(The Manager’s Lounge – Sales & Marketing) – Si Bongkok dari Notredam yang minggu lalu saya ceritakan kembali dalam kolom ini hanyalah satu dari ribuan daya tarik Paris. Paris tentu memiliki banyak product story lainnya yang tak kalah menarik. Jutaan orang misalnya setiap tahun rela antre panjang di depan menara Eiffel untuk dapat giliran naik ke atas menara besi setinggi 1050 feet itu.
Apa yang menarik dari tumpukan besi itu? Anak-anak sekolah yang datang dari London menceritakan kesannya kepada saya. Katanya, mereka terkesan bagaimana Gustave Eiffel, seorang engineer, berhasil membuat bangunan yang seninya begitu lain dari arsitek kota Paris yang kental dengan warna Romawi itu. Dalam catatan sejarah memang disebutkan menara Eiffel dibangun tahun 1889 untuk mempersiapkan masa depan. Itulah bedanya menara besi ini dengan gedung-gedung di Paris lainnya. Mereka semuanya adalah bagian dari masa lalu sejarah.
Harap diingat, Eiffel dibangun di tengah-tengah era Revolusi Industri; suatu era yang tengah mengalami perubahan dahsyat. Pada masa itulah timbul angan-angan tentang masa depan. Maka, dengan bahan yang tergolong modern saat itu (besi), menara dirancang. Padahal, tanpa cerita Eiffel Tower hanyalah tumpukan besi belaka yang menjulang ke langit. Ingatan manusia bisa jadi menerawang pada kisah pembangunan rel kereta api yang marak pada akhir abad 19.
Lautan manusia di Paris juga tampak di museum Louvre. Di dalam museum itu tersimpan ribuan karya seni baik berupa patung, mumi, sampai lukisan. Namun, kalau diperhatikan, arus manusia di gedung museum itu sebenarnya hanya bergerak menuju satu titik, yaitu sebuah lukisan karya maestro Leonardo da Vinci (1452-1519). Sesampainya di titik itu ratusan orang berhenti, menatap, mengambil foto, lalu pergi.
Tampaknya mereka sudah merasa puas begitu melihat Mona Lisa. Mengapa Mona Lisa? Jawabnya lagi-lagi: karena Mona Lisa bukan sekadar lukisan biasa. Ia dilengkapi dengan sebuah product story yang dimengerti banyak orang dan begitu menyentuh. Dalam product story Mona Lisa disebutkan lukisan itu hanya satu dari sekian banyak lukisan sang maestro. Mona Lisa adalah seorang wanita yang tahun 1495 menikah dengan tokoh terkemuka Francisco del Giocondo sehingga lukisan itu selain dikenal dengan nama Mona Lisa juga dikenal dengan nama La Gioconda.
Fantasi memerlukan katup untuk pelepas
Lukisan itu menjadi bahan pembicaraan setidaknya karena tiga hal. Pertama ia adalah lukisan kesayangan sang maestro yang konon selalu dibawa ke mana saja ia pergi sampai akhirnya terjual kepada seorang bernama Francis I. Kedua, lukisan itu ternyata banyak diminati orang sehingga sering direproduksi dan dijadikan simbol atau prototype lukisan Renaissance. Ketiga, ia menjadi sangat terkenal setelah tahun 1911 hilang tercuri dari The Salon CarreEdi The Louvre dan baru ditemukan kembali dua tahun kemudian di dinding sebuah lobi hotel di Florence, Italia. Karya besar ini banyak pula dibicarakan di kalangan masyarakat seni karena menurut Firenzuola menulis buku On the Perfect Beauty of A Woman pada abad 16-Leonardo da Vinci berhasil menangkap sinyal elegance yang ditunjukkan dengan terbukanya sedikit bibir di ujung mulut Mona Lisa.
Pembaca, pelaku bisnis dan praktisi manajemen, baiklah kita tinggalkan dahulu seluruh ilustrasi tadi untuk masuk ke dalam praktek pemasaran yang terinspirasi oleh hal-hal seperti di atas. Satu hal yang perlu dipahami adalah bahwa manusia dalam kehidupannya tidak hanya membeli fungsi. Dalam kehidupan, kata para ahli komunikasi, manusia mengkomunikasikan apa yang ia ketahui dan fantasi-fantasinya. Fantasi, kata Sigmund Freud, membutuhkan katup pelepas. Wujudnya tentu saja bisa bermacam-macam; tapi yang jelas untuk mengungkapkan semua itu manusia memerlukan simbol-simbol, cerita-cerita, dan ritual. Semua itu adalah bagian dari fitrah manusia yang hidup bukan semata-mata untuk bekerja dan mencari makan, melainkan juga hubungan-hubungan sosial-spiritual.
Minggu depan kita akan membicarakan bagaimana produsen-produsen unggul membentuk dream society sebagai pasar garapan yang spesial. Dengan memahami terbentuknya a dream society kelak kita akan memahami bahwa pemasaran bukan sekadar 4P belaka dan menajemen bukan sekadar mengelola resources yang kelihatan (tangible). Mudah-mudahan Anda masih bersabar.
(Rhenald Kasali, Ph.D/AA/TML)