(The Manager’s lounge – Tax) – Hingga saat ini belum ada Pajak penghasilan (PPh) final yang dikenakan pada sektor konstruksi yang diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak. Sementara sektor pasar konstruksi terus mengalami peningkatan akan tetapi kondisi PPh masih belum final. Sehingga, beberapa hari lalu Gabungan Pelaksana Konstruksi Seluruh Indonesia (Gapensi) meminta kepada pemerintah agar menetapkan Pajak Penghasilan (PPh) final bagi sektor konstruksi.
Sebagai fakta bahwa pemasukan pemerintah yang berdasarkan PPh dari sektor konstruksi yang berlaku saat ini tidak memberikan kepastian tentang besaran pajak yang masuk ke negara dari sektor konstruksi walaupun pekerjaan konstruksi dari tahun ke tahun meningkat. Kecilnya penerimaan pajak terlihat pada tahun 2005 dimana pasar konstruksi termasuk swasta mencapai nilai Rp175 juta akan tetapi PPh yang diterima di sektor ini sangat kecil hanya Rp1,7 triliun.
Hal ini dikarenakan PPh tersebut dipungut dari besarnya keuntungan bukan pendapatan tetapi final. Berdasarkan peraturan seperti ini, wajib pajak di sektor konstruksi cenderung memperluas proyeknya dalam rangka mendapatkan omzet besar, tidak peduli akan tingkat keuntungan yang kecil. Rata-rata keuntungan perusahaan-perusahaan konstruksi skala besar hanya berkisart 1,5 sampai 1,7 persen, tidak ada yang sampai 2 persen. Kecenderungan yang terjadi saat ini, kontraktor sengaja memecahkan diri menjadi sejumlah kontraktor kecil untuk mendapatkan proyek kurang dari Rp1 miliar karena dengan pendapatan sebesar itu potongannya hanya 2 persen final.
Sedangkan untuk proyek di atas Rp1 miliar kena PPh 3-4 persen belum final, hal ini yang membuat pendapatan pajak tidak optimal. PPh final yang diberlakukan bagi konstruksi golongan menengah dan besar termasuk pekerjaan (Enginering Procurement Construction) sebesar 3 persen, sedangkan untuk kontraktor kecil dengan nilai proyek kurang dari Rp1 miliar sebesar 2 persen. Sementara untuk jasa pengawasan dan perencanaan konstruksi golongan kecil besar dan menengah ditetapkan 4 persen final.
Jika PPh final dapat ditetapkan pada tahun 2008 dengan nilai proyek Rp175 triliun apabila sebanyak 80 persen di atas Rp100 miliar serta sisanya kurang dari Rp100 miliar potensi pungutan bisa mencapai Rp6-7 triliun. Di awal tahun 2008 ini atas perusahaan jasa konstruksi akan dikenakan pph final dengan tarif yang meningkat dari semula 2% menjadi 3% untuk nilai kontrak lebih dari 1 milyar sedangkan untuk nilai kontrak dibawah 1 milyar tetap 2%.
Pertanyaan yang menjadi pertanyaan pada sejumlah media antara lain apa keuntungan dan kerugian perusahaan jasa konstruksi atas perubahan ini dan apabila perusahaan telah dikenakan pph yang bersifat final apakah masih akan tetap dibebankan pph pasal 25/29 jika perusahaan mengalami keuntungan tetapi masih belum ada jawaban yang jelas atas pertanyaan ini. Sebagai contoh adalah apa yang terjadi di Jawa Timur yang menyatakan bahwa naiknya PPh final untuk jasa konstruksi menjadi 3 persen per Januari 2008 (jika jadi ditetapkan) dinilai memberatkan.
Sebab, sekitar 90 persen dari total 1.485 perusahaan yang menjadi anggota Gabungan Perusahaan Konstruksi Nasional Indonesia (Gapeksindo) Jatim adalah pengusaha kecil. PPh final yang langsung dipotongkan dari nilai proyek sangat membebani pengusaha jasa konstruksi kecil. Jika terpaksa, pajak sebesar itu bisa diberlakukan hanya untuk pengusaha besar. Sementara pengusaha kecil sebaiknya 1,5 persen.
(Permata Wulandari/IK/tml)