guiyu, Tiongkok pada tahun 2014, penampungan limbah elektronik di Tiongkok dianggap sebagai “bencana lingkungan.”
Itu karena Tiongkok – sebagai importir utama limbah elektronik – membongkar komputer dan telepon tua dengan menggunakan metode berbahaya, seperti pembakaran suhu rendah. Hal ini, pada akhirnya akan melepaskan racun berbahaya ke atmosfer.
Miriam Diamond, profesor geografi di University of Toronto mengatakan, sejumlah studi menunjukkan kontaminasi luas terhadap daerah sekitar yang diakibatkan oleh pembakaran plastik. Jika plastik yang digunakan untuk membalut kabel tembaga dibakar, proses itu akan menghasilkan dioksin, demikian seperti dilansir oelh WSJ.
Sehingga menampung e-waste bukanlah solusi yang baik. Dari sanalah muncul inisiatif untuk mendaur ulang e-waste.
Penanganan e-waste
Di Kanada, terdapat dua cara untuk berurusan dengan e-waste: ada extended procedure responsibility (EPR) dan product stewardship program (PSP). Untuk EPR, pendanaan untuk pembuangan limbah elektronik didanai oleh produsen sendiri.
Sementara untuk PSP, dana berasal dari biaya lingkungan yang dilegislasikan atau dana publik, tergantung pada provinsi. Tetapi pada akhirnya, tanggung jawab jatuh pada provinsi dan provinsi menyerahkannya pada perusahaan swasta. Secara tidak langsung, orang-orang membayar kepada perusahaan swasta untuk mendaur ulang sampah elektronik.
Tetapi, ada organisasi nirlaba yang mengambil barang elektronik bekas untuk didaur ulang.
Partisipasi Organisasi Nirlaba dalam Menangani e-waste
Cliff Hacking, presiden dan CEO dari Electronics Products Recycling Program (EPRP), yang mengoperasikan program daur ulang di delapan dari 10 provinsi dengan undang-undang tentang e-waste, mengatakan bahwa organisasi non-profitnya mendaur ulang 100.000 ton metrik elektronik pada tahun 2014, yang setara dengan sekitar 15,5 juta perangkat. Angka yang menurut Hacking merupakan jumlah yang banyak dan masih ada banyak lagi di seluruh dunia.
Jumlah ini terus bertambah karena “semua orang ingin yang terbaru dan terbaik” dan itu berarti ada banyak e-waste di luar sana dan EPRP ada untuk memastikan bahwa limbah-limbah tersebut akan didaur ulang dengan benar.
Mendaur Ulang Bukanlah Solusi
Akan tetapi, bagi Josh Lepawsky, profesor geografi di Memorial University yang telah memetakan arus global e-waste selama bertahun-tahun, permasalahan e-waste bukan hanya tentang limbah yang dihasilkan, tetapi dampak terhadap lingkungan secara umum.
Menurutnya, mendaur ulang e-waste bukanlah solusi, melainkan masalah. Alasan ia mengatakan bahwa dengan medaur ulang barang elektronik tidak akan pernah memecahkan masalah generasi elektronik adalah karena sebagian besar e-waste telah dihasilkan bahkan sebelum sampai ke konsumen.
Contohnya bisa diambil dari Apple. Setiap tahun, Apple mengeluarkan sebuah laporan berjudul “Environmental Responsibility Report.” Pada tahun 2013, Apple memproduksi 33,8 juta metrik ton emisi CO2. Untuk tahun 2014, jumlah itu meningkat menjadi 34,2 juta metrik ton CO2.
Hal ini menggambarkan bahwa permintaan elektronik dari konsumen berdampak pada lingkungan jauh sebelum produk ponsel atau tablet sampai pada konsumen. Oleh karena itu Lepasky mengharapkan kesadaran konsumen, karena e-waste merupakan beban lingkungan yang tidak dapat ditampung.
Alvin Wiryo Limanjaya/VMN/BL/Contributor
Editor: Ruth Berliana
Image:wikipedia