Musik sebagai Garis Darah Bangsa – Taras Filenko, Ukrainian Pianist

(Business Lounge Journal – Interview Session)

Di tengah hiruk-pikuk dunia yang semakin terpolarisasi, musik kembali membuktikan dirinya bukan sekadar hiburan, melainkan bahasa kemanusiaan yang melampaui batas negara. Bagi Taras Filenko, seorang musisi, etnomusikolog, dan musikolog asal Ukraina, musik adalah cara bertahan—bahkan melawan—di tengah ancaman terhadap identitas bangsanya. “Nama saya Taras Filenko. Saya mendedikasikan hidup saya untuk membawa budaya dan musik Ukraina ke seluruh dunia,” ujarnya kepada Business Lounge Journal. Sejak perang berskala penuh Rusia terhadap Ukraina dimulai, misi itu berubah menjadi panggilan hidup.

Musik sebagai Benteng Identitas Nasional

Bagi Ukraina, perang bukan semata perebutan wilayah, sumber daya, atau kekuasaan. Lebih dari itu, ini adalah perang terhadap identitas nasional. Budaya—musik, sastra, tari, dan seni—menjadi sasaran utama. “Ini bukan hanya perang fisik. Ini adalah upaya untuk menghancurkan jati diri bangsa Ukraina,” kata Filenko. Dalam konteks ini, seni berfungsi layaknya tulang punggung bangsa, sebagaimana gamelan, batik, dan tari bagi Indonesia.

Di tengah tekanan tersebut, musik justru tampil sebagai bentuk perlawanan paling sunyi namun paling kuat. Bukan melalui pidato politik, melainkan melalui nada, harmoni, dan memori kolektif yang diwariskan lintas generasi.

Dua Rhapsody, Satu Jiwa

Di Indonesia, Filenko mendapat kesempatan langka untuk memperkenalkan musik Ukraina kepada publik internasional. Salah satu momen penting dalam programnya adalah ketika ia memainkan dua karya dalam genre yang sama—Rhapsody—namun berasal dari dua bangsa dan dua zaman berbeda.

Yang pertama adalah karya Ananda Sukarlan dari Indonesia, dan yang kedua karya Mykola Lysenko, komponis besar Ukraina. Meski terpaut hampir satu abad, keduanya memiliki pendekatan yang nyaris identik: mengangkat elemen musik rakyat dan lagu anak-anak ke dalam kerangka musik klasik. “Inilah esensi identitas nasional,” jelas Filenko. “Folk elements bukan sekadar ornamen, tapi fondasi.”

Pertemuan dua Rhapsody ini menjadi simbol dialog lintas budaya—bahwa bangsa yang berbeda dapat berbicara dalam bahasa yang sama ketika seni menjadi medium.

Warisan yang Terancam Hilang

Namun membawa musik Ukraina ke panggung dunia bukanlah perkara mudah. Repertoar Ukraina membentang dari era Barok, Klasik, Romantik, hingga kontemporer—ratusan tahun sejarah yang mustahil dirangkum dalam satu jam pertunjukan.

Lebih menyedihkan lagi, banyak karya indah tersebut masih belum dikenal luas, sebagian karena represi budaya yang telah berlangsung lama. Sekolah, institusi seni, monumen budaya, bahkan para seniman dan akademisi turut menjadi korban perang. “Saya kehilangan murid saya—seorang pemain biola yang luar biasa. Saya juga kehilangan sepupu kedua saya, seorang profesor,” tuturnya lirih. Di balik setiap karya yang hilang, ada manusia, ada masa depan intelektual yang terputus.

Musik sebagai Pernyataan Moral

Filenco menegaskan bahwa ia tidak datang untuk menyampaikan pernyataan politik secara eksplisit. Namun, ia mengakui bahwa musik itu sendiri adalah pernyataan politik—dalam bentuk yang lebih jujur dan lebih mudah dipahami dibandingkan forum diplomasi mana pun. “Melalui musik, orang bisa merasakan, bukan hanya mendengar.”

Dalam sejarah banyak bangsa yang mengalami penindasan, tradisi lisan sering kali menjadi penyelamat budaya. Musik diwariskan dari mulut ke mulut, dari hati ke hati, ketika tulisan dan institusi dihancurkan.

Indonesia, Rumah Kedua yang Penuh Empati

Selama berada di Indonesia, Filenko merasakan sesuatu yang sederhana namun mendalam: kebaikan. Dari sopir taksi hingga akademisi, dari restoran hingga ruang kelas, ia merasakan empati yang tulus. “Sejak saya menginjakkan kaki di Jakarta, yang saya rasakan hanya satu hal: kindness.”

Bagi Ukraina, dukungan moral dari bangsa yang jauh secara geografis namun dekat secara kemanusiaan memiliki makna besar. Sebuah jabat tangan, sebuah ekspresi empati, dapat menjadi penguat di masa paling rapuh.

Seni, Kepedulian, dan Mereka yang Rentan

Hubungan Filenko dengan Ananda Sukarlan juga terjalin melalui nilai kepedulian terhadap kelompok rentan. Filenko sendiri memiliki cucu dengan disabilitas berat—pengalaman personal yang membuatnya semakin peka terhadap penderitaan orang lain. “Setiap keluarga punya pergumulannya sendiri. Dan di masa sulit, kita harus saling membantu.”

Ia menekankan bahwa kaum intelektual dan pelaku budaya adalah lapisan tipis dalam setiap bangsa—namun justru lapisan inilah yang menjaga arah dan masa depan negara. Ketika lapisan ini hancur, seluruh bangsa berada dalam bahaya.

Budaya sebagai Antidot Kekerasan

Di tengah agresi dan kehancuran, budaya justru menjadi antidot—penangkal terhadap upaya penghapusan identitas. Musik, dalam hal ini, bukan sekadar bunyi, melainkan penanda keberadaan. “Selama budaya hidup, bangsa itu masih bernapas.”

Dan itulah alasan Taras Filenko berdiri di atas panggung Indonesia: membawa musik Ukraina, membangun kesadaran global, dan mengingatkan dunia bahwa apa yang terjadi di Ukraina hari ini, bisa terjadi di mana saja, kapan saja.

Karena pada akhirnya, musik mengingatkan kita pada satu hal mendasar: kita semua manusia, dan kita semua terhubung.