(The Manager’s Lounge – Tax), Bisnis adalah segala kegiatan produsen untuk memproduksi dan memasarkan barang/jasa kepada konsumen untuk memperoleh laba (profit) (Straub & Attner, 1994). Sedangkan iklim bisnis –dimodifikasi dari definisi “iklim investasi” Stern (2002)– adalah semua kebijakan, kelembagaan, dan lingkungan, baik yang sedang berlangsung maupun yang diharapkan terjadi di masa depan, yang dapat mempengaruhi kegiatan bisnis (Kuncoro, 2006).
Otonomi daerah menekankan pada pelayanan publik yang lebih konkret. Keberadaan otonomi daerah juga ditunjukkan melalui bermunculannya peraturan daerah (perda) tentang pajak dan retribusi baru di berbagai daerah, yang hanya bertujuan meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), seperti Perda Kabupaten Purbalingga No 12/2001 tentang Sumbangan Pihak Ketiga.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Regional Economic Development Institute (REDI) di Kota Surabaya dan Kabupaten Jember, ternyata belum menunjukkan adanya perbaikan yang berarti setelah penerapan otonomi daerah.
Terdapat tiga aspek utama yang bisa digunakan sebagai indikator dan menarik untuk dicermati, yaitu:
1 . Belum ada perbaikan dalam birokrasi perizinan usaha.
2. Makin banyaknya jumlah (nominal), intensitas, dan pelaku pungutan baik berupa pajak dan retribusi daerah maupun pungutan liar.
3. Arah dan orientasi kebijakan daerah yang belum menunjang iklim usaha yang kondusif.
Dikeluarkannya perda-perda yang berisi tentang pungutan(pajak atau retribusi) bagi investasi di suatu daerah. Yang bertujuan pada jangka pendek adalah meningkatkan pendapatan asli daerah tetapi terjadi kontradiksi pada pelaksanaanya. Calon investor akan membatalkan menanamkan dananya di suatu daerah karena studi kelayakan untuk rencana investasi, khususnya untuk aspek finansial hasilnya tidak layak. Hal ini akan menghambat penciptaan iklim investasi yang sehat di Indonesia.
Rencana pemerintah pusat melakukan revisi peraturan daerah yang terkait dengan investasi memang sebuah langkah positif tetapi hal tersebut akan menghambat investasi. Sebab keinginan pengeluaran perda tersebut hanya menguntungkan daerah dalam jangka pendek tetapi sangat merugikan dalam jangka panjang.
Banyak pungutan baik yang resmi ataupun tidak resmi, bagi para investor yang sudah menanamkan dana pada suatu daerah akan membuat ketidaksukaan untuk meneruskan investasinya. Hal ini dikarenakan biaya operasional akan menjadi tinggi dan menyulitkan mereka dalam meningkatkan daya saingnya.
Saat ini di mata para investor (baik asing maupun lokal), negara Indonesia sangat tertinggal dalam memberikan iklim investasi yang baik bagi pemilik dana dibandingkan dengan negara-negara Cina, Thailand, Malaysia, Singapura bahkan dari negara Kamboja ataupun Vietnam sekalipun. Hal ini dikarenakan banyaknya peraturan pajaksehingga investor tidak mau seperti pungutan-pungutan di daerah, pengurusan perizinan ,kepastian hukum; perpajakan dan bea cukai.
Berdasarkan pendapat Jusuf Kalla sebagai solusi untuk mengatasi hal tersebut adalah melalui revitalisasi iklim usaha sebagai bagian untuk meningkatkan ekonomi Indonesia dari sekitar 6% menjadi 7% setahun, memperkecil pengangguran, dan memperbaiki kesejahteraan masyarakat. Di lain fihak, Bank Dunia memaparkan sejumlah indikator yang menunjukkan bahwa iklim investasi Indonesia adalah yang terjelek di Asia Tenggara, antara Kamboja dan Filipina. Yang paling baik adalah Malaysia, dan tentu Singapura. Menurut hasil survey Bank Dunia di 155 negara maka peringkat Indonesia adalah dibawah, yang menyangkut instabilitas makro, ketidakpastian kebijakan, korupsi, serta regulasi dan administrasi pajak. Temuan Bank Dunia lainnya adalah, Indonesia tertinggi dalam biaya mem-PHK karyawan, yang mencapai 145 gaji mingguan, lebih jelek daripada di Vietnam dengan biaya PHK 98 gaji minggu. Solusi lainnya adalah pemberian insentif pajak bagi para pembayar pajak dengan sesuai dan diawasi dalam pelaksanaannya.
(Permata Wulandari/IK/TML)