(The Manager’s Lounge – HR) Sistem kerja outsourcing semakin dipertanyakan, karena employer disinyalir sering memanfaatkan sistem kerja tersebut untuk memperoleh buruh dengan biaya murah. Selain itu, pengangguran bekas outsurcing semakin banyak. Seperti yang diungkapkan oleh Ketua Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Cabang Kabupaten Karawang, Abda Khair Muftie, yang mengatakan pada tahun 2010 pengangguran usia produktif atau pengangguran eks “outsourcing” (jasa tenaga kerja) dan kerja kontrak diperkirakan meningkat. Di Karawang, misalnya sekitar 500 perusahaan yang beroperasi di Karawang, hampir semuanya mempekerjakan karyawan di area bisnis (produksi pokok).
Rekson Silaban, President Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), pada kesempatan konferensi pers di Gedung Great River kemarin, mengungkapkan 9 upaya yang diperlukan untuk fleksibilitas kerja di Indonesia.
1. Penetapan outsourcing sebaiknya tidak didasarkan atas core and non-core business, tetapi didasarkan atas kerentanan (vulnerability) pekerjaan. Misalnya, bila pekerja hanya mendapat upah minimum, dikontrak secara terus menerus, maka dilarang di-outsourcing. Selanjutnya, pemerintah akan mengeluarkan daftar negative (negative list) bidang pekerjaan yang tidak bisa di-outsourcing.
2. Upah buruh outsourcing dan buruh kontrak ditetapkan lebih tinggi dari buruh permanent. Misalnya 5% lebih tinggi dari pekerja permanent. Kelebihan upah 5% ini selanjutnya ditabung setiap bulan sebagai tunjangan PHK
3. Segera melakukan reformasi Jamsostek; menjadi badan wali amanah (trust fund), menetapkan batas minimum Jamsostek (kontribusi pengusaha dan pekerja) sebesar 20-22%, perluasan kepesertaan kepada pekerja mandiri dan penambahan program.
4. Tersedia program tunjangan pengangguran (Thai, Malaysia, Vietnam, China, Korsel). Penyelenggaraan bisa dilakukan di daerah atau nasional. Pendanaan bisa diperoleh secara wajib dari pemerintah (nasional atau daerah) secara sukarela dari pekerja dan pengusaha (CSR)
5. Masa kerja buruh unit outsourcing dan buruh kontrak sebaiknya dihitung dari pengalaman kerja. Tidak selalu dihitung dari tahun 0. Tujuannya untuk mencegah PHK sewenang-wenang (khususnya pemberangusan aktivis serikat buruh) dan pembajakan karyawan.
6. UU Otonomi Daerah sebaiknya menetapkan agar setiap daerah membuat program jaminan social untuk pelatihan peningkatan ketrampilan bagi pekerja yang di-PHK. Dananya bisa diperoleh dari pemerintah local, sebagian dari program CSR (mengingat CSR wajib di Indonesia). Pelatihan dilakukan di balai latihan kerja daerah yang telah memiliki sertifikasi.
7. Untuk mencegah penyimpangan praktek outsourcing dan buruh kontrak, maka pengawas ketenagakerjaan dilakukan secara tripartite, sekalipun yang melakukan penyelidikan adalah pegawai pemerintah. Ini untuk membuat penegakan hokum lebih kuat dan menurunkan kolus/korupsi.
8. Pemerintah mereduksi biaya-biaya tinggi (legal dan illegal) sehingga competitiveness tidak didasarkan atas upah buruh murah dan biaya ‘hiring and firing’ yang murah, tetapi karena kemudahan infrastruktur dan birokrasi yang efisien,
9. Pemerintah menyediakan program yang intensif pajak (pengurangan pembayaran pajak) dan fasilitas (seperti penurunan suku bunga, sewa lokasi murah) kepada perusahaan padat karya (labour intensive). Program kemudahan akan lebih besar diberikan bila perusahaan tersebut beroperasi dalam jangka waktu panjang.
(Vibiz Consulting/SK/TML)