(Business Lounge Journal – Human Resources)
Tahun 2025 menjadi periode refleksi penting bagi dunia kepemimpinan. Setelah bertahun-tahun bergerak dalam mode krisis—pandemi, disrupsi teknologi, ketidakpastian geopolitik, hingga tekanan ekonomi global—banyak organisasi mulai menyadari bahwa tantangan terbesar bukan lagi soal speed, melainkan direction. Bukan hanya tentang bertahan, tetapi tentang membangun fondasi kepemimpinan yang relevan, manusiawi, dan berkelanjutan.
Sepanjang 2025, berbagai tren kepemimpinan bermunculan sebagai respons terhadap perubahan cara kerja, ekspektasi karyawan, serta peran teknologi yang semakin dalam. Menariknya, tidak semua tren ini bersifat sementara. Sebagian justru menunjukkan tanda-tanda akan bertahan dan menjadi standar baru hingga 2026 dan seterusnya.
Berikut adalah tujuh tren leadership 2025 yang terbukti bukan sekadar fenomena sesaat, melainkan transformasi jangka panjang dalam cara memimpin organisasi.
1. Dari “Command & Control” ke “Context & Clarity”
Kepemimpinan otoriter yang bertumpu pada instruksi satu arah semakin kehilangan relevansi. Di 2025, pemimpin yang efektif bukan lagi mereka yang memberi perintah paling cepat, tetapi yang mampu memberikan konteks paling jelas.
Tim lintas generasi—khususnya Gen Z dan milenial—menuntut pemahaman tentang mengapa sebuah keputusan diambil, bukan hanya apa yang harus dilakukan. Pemimpin berperan sebagai penerjemah strategi, menghubungkan visi besar perusahaan dengan pekerjaan sehari-hari tim.
Tren ini diprediksi bertahan hingga 2026 karena kompleksitas bisnis justru meningkat. Dalam situasi penuh ambiguitas, kejelasan arah menjadi mata uang kepemimpinan yang paling berharga.
2. Empati sebagai Kompetensi, Bukan Sekadar Soft Skill
Jika sebelumnya empati dianggap pelengkap, 2025 menandai pergeseran besar: empati menjadi kompetensi inti kepemimpinan. Isu kesehatan mental, burnout, dan kelelahan emosional membuat pendekatan kepemimpinan yang dingin dan transaksional semakin ditinggalkan.
Pemimpin yang mampu mendengarkan, memahami dinamika personal tim, dan merespons dengan kebijakan yang manusiawi terbukti memiliki tingkat retensi dan keterlibatan karyawan yang lebih tinggi.
Menuju 2026, empati tidak lagi diposisikan sebagai sikap personal, melainkan sebagai bagian dari sistem manajemen—tercermin dalam kebijakan kerja fleksibel, evaluasi kinerja yang lebih adil, dan budaya komunikasi terbuka.
3. Leadership di Era AI: Human Judgment Tetap Tak Tergantikan
Tahun 2025 memperjelas satu hal: kecerdasan buatan mengubah cara bekerja, tetapi tidak menggantikan peran kepemimpinan. AI membantu pengambilan keputusan berbasis data, efisiensi operasional, dan analisis prediktif. Namun, keputusan strategis tetap membutuhkan penilaian manusia.
Pemimpin masa kini dituntut memiliki AI literacy—cukup memahami teknologi untuk menggunakannya secara bijak, tanpa menyerahkan sepenuhnya kendali pada algoritma. Tantangannya bukan sekadar adopsi teknologi, tetapi memastikan penggunaan AI tetap etis, transparan, dan selaras dengan nilai perusahaan.
Tren ini akan semakin kuat di 2026, ketika pertanyaan tentang tanggung jawab, bias data, dan dampak sosial AI menjadi agenda kepemimpinan tingkat atas.
4. Middle Managers Kembali Jadi Kunci
Selama beberapa tahun, peran middle management sempat dianggap tidak efisien dan terancam oleh otomatisasi. Namun di 2025, persepsi ini mulai berubah. Justru di tengah organisasi yang semakin datar dan hybrid, manajer lini tengah berperan sebagai penghubung krusial antara strategi dan eksekusi.
Mereka menjadi sense-maker, penyeimbang tekanan dari atas dan kebutuhan tim di bawah. Organisasi yang berinvestasi pada pengembangan kepemimpinan level menengah—melalui coaching, pelatihan komunikasi, dan pengambilan keputusan—menunjukkan kinerja yang lebih stabil.
Ke depan, hingga 2026, middle managers akan semakin dilihat sebagai culture carriers dan penjaga konsistensi nilai organisasi.
5. Kepemimpinan Berbasis Kepercayaan, Bukan Pengawasan
Model kerja hybrid dan remote memaksa pemimpin mengubah paradigma lama. Pengawasan ketat berbasis jam kerja terbukti tidak relevan. Sebaliknya, kepercayaan dan akuntabilitas menjadi fondasi baru.
Di 2025, pemimpin yang sukses adalah mereka yang mampu menetapkan ekspektasi jelas, mengukur hasil, dan memberi ruang bagi otonomi tim. Fokus bergeser dari presence ke performance.
Tren ini hampir pasti bertahan hingga 2026, seiring semakin mapannya pola kerja fleksibel dan meningkatnya tuntutan karyawan terhadap keseimbangan hidup dan kerja.
6. Purpose-Driven Leadership yang Lebih Realistis
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang sering menjadikan purpose sebagai jargon, 2025 menghadirkan pendekatan yang lebih membumi. Karyawan dan publik semakin kritis terhadap klaim nilai dan misi perusahaan.
Pemimpin dituntut membuktikan purpose melalui keputusan nyata—mulai dari praktik bisnis berkelanjutan, kebijakan inklusivitas, hingga keberanian mengambil sikap dalam isu sosial yang relevan dengan bisnis.
Menuju 2026, purpose-driven leadership yang bertahan adalah yang konsisten dan terukur, bukan yang sekadar komunikatif di permukaan.
7. Continuous Learning sebagai Identitas Pemimpin
Perubahan yang cepat membuat keahlian cepat usang. Di 2025, pemimpin tidak lagi diharapkan “paling tahu”, melainkan paling mau belajar. Kerendahan hati intelektual menjadi ciri penting kepemimpinan modern.
Pemimpin yang aktif mengikuti perkembangan industri, terbuka terhadap umpan balik, dan mau belajar dari tim lintas generasi menciptakan budaya organisasi yang adaptif.
Tren ini akan semakin menguat di 2026, ketika kemampuan belajar ulang (reskilling dan upskilling) menjadi penentu daya saing individu maupun organisasi.
Menutup 2025, Menyambut 2026 dengan Kepemimpinan yang Lebih Matang
Retrospektif kepemimpinan 2025 menunjukkan satu benang merah: kepemimpinan tidak lagi soal posisi, tetapi tentang kapasitas memengaruhi dalam ketidakpastian. Tujuh tren ini mencerminkan pergeseran dari kekuasaan ke kepercayaan, dari kecepatan ke ketepatan, dan dari ego ke empati.
Memasuki 2026, organisasi yang mampu bertahan bukanlah yang memiliki pemimpin paling dominan, melainkan yang dipimpin oleh individu-individu yang adaptif, reflektif, dan berani memimpin dengan kesadaran penuh akan dampak jangka panjang setiap keputusan.

