Menerobos Middle Income Trap dalam Ekonomi Indonesia: Bisakah?

(Business Lounge – Achievement) Adalah Profesor Emil Salim yang baru-baru ini, melalui interview-nya dengan Vibiz Media Network, mengingatkan bahwa Indonesia harus melewati the middle income level group country, terlepas dari jebakan yang menahan Indonesia tetap pada posisinya dan tidak dapat menjadi negara maju. Indonesia disebutkan perlu melakukan transformasi menuju perekonomian inovasi dan tidak lagi mengandalkan sumber daya alam.

Istilah ini semakin populer belakangan ini. Apakah yang disebut dengan “middle income trap”? Istilah ini diberikan khususnya kepada negara yang berpendapatan menengah (middle-income countries) yang dalam perjalanan ekonominya “terjebak” di posisinya dan tidak bisa melakukan lompatan untuk masuk menjadi negara maju baru. Negara disebutkan setelah mencapai suatu tingkat pendapatan per kapita tertentu yang cukup makmur namun tidak mampu lagi mempertahankan momentum pertumbuhan yang tinggi, sehingga negara tersebut tidak kunjung naik kelas masuk dalam jajaran negara-negara maju. Penyebab dari kondisi ini biasanya setelah masuk menjadi kelompok berpendapatan menengah negara merasa nyaman dan tidak cukup membangun SDM dan berinovasi untuk menghasilkan produk-produk dengan kandungan teknologi yang semakin tinggi.

Yang Maju dan Yang Terperangkap

Pada tahun 1980’an, tiga negara ini: Korea Selatan, Brazil dan Afrika Selatan dikenal sebagai negara the rising star dalam kategori kelompok pendapatan menengah. Namun kemudian kita  ketahui bahwa hanya Korea Selatan yang dikenal sebagai negara industri maju yang baru. Brazil dan Afrika Selatan tetap saja di kelompok ekonomi menengah. Kedua negara tersebut hingga saat ini masih bergantung pada sektor komoditas. Jika harga komoditas merosot, otomatis pertumbuhan ekonomi di kedua negara tersebut juga melemah.

Brazil ini secara empiris selama 20 tahun, dari tahun 1960 sampai dengan 1980, berhasil meningkatkan level pendapatan per kapitanya dari US$1700 menjadi US$4200. Namun, dalam periode 23 tahun berikutnya GDP per kapitanya hanya naik sebesar US$200 saja menjadi US$4600. Setelah pertumbuhan tinggi kemudian mendarat pada pertumbuhan yang melandai saja.

Demikian pula dengan Afrika Selatan, tercatat dari tahun 1960 sampai dengan 1980 telah menanjak level GDP per kapitanya dari US$3300 menjad IS$5400. Akan tetapi, dalam periode 32 tahun berikutnya GDP per kapitanya hanya naik sebesar US$400 saja menjadi US$5800 di tahun 2012. Contoh lain, tetangga kita, bisa diambil seperti Malaysia dan Thailand.

Sudah Terperangkap?

Bagaimana dengan Indonesia? Tidak sedikit pihak yang menyebutkan bahwa kita sedang terjebak pada kondisi pendapatan menengah ini. Data BPS terakhir (kuartal II tahun 2014) menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali menurun menjadi 5,12% per tahunnya. Di akhir 2013 kita masih mencatat angka pertumbuhan ekonomi 5,78%. Laju pertumbuhan ekonomi kita praktis telah turun terus sejak akhir 2010 saat pertumbuhan ekonomi mencatat angka 6,81%. Mata uang rupiah belakangan ini terus menerus cenderung tertekan. Menguat sejenak lalu melemah lagi. Cukup menguatirkan karena cepat atau lambat Amerika akan menaikkan kembali suku bunganya (Fed fund rate) yang biasanya akan mendongkrak nilai mata uang US$ di pasar uang global, yang berimbas kepada pelemahan rupiah.

Dalam dua tahun terakhir ini neraca perdagangan kita umumnya lebih sering defisit. Betul bahwa harga komoditas global sedang tertekan, namun demikian ini juga menunjukkan Indonesia belum bisa keluar dari perangkap eksportir komoditas mentah belaka. World Bank dalam paparan terakhirnya (Juni 2014) menyebutkan bahwa tujuh dari sepuluh ekspor utama Indonesia adalah komoditas. Dalam industrialisasi tercatat bahwa Indonesia walaupun memiliki separuh penduduk di antara negara ASEAN namun hanya 15% produk manufakturnya yang diekspor. Bandingkan dengan Thailand dengan hanya 15% dari populasi ASEAN tetapi telah mengekspor 34% dari produk manufakturnya.

Subsidi BBM yang besar –yang sering jadi topik pembicaraan dewasa ini- nampaknya telah menjadi penghambat juga untuk pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi karena menyedot porsi pembiayaan infrastruktur yang lebih berpotensi untuk mendorong perekonomian. Jika pola harga dan gaya konsumsi boros BBM ini berlanjut bisa jadi tidak lama lagi Indonesia akan dikenal sebagai negara pengimpor BBM terbesar di dunia.

Dengan demikian, Indonesia sepertinya punya potensi cukup besar untuk mengikuti jejak dari Brazil, Afrika Selatan, Malaysia dan lainnya untuk terjebak di tempat yang sama, terperangkap bertahan pada kelompok ekonomi menengah. Menjadi salah satu dari “middle income trapped countries”. Punya potensi dan kemungkinannya, kecuali –ini yang dibutuhkan sekarang- dilakukan langkah-langkah yang strategis, bahkan kalau bisa yang “masif, terstruktur dan sistematis” untuk menjadikan Indonesia menjadi negara yang hebat.

Apakah itu mungkin? Sepertinya telah menjadi publikasi umum bahwa Indonesia telah diproyeksikan oleh banyak lembaga riset terkemuka di dunia akan menjadi salah satu dari sepuluh negara dengan PDB terbesar di dunia pada tahun 2030. Dengan demikian sekitar 15 tahun dari sekarang Indonesia bisa ada di jajaran top ten, mungkin juga top seven seperti yang pernah dirilis oleh McKinsey. Dari sini kita melihat bahwa potensi untuk Indonesia melompat status menjadi kelompok negara maju itu terbuka dengan lebar juga. Bagaimana?

Reformasi untuk Menghindari Jebakan

Belum lama ini, pada akhir Juni 2014, The World Bank mengeluarkan rilis Development Policy Review mereka dengan judul “Indonesia: Avoiding The Trap. World bank merekomendasikan untuk menghindari jebakan kelompok menengah maka pertumbuhan ekonomi Indonesia berikutnya harus dapat dipompa pada level 6% atau lebih, mengarah kepada 9%. Pertumbuhan ekonomi yang lambat akan membuat negeri terperangkap dan sulit bertumbuh lebih jauh. Lagi pula selisih pertumbuhan ekonomi itu jelasnya akan bernilai jutaan lapangan pekerjaan.

Disarankan untuk dilakukan reformasi ekonomi yang strategis, yang meliputi:

  • Mengarahkan pembiayaan anggaran kepada sektor prioritas pembangunan;
  • Revolusi ekonomi supply side;
  • Reformasi untuk meningkatkan standar kehidupan masyarakat;
  • Penuhi tantangan implementasinya.

Di dalamnya ada sejumlah rekomendasi untuk pemangkasan subsidi BBM dan mengarahkan pada sektor prioritas. Ada saran untuk menutup gap yang terdapat dalam pembangunan infrastruktur dan pengembangan keahlian (skill) tenaga kerja yang terkait dengan produktifitas. Ini telah banyak kita sadari, tetapi kalau tidak ditindaki memang akan memerangkapkan ekonomi kita. Suatu tantangan dan PR yang besar bagi pemerintah baru kita.

Mengenai standar kehidupan, ini bukan hanya masalah pendidikan dan kecukupan jasa sosial masyarakat, tetapi juga manajemen yang efektif dalam menangani krisis bencana alam yang kerap terjadi di negeri ini. Lalu yang penting adalah kemampuan implementasi. Salah satu capres kita pernah menyebutkan bahwa kita jago di perencanaan saja, lemah di pelaksanaan. Sementara itu, kita juga suka mendengar bahwa koordinasi (antar instansi) adalah barang mahal di sini. Bagaimanapun, inilah tantangannya. Inilah faktor kelembagaan yang harus diatasi kalau mau berpindah menjadi negara maju.

Maka, kita melihat ada dua aspek potensi pada ekonomi Indonesia. Potensi untuk Indonesia terjebak dalam middle income trap, dan potensi untuk melompat keluar menjadi high income country. Yang terakhir itu definisinya dengan PDB per kapita di atas US$11.750. Keduanya punya potensi untuk terjadi pada ekonomi kita. Karenanya, perlu agaknya difahami bahwa pemerintah yang baru nanti ini sangat strategis peranannya: dapat menyiapkan landasan ekonomi Indonesia ke jenjang yang baru –mulai dari upper middle incomemenuju kelas ekonomi maju. Atau, terhambat, tertahan dan terperangkap dalam pertumbuhan ekonomi rendah dan menjadikan status kita tetap sebagai kelompok negara menengah saja. Suatu tantangan bangsa yang besar. “To be or not to be”.

Back to Prof. Dr. Emil Salim  – Pondasi Ekonomi Indonesia

banner 2b

Pak Alfred

Alfred Pakasi/Deputy Chairman of Vibiz Consulting Group, CEO of Vibiz Consulting/VMN/BL

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x